Aneka coklat di Mason Chocolate Lounge
“Kang, mampir deh ke Mason Chocolate!” begitu rekomendasi seorang kawan yang tahu saya sedang di Bali. Mason Chocolate? Apa itu? Meskipun coklat fermentasi kakao masuk dalam prioritas di Fermentasi Nusantara, saya rasanya belum pernah lihat coklat merek ini. Ada outletnya di Bypass Ngurah Rai, lalu sebuah outlet besar dengan show kitchen di Tatak, dekat Taro Elephant Park, dan satu lagi di Kadewatan, tidak jauh dari Nasi Ayam Bu Mangku.
Setelah sampai di Kadewatan, mobil kami parkir di lahan luas. “Register here for Mason Adventure,” katanya. Rupanya, Mason adalah pelaksana tur petualangan yang juga mengelola elephant park. Tapi, belum kelihatan coklatnya nih! Yah, mungkin baru mulai kecil-kecilan, pikir saya. Sambil menggendong putri-putri yang ketiduran, di bawah mata elang pang-enam (sebutan untuk istri; saya pang-limanya) yang melihat risiko saya menyelipkan “kerjaan” dalam jadwal libur, kami turun dari mobil.
Baca juga: “Kapan Terakhir ke Monkey Forest?”
“Selamat datang, Kang! Mau lihat lokasi pembuatan coklat?” kata Chef Tiwi tanpa basa-basi. Padahal saya sebenarnya agak lapar! Akhirnya saya pun ikut, paling satu-dua meja orang meracik coklat... pikir saya. Apalagi ketika jalan kami menurun tajam ke basement, sampai ke pintu yang gelap. “Put, tolong nyalakan lampunya!” kata Chef Tiwi pada Mbak Putri yang juga mendampingi kami.
Aneka coklat di Mason Chocolate Lounge
Jreng! Saya kaget, bak anak kecil yang masuk ke istana coklat Willy Wonka! Saya harus memakai cover sepatu, cover kepala, dan baju putih safety. Lalu pintu kaca terbuka, muncullah ruangan besar mengkilap kinclong, terjaga suhu dan tekanannya. Jajaran mesin stainless steel dengan PLC canggih, sedang sibuk mengaduk adonan: ada yang coklat muda, putih, dan coklat tua. Sebuah mesin panjang bekerja dengan cetakan, mengisi batang-batang coklat. Mesin bundar berputar-putar bak dangdutan. “Ini mesin untuk bikin kacang yang disalut coklat, Kang!” kata Tiwi. Wow, ini mah bukan pengrajin, ini pabrik beneran cuy!
Baca juga: “Kamu ke Mana Aja, Aku Mangut…”
Dari roasting (iya, kayak kopi!) sampai akhir, semua diproses mesin sehingga coklat single origin (iya, kayak kopi!) kualitas terbaik bisa dihasilkan. “Kami hanya mengolah biji kakao terfermentasi dan mencari secondary flavor-nya!” kata Chef Tiwi, sementara saya asyik melihat seorang pekerja sedang mencetak coklat, mengingatkan saya pada Bakery Demel di Wina, Austria. Secondary flavor coklat seperti apa sih? “Ini Kang, mau tasting?” kata Chef Tiwi sambil menunjukkan tiga jenis sampel coklat: Java Edel, Jembrana Honey, dan Berau Kaltim. Ingin rasanya melahap semuanya karena perut lapar wkwk, tapi biar kayak coinnosseur beneran, saya menahan diri. “Chef, saya perlu air putih, bisa dicicip di kafe saja?”
Gelato di Mason Chocolate Lounge
Saya kembali ke kafe, disambut wajah gembira pang-enam dan putri-putri saya. “Makanannya enak banget!” kata si sulung yang biasanya susah makan, bahagia mengunyah fish and chips (bukan ikan Dory!). Pang-enam langsung menyodorkan segelas coklat hangat. “Ini enak banget!” katanya. Saya seruput, wow! Minuman coklat 71% ini mak nyus tenan! Mouthfeel-nya penuh, creamy, tetapi tidak manis. Dari sisi kimia kuliner, tidak mudah mencari suhu dan pengadukan tepat untuk mencampur coklat yang berlemak dengan air. Di sini saya mulai paham, Mason ini seriusan!
Chocolate drink yang mantap
Siraman coklat hangat membuat rasa lapar mereda, dan dengan bilasan air, saya siap mencicipi coklat. Jembrana dulu! Untung saya pengalaman nyicip coklat sambil ngeteh sama Mas Bambang Laresolo (salah satu pakar teh)! Rasanya yang ini beda. Tidak ada asam yang terlalu kuat seperti dark chocolate biasanya, aroma vanilla dan madu cukup kuat di aftertaste, membuatnya manis tanpa gula. Berau? Yang ini kedua kali saya mencicipi Berau, di sini lebih terasa earthy, berries, fruity. “Yang ini dari varietas khas Indonesia, Java Criollo,” kata Chef Tiwi. Pantas, warnanya jauh lebih muda padahal sama-sama 71%. Pas dicicip, wow! Sangat lembut, ada rasa sepat yang cukup kuat, aromanya floral. Keren! Baidewei, kenapa persennya kagok amat, 71%?
Dalam sekejap, hadir kembali sepiring coklat sampel dengan tiga persentase: 68%, 71%, dan 85%. Wah, menarik! Pertama-tama saya cicip yang 68%. Eh, yang dominan rasa manis dan aroma manis, jadi mirip milk chocolate. Lalu 85%: sepat, earthy, pahit, sedikit asam. Kemudian 71%: fruity, berries, aromatik, senyawa theobromin, fenetilamina! “Kerasa ‘kan, bahwa entah kenapa, di 71%-lah secondary flavor coklatnya benar-benar keluar!” kata Chef Tiwi sambil tersenyum. Mantap! Inilah cara terbaik mengajar efek pelarutan di jurusan kimia seluruh dunia!
Kiri-kanan: Penulis (Harnaz), Putri, dan Chef Tiwi
Kami mengobrol sampai sore sambil mengudap berbagai coklat. “Pandemi ini sulit, Kang, tapi Mason berkomitmen untuk tetap beli kakao membantu petani lokal. Misinya adalah coklat produksi Bali mau diekspor, supaya ekonomi Bali tidak tergantung hanya pada turisme saja!” kata Chef Tiwi, sementara saya menikmati puff pastry yang mak nyus. Memang, inilah kunci masa depan Bali: ekonomi yang mandiri! Kami pun pamit melanjutkan perjalanan, dan “feel good effect” dari coklat masih terasa keesokan harinya, ketika saya tanya putri sulung, hari ini mau ke mana. “Papi, kita mau ke Mason lagi!” katanya sambil tersenyum.
Berpose di depan Mason Chocolate Center
Keren Mason Chocolate, yuk yang di Bali mampir ke Kadewatan!
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia.