Ikut Ekspedisi Terumbu Karang di Perairan Alor dan Flores Timur NTT bersama WWF-Indonesia Maret 2017 lalu nggak pernah ada dalam rencana saya. Tiba-tiba dapat tawaran, saya pikir sangat menarik karena saya jadi tahu seperti apa ekspedisi penyelaman (‘kan selama ini taunya fun dive aja), dan lokasinya Alor (saya baru menyelam satu kali di sini 5 tahun lalu, dan pastinya kepengen datang lagi), serta saya tebak, namanya ekspedisi pasti ke tempat-tempat terpencil yang kecil kemungkinannya saya datangi kalau nggak ikutan ekspedisi.
Remote area di Indonesia bagi saya selalu menarik. Baik itu wilayah pegunungan, hutan, maupun laut dan pulau-pulaunya. Keterbatasan fasilitas yang mungkin dicemaskan banyak orang, buat saya malah itulah yang menarik, dan menantang pastinya. Saya bisa sekalian menguji sejauh mana saya bisa bertahan di kondisi yang serba minim fasilitasnya. Cuma, saya bukan tipe pejalan yang nekat, pergi ke remote area sendirian atau hanya dengan teman-teman yang juga nggak punya pengalaman masuk ke daerah itu. Ikut dalam rombongan ekspedisi adalah satu cara yang paling aman untuk bisa masuk ke remote area.
Nah jadi jelas, saya begitu excited menerima tawaran itu. Yang bikin saya jiper cuma satu: saya sebelumnya nggak pernah ikut kegiatan ekspedisi dan nggak ada bayangan bagaimana ekspedisi penyelaman itu dilakukan. Tapi karena tugas saya hanya ikut menyelam, mengamati, dan membuat artikel dari kegiatan, ya bungkus lah ya...
Hari pertama ikut workshop yang menjelaskan teknis ekspedisi dan segala macamnya, saya mendapatkan banyak hal baru, dan juga teman-teman baru tentunya, yang sebagian besar masih sangat muda-muda. Tapi tetap masih belum kebayang, seperti apa nanti penyelamannya.
Hari kedua check dive dan dive simulasi kebetulan visibility-nya sangat buruk karena dilakukan di dekat pelabuhan. What do you expect coba! Saya masih belum dapat gambaran utuh. Dan akhirnya gambaran itu perlahan terbentang di mata saya pada hari ketiga, saat tim ekspedisi sudah mulai melakukan penyelaman pemantauan dan pengambilan data. Visibility sangat jernih di sekitar Pulau Ternate dan Pantai Kokar sehingga saya pun bisa maksimal menjadi pengamat.
Saya melihat bagaimana koordinasi tim yang terdiri dari 4 orang terjaga rapi, dua orang pengumpul data ikan kecil dan ikan besar menyelam di depan, diikuti roll master yang membentangkan meteran sebanyak 5 X 50 meter sebagai transek (garis penanda pengambilan data), diikuti lagi satu orang terakhir yang bertugas sebagai pengumpul data bentik (terumbu karang). Selesai tugas di bawah, muncul ke atas permukaan air, dijemput speedboat, masih ada tugas mengangkat surface marker buoy yang diletakkan di 3 titik.
Sambil mengamati mereka bekerja, saya tentunya bisa sambil melihat-lihat sekitar, melakukan kesenangan saya: menyelam di antara terumbu karang dan ikan-ikan dalam suasana yang tenang, khas bawah laut. Iya bawah laut saya rasakan sangat tenang, sampai sekonyong-konyong bunyi booom terdengar keras. Aaarrrggh.... ada nelayan yang meledakkan bom!! Memprihatinkan, dan sumpah bikin jantung mau copot rasanya. Kami pun saling berpandangan dan mempertanyakan “Itu apa?”, tapi akhirnya tetap lanjut bekerja. Saya lanjut motret-motret, mereka, para anggota tim ekspedisi WWF itu, kembali mencatat-catat. Pekerjaan mereka berat, dalam kondisi arus pun mereka tetap mencatat di atas sabak (papan jalan), menggulung kembali meteran yang telah dibentangkan sepanjang total 250 meter, dengan tetap melihat kondisi udara di tangki tinggal berapa. Malam hari mereka melakukan evaluasi dan juga entry data.
Lantas bagaimana pekerjaan saya? Ya enak lah.... Ikut mencicipi nikmatnya menyelam di perairan yang maha cantik, dibayar pula! Mau??
Iya kami menerima kontribusi tulisan dan foto dr siapa pun asal cocok
2017-05-18halo apakah mytrip menerima kontribusi tulisan? terimakasih
2017-04-13Iya kami menerima kontribusi tulisan dan foto dr siapa pun asal cocok
2017-05-18