PEVITA PEARCE KE FULAN FEHAN BUAT KERJA, KALAU KAMI SIH BUAT LIBURAN DOOONG.... 2019-06-30 00:00

Juru kunci Fulan Fehan

 

Fulan Fehan, pasti banyak yang nggak tahu deh ini tempat apa dan di mana. Mungkin sempat viral saat Pevita Pearce memposting kekagumannya pada Fulan Fehan di Instagramnya. Ya, aktris cantik ini pernah ke Fulan Fehan di Desa Dirun Kecamatan Lamaknen Kabupaten Belu, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk syuting film Rumah Merah Putih garapan Alenia Pictures yang kini tengah tayang di bioskop.

 

Kalau Pevita ke lembah cantik di kaki Gunung Lakaan dekat perbatasan dengan Timor Leste ini untuk kerja (syuting), kalau kami ke Fulan Fehan awal Juni 2019 lalu buat liburan dooong.... Fulan Fehan kami kunjungi di hari ketiga dalam perjalanan Timor Overland selama 7 hari.

 

Perjalanan dari Kota Atambua (ibu kota Kabupaten Belu) kami tempuh sekitar 2 jam. Kami nggak pakai mobil 4WD, cukup Innova saja, melalui jalur Takirin-Maudemu. Di beberapa tempat memang kami harus matikan AC karena jalanan sangat menanjak dan berliku, bukan aspal pula, tapi makadam. Ya, jalanannya ada aspal mulus, ada pula makadam hingga jalanan dengan batu-batu tajam (batu karang lho, karena konon di sini dulunya lautan).

 

Medan jalannya ada yang seperti ini

 

Sebelum tiba di tujuan, kami sempat berhenti di satu spot di mana kami bisa memandang ke arah lembah. Cantik!

 

Berhenti berfoto di sini saat cuaca masih sangat cerah

 

Sayang, cuaca cepat sekali berubah, dari sangat cerah, tiba-tiba turun kabut tebal. Tiba di padang sabana, di mana biasanya orang berfoto-foto sambil mengagumi pemandangan, kabut sudah turun. Tak banyak yang bisa kami lihat. Berfoto di sini pun cuma tampak latar kelabu.

 

Latar kabut kelabu

 

Namun kami masih sempat melihat kawanan sapi yang tengah merumput. Sapi di sini sapi merah, bukan putih, sama seperti di Lombok NTB. Sayang, kami nggak sempat melihat kuda liar yang biasanya juga banyak terlihat.

 

Melihat kawanan sapi dan alam cantik

 

Kawanan sapi seolah menyambut

 

Tapi namanya perjalanan, semua mesti disyukuri. Keberadaan kabut tebal justru membuat foto-foto kami di Benteng Lapis Tujuh (Benteng Ranu Hitu) menjadi mistis, dramatis dan eksotis. Saya lihat foto orang-orang lain di benteng ini jadi biasa saja tanpa kabut. Hehehe....

 

Fotonya jadi mistis kaaan karena kabut

 

Ya, setelah nggak bisa melihat apa-apa di padang sabana, kami memutuskan langsung ke Benteng Lapis Tujuh, yang memang merupakan salah satu spot wajib kunjung di Fulan Fehan. Sebelum ke benteng ini, kami menemui bapak tua juru kunci Fulan Fehan dan Benteng Lapis Tujuh di rumahnya yang sederhana. Di sini kami sempat dipetiki buah pomelo (sejenis jeruk bali) dan makan jambu biji Timor yang baru saja dipetik dari pohon. Asegaaarrr...

 

Bertandang dulu ke rumah bapak tua juru kunci

 

Empat mobil Innova kami agak kesulitan melalui jalanan bergelombang dengan batu-batu tajam dan besar-besar mengampar. Akhirnya kami putuskan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki di tengah kabut ke gerbang benteng. Untunglah sudah nggak jauh ternyata.

 

Lanjut jalan kaki di tengah pelukan kabut

 

Dan meskipun kabut, ada saja yang bisa kami nikmati, seperti sekumpulan pohon kaktus dengan bunga merahnya. Juga ada pohon bunga lainnya.

 

Kaktus dan bunga merahnya

 

Woww... Banyak kaktus di Fulan Fehan

 

Di depan gerbang benteng, di lapis pertama, Ba’i (sebutan untuk bapak tua juru kunci) melakukan ritual dulu. Termasuk menyembelih ayam jago dengan bulu dominan merah (coklat). Ayam ini kami yang bawa. Supir kami, Hq Irenius alias Nuno, sudah mencarikannya malam sebelumnya, termasuk membelikan sirih dan pinang sebagai tanda penghormatan, yang merupakan syarat masuk ke Benteng Lapis Tujuh.

