NAIK BANDROS DI BANDUNG, DARI ASAL-USUL BANDUNG SAMPAI DILAN DAN SATE JANDO (Bagian 1) 2024-03-07 12:05

Yuk naik Bandros di Bandung

 

Naik Bandros alias Bandung Tour on Bus ternyata menarik dan menyenangkan lho… Bahkan wargi Bandung pun, saya rekomen untuk mencobanya. Saya dan 3 teman mencobanya 14 Januari 2024 lalu. Kami naik dari Alun-Alun Bandung di sisi selatan, tempat mangkal Bandrosnya. Bayar Rp20.000 per orang, langsung di atas busnya.

 

Ini dia penampakan Bandros

 

Penampakan busnya antik, bergaya art deco dengan warna-warni gonjreng. Kapasitas sekitar 20 orang. Tempat duduknya dari besi dan keras, serta kurang lebar kalau harus diisi berdua. Tapi untuk durasi 45 menit cukup nyaman lah. Di bagian belakang ada semacam balkon terbuka. Busnya setengah terbuka jadi tanpa AC. Tapi udara Bandung terutama di pagi hari pastinya bersahabat. Menarik terutama karena ada pemandu yang menjelaskan apa saja yang dilewati dengan gaya bercerita plus diselipi candaan segar.  

 

Di bagian belakang bus ada semacam balkon

 

Rute yang kami lewati kurang lebih: Alun-Alun, Banceuy, Cikapundung, Braga, Perintis Kemerdekaan, Wastukencana, RE Martadinata (alias Jl. Riau), Ir.H Juanda (alias Jl. Dago), Gedung Sate di Jl. Diponegoro, Citarum, Lombok, Asia Afrika, kembali lagi ke Alun-Alun.

 

Berikut ini ringkasan cerita-cerita menarik yang disampaikan pemandu bernama Kang Denny dari HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia) Bandung.

 

Kang Denny, salah satu pemandu  Bandros

 

Jl. Braga sekitar tahun 1930-an adalah tempat berbelanja orang-orang Eropa yang tinggal di Bandung. Tak heran kalau sampai kini masih terlihat beberapa toko yang mempertahankan bangunan lamanya. Di antaranya ada toko roti jadoel yang dari dulu sampai sekarang masih beroperasi, namanya Sumber Hidangan; juga ada Resto Braga Permai. Tentu banyak lagi tempat makan yang populer di Braga, misalnya toko es krim Sweet Cantina yang viral karena Gubernur Ridwan Kamil pernah mampir dan mempostingnya di medsos. Salah satu cabang Mie Kocok Mang Dadeng juga ada di Braga. Jl.Braga ini satu-satunya di Kota Bandung yang tidak diaspal tapi memakai batu-batu alam. Asal-usul nama Braga: dulu banyak orang hobi menyusuri pinggiran Sungai Cikapundung yang melintas di kawasan yang dinamai Braga sekarang; kegiatan ini disebut ngabaraga alias pamer.

 

Memasuki Jl. Perintis Kemerdekaan pemandu menunjukkan lokomotif jadoel yang memakai tenaga uap dipajang di depan gedung kantor PT. Kereta Api Indonesia Bandung. Di jalan ini juga berdiri gedung pengadilan (landraad) zaman Belanda, tempat Presiden Soekarno dkk pernah disidangkan tahun 1930. Di persidangan kala itu Soekarno menyampaikan pembelaan yang diberi judul “Indonesia Menggugat”. Itulah yang akhirnya menjadi nama, Gedung Indonesia Menggugat.

 

Landmark di Jl. Wastukencana yang ditunjukkan salah satunya Gereja Bethel Bandung karya arsitek Wolff Schoemaker. Merupakan gereja Protestan pertama di Kota Bandung, didirikan tahun 1924 (bangunan asli karya Schoemaker lebih tua lagi usianya). Selanjutnya ada Taman Dewi Sartika, tokoh pahlawan wanita alias Kartini-nya Jawa Barat.

 

Banyak yang menarik pastinya di Jl. Dago yang kini nama resminya Jl. Ir. H. Juanda. Inilah kawasan elit rumah orang-orang Eropa pada zaman Belanda. Jalanannya lebar, di kiri kanan ditanami pohon-pohon besar salah satunya mahoni yang batang kayunya seperti sisik-sisik ular. Mahoninya rata-rata sudah berusia ratusan tahun. Mau tahu asal mula kata Dago? Dulu kawasan Bandung Utara ini masih berupa hutan yang di tengah-tengahnya ada jalan setapak yang menghubungkan kediaman warga di utara dengan pasar. Saat panen buah dan sayuran mereka membawa hasilnya untuk dijual ke pasar, jadi mau tak mau harus melewati hutan yang didiami banyak binatang buas maupun begal ini. Untuk menghindari bahaya mereka membuat kelompok-kelompok kecil guna berangkat bersama-sama. Nah, mereka berkumpul dan saling menunggu di salah satu titik di kawasan ini. Menunggu dalam bahasa Sunda adalah dagoan. Jadilah dinamakan Jl. Dago.

 

Pemandu juga menceritakan asal-usul Kota Bandung. Dimulai dari meletusnya Gunung Sunda yang mengakibatkan terbendungnya Sungai Citarum Purba. Lama-lama airnya meluap dan menggenangi bekas kaldera Gunung Sunda hingga terbentuklah danau yang sangat besar yang diberi nama Danau Bandung Purba. Danau ini juga akhirnya surut dan membentuk sebuah daratan berupa cekungan raksasa. Bagian dataran tingginya berada di utara yakni daerah Lembang dan Dago, sementara daratan rendahnya di selatan. Makanya Sungai Cikapundung mengalir dari utara ke selatan membelah Kota Bandung.

 

Nah, ada juga penjelasan tentang asal-usul julukan Bumi Parahiyangan. Jadi, cekungan raksasa yang berupa daratan tinggi dan dikelilingi gunung-gunung berapi ini pada awalnya didiami nenek moyang orang Sunda. Mereka percaya ada dewa-dewa yang tinggalnya di puncak-puncak gunung berapi tersebut. Maka dataran tinggi ini disebut sebagai Parahiyangan. Para artinya “rumah”, dan Hiyang itu “dewa”.

 

Lalu bagaimana dengan julukan Bandung sebagai Paris van Java? Jadi menurut cerita, bagi orang-orang Eropa suhu di Bandung mirip musim panas di Paris. Jadilah terbit julukan Paris van Java.

 

Dengan keadaan alam yang sempurna, yang lebih cocok buat orang-orang Eropa, sekitar tahun 1920 Bandung pernah direncanakan dijadikan ibu kota menggantikan Batavia. Dirancanglah mega proyek untuk membangun 16 bangunan baru. Tapi karena krisis ekonomi melanda Eropa, pembangunan pun ditunda, dari rencana 16 akhirnya cuma 2 bangunan saja yang sempat didirikan. Batallah mega proyek tersebut.

 

Bersambung ke sini.

 

Teks: Mayawati NH (Maya The Dreamer) Foto: Mayawati NH, Wiwiek Asmawiati
Comment