Dari jauh terlihat dermaga, dan Derta, salah satu anggota ekspedisi dari Reef Check Indonesia, berteriak, “Ada pemancar! Berarti ada sinyal...” Kami semua, warga metropolitan yang nggak bisa lama-lama lepas dari sinyal telepon, sontak berlarian mengambil ponsel masing-masing, mengecek pesan-pesan masuk. Padahal kami kehilangan sinyal baru beberapa jam saja ketika Kapal Menami telah jauh meninggalkan area perairan utara Pulau Alor di dekat bandara di Kalabahi.
Kami juga baru berlayar dua hari ketika kapal akhirnya merapat ke dermaga tersebut yang adalah Desa Maritaing, Alor Timur, NTT. Baru dua hari nggak nginjek darat, rasanya seneng banget bisa nginjek darat. Iya, saya memang seneng dan betah tinggal di atas kapal, tapi bukan berarti nggak excited kalau ketemu dan bisa turun ke daratan dalam perjalanan LOB (Live-On-Board). Begitulah kegembiraan yang saya rasakan ketika Jumat sore tanggal 24 Maret 2017 itu akhirnya kami, rombongan tim Ekspedisi Terumbu Karang WWF-Indonesia di Perairan Alor dan Flores Timur, menapaki daratan Desa Maritaing.
Di desa itu persis di bibir pantai ada kantor pelabuhan, dan tidak jauh dari situ ada Pos TNI AL. Iya karena desa ini adalah desa terujung di Pulau Alor yang dipisahkan oleh Selat Ombai dengan Timor Leste, jadi terhitung desa perbatasan.
Suasana pelabuhan dan pantai begitu tenang, hanya tampak beberapa warga lokal. “Kampung kami dekat saja dari sini,” kata Ina, satu bocah perempuan yang saya sapa, yang tengah berdiri di dermaga menonton Kapal Menami merapat.
Ina, si bocah lokal di dermaga Desa Maritaing
Kami pun turun dari kapal, berjalan kaki menuju patung Jenderal Sudirman yang ada di depan pantai. Berpose-pose, sampai tidur-tiduran. Bahkan Prakas, salah satu anggota tim dari Reef Check Indonesia, menerbangkan drone-nya, dan kami pun dadah dadah... Pantai berbatu menjadi pilihan beberapa dari kami untuk duduk-duduk santai menikmati keramahan alam sore itu.
Patung Jenderal Sudirman menghadap laut
Sedang asyik bersantai di pantai berbatu itu, tiba-tiba saat saya menoleh ke arah kanan, eh ada pelangi! Tapi pelanginya cuma sepotong, kayak rainbow cake gitu, bukan berupa garis melengkung yang merangkul horison seperti pelangi pada umumnya. Tapi justru unik. Saya nggak pernah lihat pelangi seuprit begini. Semburat warna oranye kemerahan di langit yang biru kegelapan menjelang malam datang sungguh memanjakan mata siapa pun yang melihatnya. Saya galau antara mau jeprat-jepret kamera terus, bikin video apalagi pas ada perahu nelayan lewat, atau memandanginya lama-lama dengan mata –lensa paling canggih ciptaan Tuhan. Momen ini begitu cepat... pelanginya perlahan lenyap, hanya tertinggal semburatnya yang juga cantik. Saya pun mengabadikan Menami dengan semburat langit cantik di atasnya. Nikmat mana lagi yang kau dustakan....
Pelangi maha indah sore itu di Desa Maritaing, Alor Timur
Kapal Menami dan semburat jingga di langit
Tulisan ini juga dimuat di website WWF-Indonesia, klik di sini.
Baca juga “Siapa Mau Kerja Enak di Bawah Laut?” dan “Ogah Skip Dive Demi Cintaku Hiu”