Aneka olahan salak
Baru saya sadar, betapa curamnya lereng tempat pohon berada. Pantas saja hanya salak yang cocok ditanam di tanah seperti ini! Pohonnya kira-kira tingginya dua meter, penuh daun berduri yang menjurai kanan-kiri. Sambil melindungi jidat saya yang sudah basah kuyup, saya mengikuti Pak Nyoman Beratha yang fokus mencari “Pohon Salak Playboy”.
Hampir saya menyerah, ketika tanah terus menanjak, jarak pohon makin rapat dan saya merasa sesuatu menusuk pergelangan kaki saya. Pak Nyoman yang kira-kira 5 meter di depan saya, tiba-tiba berteriak, “Ini Pak, sudah ketemu!” katanya sambil berdiri di depan si Salak Playboy.
Pak Nyoman Beratha dan sang Pohon Salak Playboy
Pohon yang saya lihat kira-kira tingginya 3 meter, batangnya lebih besar, dan di pangkal pohonnya tidak ada bakal buah salak. Ini adalah pohon salak jantan. “Di kebun saya, 30 are (3.000 m2), hanya ada satu pohon jantan ini yang membuahi ratusan pohon betina. Playboy ‘kan Pak?” kata Pak Nyoman. Oalah! Pembuahannya lewat udara, dan di bawah pohon terdapat sajen yang menandakan pohon ini disucikan secara Hindu, karena peranannya yang penting dalam kehidupan salak. Unik!
Baca juga: “Kuliah Salak Di Sibetan Bali. Bagian 1:Satu Salak Tiga Duri”
Setelah berjuang lagi melindungi jidat dari hujaman duri salak, saya keluar kebun dengan kondisi berkeringat, kotor, dan lelah. Pak Wayan rupanya sudah menebak maksud saya. Dia berteriak memanggil seseorang yang bertubuh kekar, berwajah cerah ceria, nampak sehat mandraguna. Beliau mengangguk, lalu mempersiapkan ember dan jerigen. Apa pula ini?
Rupanya, tumpang sarinya salak adalah pohon aren! Di mana-mana nampak menjulang tinggi kira-kira 20 meter, dengan buah hijau menjurai ke bawah. Sang pria kekar, namanya Pak Simpen, adalah penyadap aren pembuat tuak! Dalam sekejap, dia memanjat batang bambu di samping pohon, lalu kutak-katik sejenak nun jauh di puncak pohon. “Demi dua liter, manjat 20 meter, Pak!” kata seorang teman. Bener juga! Tak lama kemudian Pak Simpen turun membawa satu ember cairan kecoklatan berbusa. Siap!
Pak Simpen memanjat pohon aren
Pak Simpen dengan tuaknya
Kami pun duduk di bale di bawah pohon aren. Langit biru nampak cerah, angin semilir adem khas udara pegunungan. Pak Simpen rupanya punya dua jenis tuak yang berbeda “lawuh” atau raginya. Yang satu putih, yang satu coklat berbusa. Yang coklat dituang ke gelas, dan saya cicipi. Amboi! Adem, manis, segar, dan masih terasa fizz atau gas karbonasinya (tidak sebanyak limun, sekitar 5-6 gr/liter CO2 HAYYAH!). Dan ini semua dari alam, tanpa mesin, tanpa karbonasi! Hebat! Yang putih, lebih pahit (alkohol lebih tinggi), sedikit busanya. Pak Simpen tertawa melihat muka saya mulai merah! Sambil merenung, saya mikir. Gini nih kayaknya dulu kalo Hayam Wuruk dan Gajah Mada lagi weekend: duduk minum tuak di bawah pohon aren!
Tuak putih dari pohon aren
Kembali soal salak, rupanya, alam memang adil. Salak gula pasir memang sedap untuk dimakan langsung, tetapi tidak bisa diolah karena rasanya kurang enak. Untuk olahan: dodol salak, manisan salak, termasuk wine dan arak salak, semuanya menggunakan varian salak bali seperti nanas atau nangka. Warna merah menyala dari manisan salak adalah alami. Dan ada satu produk yang unik: biji salak yang di-roast, lalu digiling, dan kemudian dibuat kopi. Ini nih menarik: decaf ala Bali, kopi biji salak!
Menjelang akhir kunjungan, saya mencicipi kreasi terbaru yang masih R&D: arak salak herbal. Arak yang aromanya mengingatkan saya pada aroma gudang rempah di Pekalongan milik nenek saya dulu. Belum lagi arak salak Selaka Ning produksi Pak Wayan, yang rasanya harum aroma buah salak. Sedap! “Jadi sekarang sudah paham salak Bali ya, Pak?” tanya Pak Wayan sebelum saya pamit. “Sudah, Pak, kalo beli di toko akan saya tanya: ini arak asal Bali atau bukan?” --jangan sampai beli oleh-oleh arak Bali kok pohonnya di Jogja, hehehe.
Pak Wayan Darma dan Pak Nyoman Beratha
Untuk yang berminat wisata kebun salak Pak Wayan Darma, bisa via DM menghubungi IG @selakaning.id
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.