Kawasan Sunda pesisir utara memiliki kisah kulinernya sendiri. Kali ini di Cibitung, kita bertemu karya adiluhung kuliner pesisir Sunda. Di sini sudah tidak ada aura lemah lembut ala Mojang Bandung. Yang ada gaya gahar Bek Bekasi!
Yak! Makanan ini namanya saja sudah gahar: Sop Janda, alias The Widower’s Soup kalau boleh saya terjemahkan. Ada yang bilang namanya karena status pemiliknya, tetapi ada juga yang menerjemahkan sebagai singkatan “Jawa - Sunda”, meskipun menurut saya ini pesisir murni, sedikit unsur Jawanya.
Baca juga: "Goyang Karawang Berbungkus Daun Pisang"
Bentuknya sangat menggoda: tumpukan tulang iga yang munjung melebihi mangkoknya. Tulang keras, tulang lunak, plus irisan daun bawang, dan.... cabai rawit hijau! Banyak sekali rawit hijau, bergelimpangan tak tahu malu. Cara pemesanannya pun unik: datang dulu ke meja saji, ambil nasi sepuasnya. Kemudian pilih gorengan: antara bala-bala atau tempe goreng. Lalu, jeruk nipis, semuanya ambil secukupnya. Kemudian, pesan sop dan sang mangkok munjung akan diantar ke meja, dalam keadaan panas membara!
Banyak TV yang meliput tempat ini, tetapi belum banyak yang membahas “trik” sang Janda ini. Kuncinya: coba beli yang tidak pedas, lalu minta sambalnya dipisah. Anda akan kaget betapa sop Janda yang tidak pedas, kurang enak! Lemaknya tebal sekali, sebentar saja sudah “ngendal” alias beku. Belum lagi rasanya yang “makteuh” alias maachtig! Kaget kedua: yang disebut “sambal” adalah semangkuk kuah kaldu dengan rawit hijau yang banyak. Tidak pakai cobek atau pisin, tapi dengan mangkok! Ini bukan sambal, ini kuah pedas!
Nah, di sinilah jeniusnya Sang Janda. Zat pedas rawit, namanya capsaicin, larut dalam lemak, bukan dalam air. Itulah sebabnya menambah minyak (contoh: sambal matah) menaikkan pedas tapi menambah air mengurangi pedas. Ketika air rebusan iga dipakai menggodok rawit hijau, kaldu berkadar lemak tinggi akan segera menyerap capsaicin rawit hijau, menyebabkan kuahnya menjadi pedas. Dan ini mengimbangi rasa makteuh lemak, sehingga bikin ketagihan!
Baca juga: "Berkat dan Kutuk dari Kudus"
Dan bukan cuma itu. Setelah makan, Anda akan mendapatkan sensasi “Remason” --seperti di mangut Juwana— di mana rasa pedas akan menempel di bibir, mulut dan tangan. Karena lapisan lemak mengandung capsaicin tinggi, melanjutkan sensasi pedasnya menjadi aftertaste “Remason” yang bertahan lama sesuai dengan kemampuan lemak membentuk lapisan tipis di bibir, lidah, dan mulut. Mak nyus!
Dan pairing dengan gorengan plus nasi khas pesisir yang cenderung agak pera dan terlihat tidak pulen, justru sangat cocok. Lidah yang sedang dalam posisi “orgasmik” karena sensasi capsaicin dan aktivitas menyedot sela-sela lemak iga di tulang, seolah semakin mendesah ketika bertemu tekstur kasar dari bala-bala dan tempe goreng, serta tekstur pera dari nasi panas. Suap demi suap diantar dengan sukses ke perut, plus ditutup dengan minuman teh manis yang membantu meredam efek Remason. Wahai kawan, yuk mampir ke Cibitung dan nikmati sensasi The Widower’s Soup!
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia.