Jalan Lintas Sumatera. Terik dan gersang sekali saat itu. Dari Bagansiapiapi melewati Dumai menuju Pekanbaru. Bukan perjalanan yang nyaman dan indah di pemandangan. Semua ingin cepat saya lewati. Karena saya kebelet kencing!
Berhentilah pengemudi di pom bensin Simpang Bangko. Setengah terbirit saya mencari toilet. Ah itu dia! Cepat cepat cepat….
“Kak, nanasnya! Enak manis, Kak… Belilah, Kak. Buat bantu bayar uang sekolah, “seru seorang anak perempuan yang menghadang perburuan toilet saya. Saya tidak sempat melihat hasil jualannya, hanya memberi tanda padanya. Toilet dulu ya, baru nanti kita bicara!
… Ah, lega rasanya …
Anak itu ternyata masih menunggu. Saya tatap wajahnya. Ceria dan sendu nampak menjadi satu. Mungkin ia sudah menunggak uang sekolah. Mungkin juga ia tidak sekolah. Mungkin nanas adalah buah kesukaannya. Mungkin juga ia belum pernah mencicipi nanas hasil jualannya.
Nanas asli dari Siak. Itu pengakuannya. Wah, kebetulan minggu sebelumnya saya dari sana. Karena tumbuh di lahan gambut, nanas dari Siak Indrapura Provinsi Riau memang terkenal sekali akan rasa manisnya. Tekstur dagingnya tidak garing, cenderung basah dan lengket. Namun aroma nanas Siak sangatlah harum.
Baca juga: "Wisata Budaya di Kabupaten Siak, Riau"
Entah karena iba atau karena saya suka nanas, saya serahkan dua lembar sepuluh ribu pada gadis kecil itu. Dua buah nanas saya genggam. Lumayan, buat ganjal perut selama perjalanan menuju bandara.
Ketika saya buka bungkus plastiknya, benar saja… Aroma harum menyeruak. Pengemudi setengah heran melihat saya. Sindirnya, “Makan nanas saja sampai begitu bahagianya!”
Oh, tentu saja! Nanas ini luar biasa sekali rasanya. Manis di lidah, lengket di jemari. Ada sensasi gurih di balik rasa, lalu aroma harum merangkak muncul. Aroma yang malu-malu tapi berani. Rasa yang polos namun penuh percaya diri. Layaknya si gadis kecil penjual nanas tadi.
Baca juga: "Tahukah Kalian Ada Garam Bawah Tanah di Adan Krayan Kalimantan Utara?"
Satu tahun hampir berlalu sejak rasa bahagia saya temukan di nanas Siak…
Sejak pandemi Covid-19, banyak kebiasaan kita berubah. Yang dulu sering bepergian, sekarang lebih banyak diam di rumah. Yang dulu gemar bekerja, sekarang ada banyak dari kita mungkin harus kehilangan pekerjaan. Yang dulu ketagihan untuk lari dari kenyataan, sekarang harus duduk diam berhadapan dengan realita.
Satu hal yang tidak berubah. Saya masih suka sama nanas!
Sebelum pandemi, saya bisa dengan mudahnya mendapatkan kembali buah kesukaan itu. Bahagia bisa dengan mudah dicicipi. Jarak bukan masalah. Baru ke Siak. Ke Gorom di Seram Maluku saja pasti saya datangi. Namun selama pandemi ini, bagaimana caranya saya menemukan kebahagiaan citarasa?
Baca juga: "Menikmati Ikan Rasa Tombak di Desa Sama Bahari Wakatobi"
Sinaran waktu luang menembus awan pikiran saya. Mengantarkan saya pada sebuah gerobak sederhana. Hanya kurang dari 600 meter dari rumah saya di Jakarta. Sebuah gerobak nanas. Penuh buah kuning merekah. Mengundang selera. Kata penjualnya, nanas ini asli dari Belik, di bawah kaki Gunung Slamet di Pemalang Jawa Tengah. Harganya memang tidak murah. Tapi ya sudah, saya coba beli beberapa.
Nanas Belik
Setiba di rumah, saya rendam dan cuci bersih. Sayatan pisau menembus dinding buah menyisakan desis lemah. Tidak ada aroma harum layaknya nanas Siak. Tapi nanas Belik tidak lengket dan becek. Saya cicipi satu potong kecil…
Rasanya?
Seperti saya sedang berada di terminal Kampung Rambutan. Kemudian saya bertanya ke petugas kebersihan, “Pak, gimana caranya menuju ke Jakarta?”
Ternyata rasa bahagia, rasa nikmat di lidah, segala rasa yang saya cari selama ini, sudah ada di depan mata!
Dari nanas datanglah pencerahan. Pencerahan dan pengetahuan bukan hanya sekadar rasa di lidah. Bahwa saya paham kalau tiap daerah menghasilkan rasa yang unik dan berbeda. Namun ada pencerahan lain datang. Dalam keheningan ketika saya menggigit nanas Belik…
Kalau di Bantar Gebang saja saya tidak nyaman dan tidak bahagia, di mana pun saya pasti tidak akan bahagia!
Kalau makan nasi sisa kemarin dengan pare rebus saja saya tidak suka, makan di Noma (restoran terbaik di dunia yang ada di Kopenhagen Denmark) pun pasti saya tidak bahagia!
Karena bahagia itu bukan datang dengan syarat dan kondisi. Bahagia ada asalkan kita berhenti mencari.
Nikmatnya rasa manis dan kontras rasa asam dari nanas Belik mengantarkan saya pada kilatan memori. Wajah gadis kecil penjual nanas di Simpang Bangko. Apa kabar dirinya? Apa ia masih berjualan nanas? Apa ia punya pulsa untuk online learning? Apa iya ia masih bersekolah?
Semoga ia (dan kita semua) berbahagia. Tanpa harus sibuk berkelana.
Seperti saya ketika menemukan kebahagiaan dari sepotong nanas. Hanya dari rumah.
Tentang penulis: Lisa Virgiano adalah seorang petualang citarasa. Pembaca bisa menemuinya ketika ia berburu ikan bersama suku Bajo di Wakatobi, membuat pupuk lapis bersama petani biodinamik di Uttar Pradesh India, atau menikmati sensualnya roti foccacia di kota kecil Altamura Italia. Bersama dengan Kaum, ia telah sukses memperkenalkan ragam makanan Indonesia ke warga dunia.