Trans Papua di Batas Batu (Batu Papan) Kabupaten Nduga
Saat melintasi Trans Papua ruas Wamena-Habema-Batas Batu di Kabupaten Nduga Pegunungan Tengah Papua September 2016 lalu memang sempat tebersit rasa takut, mengingat wilayah tersebut rawan konflik bersenjata. Tapi saat itu kami berdelapan, ditemani pemandu senior Papua, Bapak Edison Meliala, yang sudah tahu betul kondisi medan yang akan kami lewati –makanya 2 tentara dengan senapan laras panjang diajak serta bersama kami. Beberapa orang lokal yang merupakan timnya Pak Edison juga ikut, dan juga tentu ada dua supir yang menyetiri mobil 4WD yang kami tumpangi.
Tim kami dikawal dua tentara saat melintasi Wamena hingga Batas Batu di Kabupaten Nduga. Foto diambil di depan Danau Habema.
Saat kurang lebih setahun kemudian, Desember 2017, kami (kali ini hanya ber-4) melintasi dua ruas Trans Papua, Sorong-Manokwari dan Merauke-Tanah Merah, juga ada sedikit rasa khawatir, terutama saat melintasi jalur di mana terdapat pos-pos penjagaan tentara karena daerah tersebut dekat perbatasan dengan Papua Nugini. Tapi kami ‘kan nggak asal berangkat. Meskipun kali itu tanpa pemandu, hanya ditemani supir mobil 4WD yang sudah tahu medan dan asistennya, sebelum berangkat kami sudah melakukan riset kecil. Mengecek melalui internet dan juga menelepon beberapa kawan di Papua dan juga pejabat Balai Pelaksanaan Jalan Nasional XVII Papua Barat, Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Jalur Sorong-Manokwari konfirm sangat aman. Jalur Merauke-Tanah Merah juga aman. Satu-satunya ‘ancaman’ yang mungkin menghambat di jalur Merauke-Tanah Merah adalah: kalau hujan mobil bisa tertanam berhari-hari.
Beratnya jalur Merauke-Tanah Merah (Boven Digoel)
Mobil bisa tertanam di lumpur pekat
Saat beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 4 Desember 2018 pagi saya mendapat berita tentang diserangnya para pekerja proyek pembangunan Trans Papua di Kabupaten Nduga oleh kelompok kriminal bersenjata, yang berakibat tewasnya belasan orang pekerja dan beberapa orang lagi luka dan hilang (belum ditemukan), saya terhenyak, syok, sedih, dan campur geram teramat sangat.
Baca juga: "Yang Lain Berburu Tiket Promo ke Jepang, Kami Memilih Blusukan Mahal di Papua"
Saat saya membaca judul berita dari salah satu portal berita kenamaan yang agak provokatif --mengatakan ini proyek ambisi Jokowi yang telan korban pekerja, darah saya mendidih. Untunglah, akhirnya judulnya diubah –setelah diprotes mungkin. Mmmm... itu penulis, editor, maupun redakturnya –siapa pun yang telah meloloskan judul itu, pernah terjun langsung melintasi Trans Papua nggak yaa? Pernah nggak lihat langsung dengan mata kepala sendiri penderitaan warga lokal yang untuk mengirimkan logistik antara Merauke ke Tanah Merah (Kab. Boven Digoel) sejauh 500 km perlu waktu berhari-hari bahkan bisa sebulan PP saat hujan terus mengguyur tak henti-henti? Pernah nggak ketemu ibu-ibu tua yang menangis kelaparan dan harus menunggu di pinggir jalan di tengah hutan karena truk yang ditumpanginya tertanam di jalanan berlumpur pekat?
Proyek Trans Papua harus dilanjutkan
Saat tahun lalu melakukan perjalanan menembus dua ruas Trans Papua itu saya dan teman-teman berbekal semangat untuk melihat langsung dengan mata dan nurani sendiri. Demi menjawab rasa penasaran yang begitu besar tentang bagaimana kondisi di Papua. Kami nggak di-endorse pihak mana pun. Nggak dapat kucuran dana dari siapa pun. Murni merogoh kocek sendiri untuk perjalanan yang dianggap aneh oleh sebagian orang itu. Semua demi mendapatkan fakta terkini di lapangan. Kami dapatkan fakta, tumbuh beberapa perkampungan baru di ruas Sorong-Manokwari, yang pada gilirannya ini akan menggerakkan roda ekonomi di daerah itu. Fakta lainnya, jalur neraka Merauke-Tanah Merah yang dulunya paling cepat bisa dilalui 7 hari PP, dengan pembangunan jalan dan jembatan yang belum rampung saja, durasi itu bisa dipangkas menjadi 11 jam sekali jalan! Kami membuktikannya sendiri, bray... Bukan cuma katanya, katanya...
Jembatan permanen yang telah dibangun di jalur Sorong-Manokwari
Jadi, tolong jangan songong dengan mengatakan ini proyek ambisius ya! Ini proyek mulia demi pemerataan pembangunan dan keadilan sosial. Bahwa telah jatuh korban jiwa karena kekejian pasukan separatis brutal itu, tentu ini membawa duka mendalam. Kita tundukkan kepala dalam-dalam bagi mereka para pahlawan pembangunan. Kita turut berduka dan berempati bagi keluarga yang ditinggalkan. Level keamanan di lokasi-lokasi proyek harus ditingkatkan. Dan ya, pembangunan harus terus dilanjutkan sampai tembus dan rampung semua sekitar 4.600 km dari Sorong di Papua Barat hingga Merauke di Papua, termasuk ruas-ruasnya yang menembus Pegunungan Tengah. Kita tidak takut!
Kita tidak takut!
Kita tidak takut!
Kejadian ini juga nggak menyurutkan langkah saya dan teman-teman untuk menjajal lagi ruas Trans Papua lainnya. Tentu nggak dalam waktu dekat. Kami juga nggak mau nekat, nggak mau gegabah, nggak mau membuat khawatir orang-orang di sekitar kami. Sabar saja, pasti ada jalannya, pasti ada waktunya, pasti ada takdirnya kami kembali ke sana....
Tempat indah ini mengundang untuk kembali
Baca juga: "Melompati Papan Bersalju di Jantung Papua (bagian 2-Tamat)"