 

Ritual di depan benteng

 

Singkat cerita, kami pun beriringan masuk melewati lapis demi lapis tembok benteng dengan dipimpin Ba’i di paling depan. Hingga tibalah kami di puncak benteng, puncak Bukit Makes, tepatnya di satu lokasi bundar yang di sekelilingnya dibatasi tembok batu, pendek saja, yang diselimuti lumut dan tanaman. Di sekitarnya pohon-pohon tinggi berdiri cukup rapat. Dalam cuaca terang pun saya yakin tempat ini sangat teduh. Tempat bundar ini adalah tempat dilangsungkannya ritual dan pertemuan pejabat-pejabat kerajaan pada masa itu. Di tengah-tengahnya ada semacam menhir kecil, yang dulunya itu, konon, untuk meletakkan kepala musuh yang telah ditaklukkan.

 

Inilah lokasi puncak Benteng Lapis Tujuh

 

Seperti yang sudah saya bilang, berfoto-foto di sini di tengah kabut pekat yang mengepung, hasilnya sungguh dramatis dan tentunya mistis. Terlepas dari kabut, tempat ini memang sudah mistis. Ba’i menceritakan beberapa hal penting tentang benteng ini, sesekali diterjemahkan oleh Femu, Hans, maupun Yon, ketiga pemandu lokal kami (Ba'i tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia, lebih banyak pakai bahasa lokal). Tidak semua ceritanya saya ingat. Silakan Trippers datang sendiri dan mendengar langsung cerita dari Ba’i tentang Benteng Ranu Hitu ini ya...

 

Di sinilah kami semua mendengarkan penjelasan juru kunci tentang Benteng Lapis Tujuh

 

Di belakang tempat bundar ini ada tumpukan batu-batu yang dibuat membundar, menyerupai singgasana. Di sinilah Ba’i duduk. Ba’i meskipun sudah sangat uzur (kami tebak sudah 90-an tahun) tapi tampak berkharisma dengan baju kebesarannya. Dan kami ber-15 pun langsung memotret-motret, tak mau melepaskan momen Ba’i duduk di singgasana.

 

Juru kunci duduk di singgasana

 

Selesai itu semua, kami diminta meletakkan uang di bawah batu yang seperti menhir itu, seikhlasnya. Nah, untuk keluar dari arena bundar ini, ada aturannya. Keluarnya nggak boleh ganjil, tapi 1 orang boleh, yang keluar terakhir. Awalnya waktu hanya mendengar nggak boleh ganjil seketika kami panik mengingat jumlah kami 15 dengan 4 supir dan tambahan 3 pemandu lokal dan Ba’i sendiri, total ganjil. Ooo, ternyata satu boleh....Pantangan lainnya, selama jalan nggak boleh tersandung apalagi nabrak orang di depan kita.  

 

Jalan kembali, ada beberapa tempat agak sulit. Jangan kesandung ya...

 

Baca juga: "Gunung Mutis, Nuansa The Hobbit Nan Mistis"

 

TENTANG BENTENG LAPIS TUJUH

Benteng Lapis Tujuh adalah benteng utama Kerajaan Dirun pada masa lampau. Merupakan benteng pertahanan karena dulu banyak perang antarsuku di wilayah ini. Benteng ini selain juga terdiri dari tujuh lapis tembok pertahanan, juga dibangun selama 7 hari 7 malam.

 

TIPS:

- Udara di Fulan Fehan secara keseluruhan cukup dingin. Sebaiknya kenakan jaket, juga kupluk.

- Bawa bekal makan siang dari Atambua karena di sekitar Fulan Fehan nggak ada rumah makan.

- Matikan fitur roaming di ponsel Anda, takutnya ponsel Anda menarik sinyal dari operator Timor Leste.

 

OBJEK LAINNYA DI FULAN FEHAN:

Bukit Batu Maudemu di Desa Maudemu, Benteng Kikit Gewen, Air Terjun Mauhalek, Air Terjun Lesu Til. Yang sempat kami datangi hanya Air Terjun Mauhalek. Ceritanya ada di artikel berikutnya.

 

O ya, bagi yang mau mendaki Gunung Lakaan yang berada di bagian barat juga dimulai dari Fulan Fehan ini.

 

FULAN FEHAN MENINGGALKAN PR

Saya ingin kembali lagi ke Fulan Fehan tanpa ‘bonus’ kabut. Ingin melihat sabananya, lembah-lembah dan bukit-bukitnya, lapang tanpa batas laksana di Swiss atau New Zealand. Ingin melihat sunrisenya yang saya bayangkan akan semagis sunrise di Padang 1 di kaki Gunung Mutis, Fatumnasi, Timor Tengah Selatan, juga di Pulau Timor. Yes, I’ll be back....

Teks: Mayawati NH Foto: Agus Wibowo Tjandra, Ghusty Petrus Ellreal, Hq Irenius “Nuno”, Mayawati NH, Suhari, Teo Liam Pheng, Wiwiek Asmawiati
Comment
Pipit

Apakah boleh itinerary Timor overland selama 7 Hari Di share ke alamat email tsb?Rencana pertengahan nopember akan explore kupang.Terimakasih

2019-09-29
Ivanka

Wah di Timor ada tempat seperti ini toh... Terima kasih sudah menginfo

2019-07-01