"Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudera..." Siapa sih yang nggak kenal lagu ini? Lagu yang sering kita nyanyiin sewaktu kecil dulu. Potongan syair lagu tersebut sebenarnya memberi gambaran kepada kita bahwa para leluhur kita sebagian memang seorang pelaut. Dan di zaman modern ini masih bisa juga ditemukan bukti-bukti mengenai ketangguhan-ketangguhan mereka. Datanglah ke kawasan Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.
Kenapa harus ke Tana Beru? Ya, karena di Tana Beru terdapat sebuah desa di pesisir pantai di mana mayoritas penduduknya berprofesi sebagai pembuat kapal pinisi. Kegiatan ini sudah berlangsung lama dan bersifat turun menurun, mengingat kapal pinisi merupakan kapal atau perahu tradisional masyarakat Bugis Makassar berukuran besar yang sudah ada sejak zaman nenek moyang kita. Sedikit dari gambaran di atas, membuktikan bahwa dulunya Indonesia adalah negara maritim yang sangat besar.
Tempat ini sebenarnya memang bukanlah tempat wisata, namun perkampungan pesisir pembuat kapal pinisi tersebut mempunyai daya pikat tersendiri. Tak heran jika banyak wisatawan yang menyempatkan waktu untuk mampir ke Tana Beru.
Baca juga: "Tahukah Kamu Ada 'Suku Baduy' di Bulukumba Sulsel?"
Di zaman sekarang pembuatan kapal pinisi telah mengalami perkembangan yang pesat. Dulunya kapal pinisi hanya mengandalkan angin sebagai penggeraknya melalui layar besar yang terdapat di bagian depan hingga belakang kapal. Kini kapal-kapal tersebut telah dimodernisasi dengan menyertakan mesin diesel sebagai tenaga penggeraknya. Bahan dasar pembuatnya meliputi kayu besi, kayu jati dan kayu bayam. Sementara ukurannya bervariasi, semua tergantung permintaan dari negara pemesannya. Yak betul, negara. Beberapa negara yang rutin memesan kapal pinisi dari Tana Beru adalah Belanda, Swiss, Austria, Inggris, Jepang, China, Filipina dan Malaysia. Harganya pun fantastis, satu kapal dibanderol mulai ratusan juta hingga 6 miliar. Untuk proses pengerjaannya sendiri juga nggak main-main, membutuhkan waktu berbulan-bulan guna menjadikan sebuah kapal secara utuh. Dan satu kapal memerlukan lebih dari 10 orang pekerja.
Ada hal unik yang bisa ditemukan disini, yakni masih adanya ritual-ritual khusus dalam pembuatan kapal. Ritual itu ditandai dengan pemotongan kayu bagian dasar kapal yang biasa disebut lunas oleh seorang pawang perahu, selanjutnya disediakan pula sesajen yang berisi makanan manis dan penyembelihan seekor ayam putih. Ada maksud tersendiri dari jenis sesajen yang dipilih, di mana makanan manis mengartikan sebuah pengharapan yang besar supaya perahu tersebut kelak mendatangkan keberuntungan bagi pemiliknya. Sementara darah ayam putih yang dioleskan pada lunas bermakna, keselamatan selalu ada pada para pekerja supaya saat proses pengerjaan perahu tidak terjadi kecelakaan.
Tidak ada salahnya Trippers berkunjung ke desa pesisir Tana Beru, di sini Trippers bisa melihat secara langsung betapa megahnya kapal pinisi buatan orang Indonesia dan sudah diakui dunia. Kalau beruntung, Trippers bisa melihat proses pengerjaannya juga dengan cara memasuki ruang di dalam kapal. Di sana para pekerja berkumpul dan bekerja bersama-sama sesuai bagiannya masing-masing. Tidak ada tarif khusus untuk mengunjungi dan masuk ke tempat ini, semua gratis.
Datanglah dengan mengawali perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, selanjutnya perjalanan menuju Tana Beru bisa menggunakan kendaraan sewaan yang berjarak sekitar 200 km atau kurang lebih 7 jam perjalanan darat.