Pulau Kelayang di Belitung
Pantai pertama kami di Belitung cukup jauh, karena kami memutuskan eksplorasi Belitung Timur di sore hari setelah mendarat pagi dari Jakarta. Jarak Tanjung Pandan - Manggar (Belitung Timur) kira-kira 1,5 jam. Meskipun waktu tempuhnya terasa “cepat” untuk ukuran Jakarta, tapi jaraknya lumayan jauh yaitu 77 km, kira-kira dari Jakarta sampai persimpangan tol Cikampek ke arah Bandung. Jadi, siapkan waktu dan tenaga yang cukup kalau mau ke Manggar! Jalanan mulus membuat perjalanan terasa nyaman, sambil menikmati pemandangan dari hutan, kelapa sawit, sampai lansekap perbukitan di dekat Belitung Timur. Tujuan pertama: Pantai Burong Mandi!
Baca juga: "Belitung, Pesona Ayu Pantai Melayu (1) - Kuliner"
Kami tiba di Pantai Burong Mandi dan langsung takjub. Ini adalah Sanur tahun 1950! Sebuah pantai berpasir putih yang panjang, dengan jajaran kapal-kapal nelayan warna-warni. Ombak mengalun lembut, semilir angin laut menerpa kami. Anak-anak langsung menghampiri bibir pantai dan bermain pasir serta mencari kerang. Pasirnya lembut sekali, seperti tepung! Airnya pun jernih sekali, betul-betul pemandangan indah. Pantainya sangat bersih, mungkin karena sepi. Masih terlihat beberapa infrastruktur wisata yang terbengkalai akibat pandemi. Fasilitas di sini pun terbatas, namanya juga Sanur tahun 1950! Jadi, kalau mau main air di sini harap siapkan tikar, handuk dan barangkali bawa galon air sekadar untuk cuci kaki. Pasirnya saking lembutnya, tidak dibilas pun lama-lama bersih sendiri!
Pantai Burong Mandi
Baca juga: “30 Objek Wisata di Belitung. Trippers Sudah ke Berapa Tempat? (Bagian 1)”
Di dekat Pantai Burong Mandi ada objek wisata rohani yang cukup menarik dikunjungi: Vihara Dewi Kwan Im. Vihara ini terletak di atas bukit, dengan jalinan tangga yang meliuk-liuk menarik, serta menawarkan pemandangan yang luar biasa dari puncaknya, ke arah Selat Karimata. Kompleksnya dibangun dengan bagus dan rapi, bersih, cocok untuk sekadar foto-foto atau duduk beristirahat di salah satu pendoponya. Serasa seperti di Haw Par Villa, Singapura!
Vihara Dewi Kwan Im
Petualangan berikutnya dimulai pagi hari ketika kami parkir di Tanjung Kelayang dan naik ke atas kapal yang akan membawa kami keliling pulau alias island-hopping. Kapal standarnya sangat bagus, dengan pelampung lengkap untuk seluruh penumpang. Anggota rombongan yang punya aplikasi AQI atau Air Quality Index langsung sombong: “Hijau nih!” katanya. Ya jelas, sekeliling kami hanya lautan yang mengombak pelan, ditingkahi gugusan pulau batu raksasa yang berpasir putih, serta burung camar yang terbang berkeliling mengintai sarapannya di bawah air. Cantik sekali! Tujuan pertama: Pulau Pasir! Biasanya Pulau Pasir ini menyembul sedikit dari permukaan air dan banyak bintang laut yang bisa diajak berfoto. Sayang, gelombang sedang pasang sehingga Pulau Pasirnya tenggelam setinggi betis orang dewasa. Lumayan riskan untuk anak kecil, sehingga kami hanya foto-foto sebentar lalu lanjut ke tujuan berikutnya.
Pulau Pasir
Pulau berikutnya tak kalah indah: sebuah pulau pasir putih supermini yang juga “dihuni” batu-batu besar raksasa. Pemandangan ini sangat khas di dunia, ada di Pulau Seychelles dan Pulau Batu Berlayar di Belitung. Batu-batu besar yang berdiri di atas pasir putih, cantik untuk berfoto dan bisa untuk berteduh. Indah, tapi hati-hati ya! Di pinggiran batu ada sejenis kerang (barnacles) yang tajam dan bisa menggores kaki. Kerang yang ditemukan di sini beda lagi jenisnya, sehingga anak-anak langsung sibuk. Kemudian, airnya superjernih sehingga kami bisa berenang, dan kemudian berpetualang mencari ruang di antara batu-batu raksasa. Luar biasa!
