Sepiring rawon Mbah Djo Nganjuk
Nganjuk di Jawa Timur memang bukan destinasi favorit untuk jalan-jalan. Tapi, ketika Pak Ganjar Pranowo berkunjung ke sana beberapa waktu lalu, beliau langsung nge-tweet: “Nganjuk, I love you full!” Ada apa sih di Nganjuk?
Tweet Ganjar Pranowo
Kami tiba di Kota Nganjuk kira-kira jam 11 siang. Mobil diparkir di depan bangunan sekolah dasar. Begitu turun, hawa kering panas menyapa kulit kami. Pohon-pohon tinggi memagari jalan yang cukup ramai oleh berbagai kios yang menjual makanan. Maklum, ini di dekat sekolahan! Tapi, tujuan kami bukan jajan. Seorang ibu menyambut kami di depan pintu pagar, sebuah rumah sederhana dengan papan nama “Bumbu Mbah Djo”. Ya, inilah HQ alias Headquarter dari Bumbu Mbah Djo (@bumbu.mbahdjo). Menarik!
Bu Nanik Bumbu Mbah Djo (kedua dari kanan) menyambut rombongan kami
Bumbu Mbah Djo adalah produsen bumbu artisan yang berasal dari Nganjuk. Kebetulan kami kenal dengan Bu Nanik, tangan terampil di balik produk ini. Dan, beliau bersedia menerima kami di rumahnya, tempat beliau meracik Bumbu Mbah Djo. Menunya apa? Asli Nganjuk tentu saja: pecel!
Bumbu Mbah Djo
Pecel Nganjuk menjadi hidangan pembuka yang menarik, menggunakan sambal pecel Mbah Djo tentu saja. Berbeda dengan versi Blitar yang sedikit wangi, di Nganjuk aromanya sederhana saja, namun rasanya lebih gurih tajam, nutty, dan pedas. Komponen sayuran yang digunakan pun sangat komplet: ada kembang turi, kemudian ada jantung pisang, daun kemangi, daun kenikir, toge, dan kacang lamtoro. Inilah menurut saya “sayur yang enak”. Enak, karena bahannya semua dari Nganjuk! Mungkin dipetik subuh tadi, dijual di pasar jam 6 pagi, lalu dibeli dan diracik jam 10 pagi. Sayuran yang seumur hidupnya belum pernah ketemu lemari es. Rasanya segar, renyah, harum. Saya paling terkesan pada jantung pisangnya, yang sama sekali tidak bergetah dan menyajikan tekstur mirip jamur yang menarik untuk hidangan ini. Siram dengan bumbu pecel Nganjuk, aih! Sedap nian!
Komponen sayuran untuk pecel: kembang turi, jantung pisang, daun kemangi, daun kenikir, toge, dan kacang lamtoro
Pecel Nganjuk ala Mbah Djo
Kurang lengkap kalau makan pecel tanpa gorengan! Untungnya, tuan rumah sudah menyiapkan tahu goreng dan tempe gembus goreng. Tahunya dari Kediri, salah satu wilayah pendekar tahu di Jawa Timur. Buat lidah saya yang asal Bandung (pendekar tahu Jabar), tahu Kediri ini nyaris sempurna! Lembut, tidak terlalu asam, dan digoreng juga dengan baik. Namun, tempe gembus goreng ini yang menarik! Tempe gembus adalah fermentasi ampas kedelai (ampas produksi tahu). Kalau proses pembuatannya kurang bersih, biasanya ada rasa asam atau aroma langu. Tapi ini, murni gurih bersih! Jadi mirip chicken nugget vegetarian: tekstur lembut, aroma kedelai, dan kulit luar yang renyah panas. Disantap selang-seling dengan tekstur kaya raya dari pecel, bikin ketagihan!
Tahu goreng Kediri
Tempe gembus goreng
Ini baru permulaan, Kawan-kawan! Kami datang ke sini untuk satu hidangan: rawon! Konon, bumbu rawon Mbah Djo hanya menggunakan kluwek dari Gunung Wilis. Seperti apa bentuknya? “Ini, silakan kalau mau dilihat,” kata Bu Nanik sambil membawa tampah berisi kluwek. Kluweknya hitam legam, kering, warnanya persis warna batu-bara. Wow! “Untuk mendapatkan rasa dan warna yang intensif, kluweknya dijemur dulu beberapa waktu,” kata Bu Nanik. Pantas saja! Ketika baru dibuka, kluwek justru bukan hitam, tapi coklat. “Ini bisa dimakan, ayo dicoba!” katanya. Saya menelan ludah, maklum biji kluwek dari pohon pangi (Pangium edule) mengandung sianida! Ternyata, biji yang coklat ini sudah direbus dalam air lalu disimpan dalam tanah atau abu selama beberapa waktu, sehingga sudah aman dimakan. Rasanya mirip tauco: rasa nutty menonjol, asam kecut, dan gurih. Sekilas memang ada rasa intensif dari kuah rawon. Menarik!
Kiri atas: kluwek sebelum dijemur, kanan atas: kluwek segar, bawah: kluwek setelah dijemur
Bu Nanik menjelaskan proses penyiapan kluwek
Ada dua jenis rawon yang disajikan: satu rawon daging, satu lagi rawon labu siam atau gondes. Bu Nanik mengajari satu trik makan rawon: “Coba dikucuri jeruk nipis…” katanya. Hmm, memang cocok! Karena kuahnya berlemak, rasa kecut berpadu manis dengan asam lemak dan menghasilkan rasa seimbang. Dagingnya empuk dan sedap. Kuah rawonnya, aduhai! Memang bahan menentukan kualitas! Kaldunya terasa sedap, namun rasa rawonnya gurih-asam sangat terasa. Menarik! Tetapi, ketika mencicipi versi labu siam, saya terkejut. Rasanya beda banget! Mirip dengan pindang iga dan pindang patin Palembang: bumbu sama, rasa beda, karena kandungan lemak yang berbeda. Namun kluwek, yang menjadi syarat penyajian rawon, menjadi perasa yang unik di kedua hidangan ini. Mak nyus!
Rawon daging
Rawon labu siam dan tahu
Nganjuk mengajari kami, bahwa untuk masakan yang lezat, bahan adalah segalanya. Lokalitas bahan Bumbu Mbah Djo menjadikannya unik dan spesifik. Yuk, mampir ke Nganjuk, jangan lupa mampir ke Bumbu Mbah Djo. Kontak via direct message di Instagram ya! Nganjuk, I love you full!
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.