DIBERI NAMA MARISA OLEH BELANDA, WARGA DESA INI SANGAT HETEROGEN 2017-07-07 00:00

Desa Marisa, desa yang sangat heterogen

 

Persinggahan kami ke darat yang kedua dalam Ekspedisi Terumbu Karang di Perairan Alor dan Flores Timur 2017 bersama WWF-Indonesia adalah ke Desa Marisa, di Pulau Kangge, Kecamatan Pantar Barat Laut, Kabupaten Alor, NTT pada tanggal 28 Maret 2017, hari keenam. Lagi-lagi, saya senang sekali bisa menginjak daratan.

 

Dari Kapal Menami kami naik speedboat Simba untuk mencapai desa itu. Proses merapat di dermaga yang mirip benteng itu cukup makan waktu karena arus. Sepanjang perjalanan kami juga takjub melihat arus begitu kuat dan terlihat jelas dari permukaan. Bahkan ada beberapa arus memutar, menyedot ke bawah. Hiy, serem kalau menyelam di arus yang seperti itu.

 

Dermaganya mirip benteng. Speedboat kami sulit merapat karena arus

 

Bapak Darwin Laba dan istrinya, warga desa yang sudah mengenal Khaifin (Biodiversity Monitoring Coordinator for Lesser Sunda WWF-Indonesia) menyambut dan mempersilakan kami duduk di halaman rumahnya. Istrinya pun menyediakan teh manis dan kue setelah sebelumnya ‘menyerahkan’ anak bayi dalam gendongannya kepada Nisa (WWF-Indonesia) dan Sila (ReefCheck Indonesia). Bayi laki-laki bernama Adnan itu gampang sekali dipindahtangankan dan diajak bercanda dengan orang asing seperti kami.

 

Bapak Darwin Laba dan istrinya

 

Bocah Adnan tak takut dengan orang asing

 

Satu-satunya desa di Pulau Kangge ini berpenduduk asli Suku Mukobao yang punya bahasa sendiri. Tapi warga yang menempati desa ini sebanyak 200 KK lebih dan sekitar 1.000 jiwa berasal dari tempat yang beragam. Ada yang dari Atadehi di Pulau Lembata seperti Bapak Darwin, ada yang dari Bajo, Bugis, Buton, Takabonerate, bahkan Filipina (wanita Filipina yang bertemu pemuda sini di Malaysia, saat sama-sama menjadi tenaga kerja asing). Rata-rata pendatang tiba ke desa, yang dinamai Marisa oleh penjajah Belanda, ini sejak 7-10 tahun lalu. Mereka telah demikian menyatu dengan warga lokal dan bisa bicara dalam bahasa lokal. Tapi mereka semua tentunya juga fasih berbahasa Indonesia.

 

Jalan desa yang rapi

 

Warga desa yang 100% Muslim ini mata pencaharian utamanya adalah budidaya rumput laut. Mereka menjualnya ke Kalabahi di Pulau Alor atau Wairiang di Pulau Lembata. Dua kota itu pula yang menjadi tujuan warga di sini untuk berbelanja kebutuhan pokok. Untuk ke Kalabahi naik perahu motor 26 PK butuh waktu 4,5 jam, tapi kalau ke Wairiang hanya 1 jam. Tidak ada kapal atau perahu umum dari Desa Marisa, tapi banyak keluarga yang memiliki perahu motor sendiri.

 

 

Sedangkan fasilitas sekolah, di sini ada hingga tingkat MTS dan SMU. Puskesmas juga ada. Jalan-jalan desa tertata rapi dan disemen. Menurut Khaifin yang pernah tinggal di desa ini selama 3 minggu beberapa tahun lalu, sinyal telepon juga cukup bagus karena di seberang desa ini, tepatnya di Pulau Pantar ada pemancar telepon. Begitulah hasil kunjungan singkat kami sore itu ke Desa Marisa.

 

Foto bareng dulu dengan warga desa sebelum meninggalkan Desa Marisa

 

Baca juga “Siapa Mau Kerja Enak di Bawah Laut? dan “Ogah Skip Dive Demi Cintaku Hiu

 

Teks: Mayawati NH Foto: Irwan Hermawan (WWF-Indonesia), Mayawati NH
Comment
Mayawati

Terima kasih koreksinya. Sebenarnya saya dapat infonya juga dari warga sana. Mungkin beda2 info yg didapat ya...

2018-11-22
Sya'ba

Mohon dikoreksi. Nama Marisa tidak diberikan oleh Belanda. Namun nama itu diberi oleh leluhur.

2018-11-09
Mayawati

Terima kasih koreksinya. Sebenarnya saya dapat infonya juga dari warga sana. Mungkin beda2 info yg didapat ya...

2018-11-22