Pulau Batu Berlayar
Berikutnya: snorkeling time! Saya awalnya agak heran: mau snorkeling di mana? Karena semuanya rata-rata agak dalam lautnya. Tetapi, inilah yang namanya keajaiban Belitung: tiba-tiba di tengah hamparan dasar berpasir putih ada koral besar yang menjulang tinggi, sehingga jika kita berenang di permukaan dan memandang ke bawah, pemandangan koralnya warna-warni cantik bak permadani tiga dimensi. Ikan-ikan kecil menyelinap di antara koral, yang agak besar bisa menghampiri kami, sehingga peserta snorkel seolah berenang bersama ikan-ikan warna-warni. Semuanya aman: pelampung, masker, bisa disewa dari pemilik kapal. Dan lagi-lagi airnya jernih luar biasa!
Setelah puas bermain di sini, kapal membawa kami ke tujuan berikutnya: mercu suar di Pulau Lengkuas. Kali ini perjalanan lumayan panjang dan gelombang cukup besar --maklum mungkin mendekat ke laut dalam. Pulau Lengkuas memiliki mercusuar, bangunan yang selalu nampak ikonik dari jauh dan lebih ikonik lagi dari dekat. Dibuat 100% dari logam dengan sistem knock-down, menara putih ini nampak cantik dan elegan, seolah menjaga pulau-pulau di sekitarnya. Kami turun untuk bermain pasir, sayang pintu masuk ke mercusuar ditutup sehingga tidak bisa dinaiki. Pemandangan dari atas pastilah menakjubkan! Penjual kelapa muda yang dulu banyak di sini, sekarang tidak terlihat. Rupanya, badai korona yang melanda membuat mereka berhenti berjualan. Semoga suatu saat bisa jualan lagi, karena minum kelapa sambil naik mercusuar bisa jadi aktivitas yang tak terlupakan!
Mercu suar di Pulau Lengkuas
Tujuan terakhir --tapi parkir paling lama-- adalah Pulau Kelayang yang persis berseberangan dengan Tanjung Kelayang tempat kami berangkat. Di sini ada serangkaian warung tenda yang menjual makanan laut, mie instan, dan kelapa muda. Lanjut! Kami memesan ikan bakar, udang bakar, cumi goreng tepung, dan kangkung yang semuanya sedap sekali dengan harga yang sangat masuk akal. Belum lagi, menyeruput kelapa mudanya! Wow, segar dan menyenangkan, sambil berlindung dari terik matahari.
Pulau Kelayang
Udang bakar
Ikan bakar
Kalau mulai bosan, di dekat situ ada sebuah gua alami yang dibentuk dari susunan bebatuan Belitung. Posisinya yang terlindung dari sinar matahari dan lembab oleh air laut menyebabkan tumbuhnya sejenis ganggang berwarna merah dan hijau di atas batu, menjadikan warnanya indah dramatis di bawah terpaan sinar matahari dari celah batu. Air masih jernih, sehingga anak-anak makin seru berenang di air tanpa ombak seperti di kolam renang. Luar biasa!
Gua di Pulau Kelayang
Celah batu dengan warna menarik di Pulau Kelayang
Akhirnya, matahari semakin condong ke barat dan kami pun harus pulang. Kapal membawa kami menyeberang ke Tanjung Kelayang. Setelah lelah seharian di kapal, ada satu tujuan menarik: Waroeng Kopi Ake. Konon dimulai sejak 1911, warung kopi ini langsung menyajikan aroma kopi sedap begitu kami masuk ke ruangannya. Sebuah kopitiam klasik yang menyajikan berbagai kopi sekaligus makanan ringan. Kopinya jenis yang disaring dengan “kaus kaki”, gurih sedap aromanya. Di sini juga dijual berbagai hidangan khas Belitung, seperti bacang (ukurannya mini) dan kue lapis. Kami menemukan satu yang unik: nasi gemuk ala Belitung. Terdiri dari nasi dengan teri, yang disiram kuah gulai tipis dengan belimbing wuluh. Rasa kuahnya asam segar, beda banget dengan nasi gemuk ala Jambi!
Waroeng Kopi Ake
Ceret di Kopi Ake
Nasi gemuk Belitung
Belitung bisa berkembang menjadi destinasi wisata alternatif bagi warga Jakarta yang ingin mencari udara segar. Dengan penerbangan langsung, kualitas hotel yang cukup baik, serta tersedianya infrastruktur wisata seperti sewa mobil dan guide, Belitung ada dalam posisi menarik. Belum lagi, keindahan alamnya yang memang unik dan luar biasa, kejernihan air di pantai-pantainya yang tak kalah dari Maladewa, serta harganya yang masih sangat bersaing. Kalau kita selalu mengasosiasikan pantai dengan dentingan gamelan dan aroma bunga kamboja, yuk sekali-sekali mencicipi pantai Melayu ala Belitung! Pantai ayu ala Melayu yang sedang mematut diri menjadi kawasan wisata dunia. Berangkat!
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.