Warga lokal menjajakan kain khas NTT dari atas kapal
Usai snorkeling di dekat Pulau Ternate, di Selat Pantar, di hari pertama perjalanan Ekspedisi Terumbu Karang di Perairan Alor dan Fores Timur 2017 bersama WWF-Indonesia, saya melihat ada kapal kayu merapat di Kapal Menami kami. Isinya penuh dengan ibu-ibu warga lokal yang tengah membentangkan kain tenun ikat khas NTT. Karena kawasan ini memang masuk kawasan wisata, jadi banyak warga lokal berjualan dari atas perahu, merapat ke kapal-kapal wisatawan. Beberapa rekan jurnalis yang ikut dalam perjalanan hari pertama itu tergoda membeli kain-kain buatan tangan dengan pewarna dari bahan alami. Kain yang besar ada yang dihargai Rp 400 ribu, yang kecil ada yang Rp 50 ribu.
Dan kain itu pun dilempar... Para ibu di Alor menjajakan dagangannya dari atas kapal dan merapat ke kapal kami
Saat sudah berada nun jauh di ujung timur Pulau Alor, kapal kami juga didekati perahu kayu nelayan. Ternyata mereka minta barter solar dengan ikan-ikan tangkapan mereka. Sekitar 6 ekor ikan (sweetlip, naso, angle fish, barakuda) dibarter dengan 36 liter solar. Barter dilakukan dalam bahasa setempat yang kami tidak mengerti. Kami hanya menonton dan memotret. Derta, salah satu anggota tim dari Reef Check Indonesia, sempat ragu, mereka bisa bahasa Indonesia nggak ya. Kata saya, pasti bisa. Dan kami membuktikannya. Itulah hebatnya bangsa kita ini, dari ujung barat ke ujung timur, sampai pelosok mana pun, mayoritas penduduknya bisa berbahasa Indonesia, kecuali orang yang sudah sangat sepuh. Bahkan yang saya dengar dari kru kapal, saking banyaknya bahasa daerah di Pulau Alor, mereka berkomunikasi dengan orang dari suku lain dengan bahasa Indonesia. Ya, bahasa Indonesia jadi bahasa pemersatu mereka.
Transaksi barter ikan dengan solar
Menurut keterangan yang saya dapat juga dari kru kapal, mereka adalah para nelayan dari Pulau Buaya (pulau lain di sebelah Pulau Ternate) yang mencari ikan hingga jauh ke timur, lalu membawa dan menjual hasil tangkapannya ke Timor Leste. Dijual dengan harga mahal di Timor Leste, katanya.
Pertemuan kami dengan warga lokal lainnya terjadi di Desa Maritaing, tempat kapal kami bersandar di hari kedua perjalanan. Hanya terlihat beberapa bapak dan anak-anak sore itu. Baru keesokan harinya saat kami hendak meninggalkan desa itu, kami ‘dilepas’ oleh serombongan anak-anak berseragam sekolah SD yang dengan semangat melambai-lambaikan tangan kepada kami. Saya sempat bertanya kepada salah satu anak, apakah ada SMU di sekitar desa itu, mereka bilang ada. Good to hear that.
Bertemu dengan gadis cilik di Desa Maritaing
Sayang di Desa Maritaing itu tidak terlihat bocah-bocah lokal yang bermain dengan melompat ke air dari dermaga. Aksi bocah-bocah main lompat-lompatan ke air sempat saya saksikan waktu Kapal Menami masih sandar di Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, NTT. Seru banget menonton bocah-bocah itu berebutan naik ke kapal kayu kecil yang sedang sandar lalu melompat ke air dengan beragam gaya. Ada juga sebagian yang melompat ke air dari dermaga yang cukup tinggi. Menjadi hiburan tersendiri bagi saya kala itu yang sempat bosan menunggu kapan kapal mulai bergerak ke lautan.
Aksi bocah-bocah lokal melompat ke air
Tulisan ini juga dimuat di website WWF-Indonesia, klik di sini.
Baca juga “Siapa Mau Kerja Enak di Bawah Laut?” dan “Ogah Skip Dive Demi Cintaku Hiu”