Kue keranjang saat masih dalam cetakan, belum dikukus
Ada satu kegiatan rutin Komunitas Jalansutra Chapter Tangerang yang tahun ini tidak terlaksana karena pandemi: kunjungan ke pabrik kue keranjang Ny. Lauw, Tangerang!
Yang memperkenalkan kami dengan lokasi Ny. Lauw adalah dr. Sindhiarta Mulya, yang menjabat “Gubernur Kuliner” wilayah Tangerang. Lokasinya eksotis, masuk gang dengan lokasi berseberangan dengan produsen peti mati berbentuk bulat yang menjadi adat warga Cina Benteng, sebutan untuk warga Tionghoa di Tangerang Banten. Pabrik ini beroperasi sepanjang tahun untuk dodol, tetapi khusus kue keranjang, hanya berproduksi semasa Imlek saja. Dari jauh sudah terdengar riuh rendah suara “BUK! BUK!” dari para pekerja yang menumbuk beras ketan dengan alu, membuat tepung ketan sebagai bahan utama kue keranjang. “Kalau beli tepung beras yang sudah jadi, kue keranjangnya tidak bagus teksturnya!” kata salah satu karyawan Ny. Lauw.
Para pekerja menumbuk beras ketan dengan alu
Dari situ, kami melihat mesin pencampur, yang mengingatkan saya pada mesin pengaduk karet di zaman kerja di industri kertas dahulu. Batangan pengaduk berputar sementara gula yang dicairkan dan diberi daun pandan, dituangkan ke adonan. Hasilnya adalah sebuah bahan viskoelastik (seperti play-dough atau slime) yang berwarna coklat muda nyaris putih. Dari sini, adonan dimasukkan ke dalam drum plastik lalu ditutup rapat, kemudian disimpan selama satu minggu. Lho, buat apa? “Kalau tidak disimpan dulu, warnanya tidak akan menjadi coklat,” kata salah satu karyawan. Ah, menarik!
Adonan pertama yang dimasukkan ke dalam drum plastik lalu ditutup rapat
Setelah disimpan dalam drum, adonan ini diaduk kembali, lalu dalam keadaan cair dicetak ke dalam keranjang kecil yang dilapisi daun pisang. Inilah asal nama “kue keranjang”, yang kemudian menjadi populer untuk orang Tionghoa di Indonesia dalam merayakan Imlek. Proses selanjutnya adalah pengukusan di dalam sebuah steamer besar, di mana adonan dimatangkan oleh panas uap air. Di sini, warna adonan berubah dari putih/coklat muda menjadi warna coklat tua yang kita kenal.
Cetakannya berupa keranjang kecil yang dilapisi daun pisang
Adonan cair dimasukkan ke cetakan
Steamer besar
Tradisi kue keranjang ini begitu khas sampai pada saat saya bekerja di Shanghai, Tiongkok, saya heran karena gagal menemukan kue keranjang “asli Shanghai” untuk oleh-oleh. Ketika saya bertanya pada teman yang kelahiran Shanghai, dia malah tidak mengenal sama sekali yang namanya kue ini, dan untuk beliau Imlek dirayakan dengan kembang api, jeruk ponkam, dan suguhan berupa manisan buah dan kacang-kacangan. Akhirnya, sayalah yang membawa kue keranjang Pekalongan ke Shanghai dan membagikannya pada teman-teman, untuk menunjukkan: begini lho… caranya orang Tionghoa di Indonesia merayakan Imlek!
Baca juga: “Merah Meriah Pernak-Pernik Imlek”
Cara menikmatinya pun khas: bisa disantap begitu saja setelah dikukus, atau digoreng dengan telur, dan terakhir direbus lalu disantap dengan parutan kelapa segar. Alternatif terakhir pastilah khas Tionghoa Indonesia karena di Shanghai jarang ada kelapa! Sayangnya, tradisi ini mulai pudar, diganti oleh kebiasaan baru yang meniru Shanghai atau Beijing. Ketika satu per satu famili senior berpulang, kue keranjang pun mulai menghilang dari menu Imlek di rumah saya. Sampai beberapa hari lalu saya terkejut menerima kiriman kue keranjang “Ny. Liao Soen Tjeng” asal Tegal yang biasanya dikirimkan oleh almarhum nenek saya atau keluarga dari Pekalongan. Rupanya, salah satu tetangga yang juga berasal dari Pekalongan yang mengirimnya. “Ini dari mama saya, Pak, untuk mempertahankan tradisi...” katanya melalui WA. Wah, terima kasih, selamat tahun baru!
Baca juga: “Koh Konyan Koh, Hongbao Nalai?”
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia.