Mangut kepala ikan manyung
Mbak Iin Simon, chef di balik Resto Gora, memang punya pengalaman mumpuni di bidang kuliner. Sempat berbisnis di Yogyakarta, beliau pernah mengalami asam garam dunia dapur dari membuka restoran baru sampai menyiapkan katering khusus untuk salah satu orang terkaya di sebuah negara Eropa. Kini, beliau memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya Jepara dan fokus untuk masak di rumahnya. Mirip dengan kisah Chef Yudi di Dapur Bali Mula, tapi ini versi Jawa!
Mbak Iin Simon dengan hidangan kreasinya
Lho, bukankah tonggak citarasa Jawa adanya di dapur-dapur keraton Yogya dan Solo? Eits, nanti dulu! Selain versi pedalaman, ada lagi Jawa pesisiran yang berbeda dengan versi keratonan. Dan bukan sekadar pesisir --ini Jepara, daerah yang tidak dilewati Pantura Jakarta-Semarang dan dulunya pernah menjadi pulau sendiri yang terpisah dari Pulau Jawa. Daerah ini lumayan terisolir sehingga kita punya kesempatan mencicipi hidangan yang relatif orisinal.
Waktu menjelang siang, ketika kami tiba di lokasi. Sebuah meja panjang dengan enam set piring sudah disiapkan, di teras rumah yang memiliki halaman dengan pepohonan yang cukup rimbun. Mbak Iin sedang sibuk menyiapkan hidangan, yang tak lama kemudian mulai keluar satu per satu. Ada satu jenis hidangan yang kami tunggu-tunggu di hari itu: horog-horog!
Suasana rumah di Resto Gora
Horog-horog adalah sagu terakhir di tanah Jawa. Konon pada zaman dahulu orang Jawa mengonsumsi sagu sebagai makanan pokok, bukan beras. Salah satu buktinya adalah kata “sego” yang kini artinya nasi, arti asalnya adalah sagu. Tapi setelah melihat fosil beras berusia 1.000 tahun di Situs Liyangan Temanggung, saya jadi ragu: benarkah sagu pernah menjadi makanan pokok di Jawa? Nah, satu-satunya wilayah Jawa yang masih makan sagu sebagai makanan pokok hanyalah Jepara dengan horog-horog ini. Berarti, kebiasaan ini sudah berusia lebih dari 1.000 tahun!
Horog-horog
Ketika hadir, penyajiannya saja sudah mengejutkan. Berbeda dengan papeda ala Papua yang lengket seperti lem, horog-horog berbulir seperti nasi. Sehingga ketika disantap dengan pindang serani yang berkuah asam-segar, bulir ini bisa menyerap kuah dengan baik. “Ini lebih enak dari nasi shirataki!” kata seorang teman. Memang, kalau shirataki tengahnya kosong seperti memakan agar-agar, ini bulirnya sedikit manis dan menyerap kuah. Enak! Lalu, saya menggabungkan antara kuah bening pindang serani dan kuah gurih mangut kepala ikan manyung. Astaga, sedap nian! Kuah mangutnya gurih sedap, sedikit pedas, dan kepala manyung memberi aroma gurih khas pada kuahnya. Nikmat!
Sepiring horog-horog dan lauk, hidangan Jawa kuno
Pindang serani
Sajian lainnya menanti: ada sayur bening dengan daun kelor dan rebung. Rebung? Ya! Kami sampai menduga-duga, apa bahan berserat berwarna putih ini. Ternyata rebung! Rebungnya bukan ala Tionghoa seperti isi lunpia Semarang, tetapi ala Jawa. Rasanya sedikit manis, berserat, berpadu cantik dengan daun kelor yang agak pahit plus rasa manis-gurih dari kuahnya. Kemudian ada pecel udang dan ikan asap, dengan sambalnya yang pedas mantap.
Sayur bening dengan daun kelor dan rebung
Pecel udang dan ikan asap
Dua jenis urap hadir, dua-duanya luar biasa: yang satu bulung alias sea grapes, rumput laut berbulir yang nampak sangat segar. Lalu ikan pari asap, yang dipotong persegi dan disajikan dengan bumbu urap. Rasanya luar biasa! Rumput laut bulung yang segar bertekstur renyah berpadu dengan bumbu urap gurih pedas. Sementara ikan pari asap, paduannya berbeda: gurih-asin dari ikan pari dengan urap yang sedikit asam dan pedas. Luar biasa!
Urap bulung
Urap ikan pari asap
Seolah belum cukup, hidangan demi hidangan meluncur dari Dapur Gora. Ada bakwan goreng, hidangan sederhana namun bikin ketagihan. Lalu ada pecak terong dan tempe --ini jejak Pantura Jakarta-Semarang, kuliner Benteng Tangerang yang terbawa perang Geger Pacinan sampai ke wilayah ini. Gurih sedap dengan santan yang dominan, sedap disantap dengan nasi panas!
Bakwan goreng
Pecak terong dan tempe
Lalu, ada hidangan sayuran yang sangat berkesan: hadir dengan ikan asin berbentuk seperti bakwan, ini disebut “tempong” di Jepara. Ikan asinnya renyah dan gurih, dipadu cantik dengan sayurannya yang sedikit pahit dan beraroma laut --rupanya dibuat dari daun pepaya dan rumput laut. Rasa hidangan sayuran yang dibentuk hanya dari paduan bahannya selalu mengagumkan --salah satunya hidangan ini! Gurih, sedikit pahit, ada manis tipis, dengan serat daun yang dominan… dan kalau sudah terasa membosankan, gigitlah sebongkah tempong. Duar! Rasa asin gurih meledak, menjadikan rasanya selaras dan ingin menyuap lagi. Ciamik!
Daun pepaya, rumput laut, dan tempong
Ada yang pernah bertanya: kalau betul Indonesia disebut berbudaya maritim, nenek moyang kita orang pelaut, mengapa makanan tradisional kita rata-rata ayam dan sapi? Mengapa kita (terutama di Jawa) kurang makan ikan? Nah, pada santap siang di Resto Gora ini, kami sama sekali tidak bertemu sapi, kambing, atau ayam! Padahal, kami hanya memesan menu yang asli Jepara saja. Ternyata otomatis yang keluar adalah ikan, udang, dan rumput laut! Di sinilah kami menemukan hidangan Jawa kuno, yang disantap oleh nenek moyang kita saat mereka mencapai puncak kejayaan Nusantara. Inilah bukti bahwa bangsa Indonesia memang benar berbudaya maritim, gemar makan ikan yang bergizi tinggi! Di Jepara, semuanya masih ada --termasuk horog-horog sagunya!
Yuk, berziarah kuliner ke Resto Gora, dan cicipi selera maritim Jawa!
Pemesanan melalui direct messsage di Instagram @resto_gora
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.