Pepes patin tempoyak
Pasar Baru Jambi, di Selincah, sudah ramai di pagi itu. Melihat pasar tradisional selalu menyenangkan, karena kita bisa melihat aneka rupa komoditi lokal yang sangat khas. Kota sungai seperti Jambi tentu saja memiliki pilihan produk sungai yang beragam: ikan patin besar, udang galah, dan lain-lain. Tapi, yang saya cari, belum ketemu. Konon adanya di lapak-lapak bumbu.
Aneka ikan sungai di Pasar Baru Jambi
Lapak penjual bumbu
Lapak jengkol
Kecombrang dan herba
“Kami tidak ado, di depan sano Pak!” kata pemilik lapak ketiga yang kami hampiri. Apa sih yang dicari? Tempoyak! Komoditi fermentasi khas Jambi/Palembang ini ternyata cukup sulit dicari. Lapak yang ditunjuk, punya satu kantung 250 gr tempoyak dalam toples. Karena saya masih penasaran, saya masuk lebih jauh lagi ke dalam pasar untuk mencari kios yang khusus menjual tempoyak. Ah, ternyata ketemu! Sebuah kios sederhana, dengan jajaran plastik ukuran 100 gr dan 250 gr yang diisi pasta berwarna kekuningan, dan sebuah ember besar beraroma khas. Inilah tempoyak!
Tempoyak dalam toples
Tempoyak dalam ember, siap jual
Tempoyak yang sudah dikemas dalam plastik
“Tempoyak ada dua jenis Pak, ada yang biasa, ada yang bagus,” kata Pak Firdaus penjual tempoyak. Yang biasa dibuat sendiri di kios buah durian, yang bagus diproduksi di desa-desa produsen durian. “Paling bagus biasanya dari kawasan Batu Raja, Palembang,” katanya. Sayangnya, tahun ini produksi durian Batu Raja kurang banyak, sehingga tempoyak kali ini berasal dari Padang dan Tanjung Enim. Jambi sendiri absen, karena hasil duriannya tahun ini sangat berair sehingga tidak bagus untuk tempoyak.
Baca juga: “Bersepeda ke Masa Lalu di Muaro Jambi”
Cara membuatnya: durian diambil dari buahnya dan diletakkan di drum, kemudian diberi garam. Selapis duren, selapis garam, begitu terus sampai penuh, kemudian difermentasi selama 5-6 bulan. Rupanya mitosnya betul: kunci tempoyak enak adalah tidak menggunakan sendok logam ketika mengupas durian. “Ini contoh tempoyak kualitas bagus: berserat, agak kental, dan aromanya kuat!” kata Pak Firdaus yang menerima pesanan sampai puluhan kilogram sehari dari rumah makan seluruh Indonesia, termasuk Jakarta. Tempoyak bisa tahan 5 bulan sampai 1 tahun, tidak perlu dilemari es. Justru kalau di lemari es, fermentasinya berhenti dan warnanya berubah. Untuk menyimpan, cukup di dalam toples saja di suhu ruang.
Pak Firdaus menunjukkan tempoyak yang bagus
Seperti apa rasa tempoyak? Untuk menjawab ini, meluncurlah ke RM Gatot, rumah makan Padang rasa Jawa yang sudah lama berjualan di kawasan Rajawali Jambi. RM ini memiliki pepes patin tempoyak: pepes ikan patin dengan bumbu tempoyak dan tambahan warna merah. Kami menyantapnya di rumah, dengan dihangatkan terlebih dahulu. Waktu dibuka, astaga! Aroma khas merebak, tapi bukan bau durian. Beda! Baru duriannya justru tipis saja. Tapi ketika bumbunya dicampur ke nasi panas, aromanya meruap ketika masuk ke mulut. Ada kegurihan unik khas fermentasi yang membuat kita ketagihan: mau lagi dan lagi! Daging ikan patin sungai yang besar dan empuk menjadi padanan yang pas dengan bumbu tempoyak, ditambah rasa pedas tajam yang menghujam lidah. Sedap! Kalap! Tak terasa, sudah satu porsi nasi putih lenyap, padahal baru setengah porsi patin dilahap. Tempoyak, memang mantap!
Pepes patin tempoyak RM Gatot
RM Gatot
Jl. KH Hasyim Asyari No 83
Rajawali, Jambi
N0. telp: 0741 31416
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.