DI LEMBAH PURBA SUKABUMI ADA APA AJA SIH? SUSAH NGGAK TREKKINGNYA? 2021-11-20 20:35

Yuk pose begini di Lembah Purba

 

Lembah Purba di Sukabumi lagi viral belakangan ini. Banyak yang sekadar tahu, tapi nggak tahu ada apa sih di sana? Apa yang bisa dilihat? Untuk ke sananya pake trekking? Susah nggak trekkingnya? Saya juga penasaran, dan akhirnya dengan 4 teman pergi ke sana Rabu 17 November 2021 lalu. Sini saya ceritain kondisi trekkingnya dan berapa banyak jembatan yang mesti dilewati. Dan ya… Trippers bisa mencoba “Must Pose” khas MyTrip seperti foto di atas ya kalau ke sana. Itu di depan Curug Kembar-nya, highlight utama Lembah Purba.

 

Dari Jakarta pukul 6 pagi

Perginya jangan lewat dari jam 6 pagi. Karena ke Situ Gunung, lokasi start trekking ke Lembah Purba, cukup jauh. Walaupun sudah sedikit dipercepat dengan adanya Tol Bocimi, tapi baru bisa sampai Cigombong. Kami dari Taman Mini, keluar Cigombong butuh 50 menit.

 

Sekitar 1,5 jam kemudian tiba di pertigaan Polsek Cisaat Sukabumi, belok kiri. Susuri terus jalan itu sampai mentok hingga tiba di Kawasan Wisata Situ Gunung Suspension Bridge. Durasi dari pertigaan 30 menit. Jadi total perjalanan dengan mobil dari Taman Mini Jakarta Timur ke Situ Gunung 2 jam 50 menit. Ini dengan kondisi tanpa macet, hanya sedikit padat di beberapa ruas jalan.

 

Situ Gunung dan Lembah Purba termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).

 

Gerbang Situ Gunung Suspension Bridge

 

Mulai trekking dari Suspension Bridge

Setelah mobil diparkir, jalan sedikit menuju kantor pengelola Kawasan Wisata Situ Gunung Suspension Bridge. Karena sudah booking untuk trekking, maka kami dapat fasilitas VIP, naik mobil sampai D’Balcony Resto. Nikmati dulu sarapan ringan: bakso di mangkok kecil atau bubur kacang ijo, serta teh atau kopi panas. Ini sudah termasuk dalam harga paket. Kalau mau nambah gorengan atau makanan lain bisa, tinggal bayar sendiri.

 

Naik mobil ini sampai D’Balcony Resto

 

D’Balcony Resto

 

Sarapan bakso atau bubur kacang ijo

 

Di resto ini pemandu membantu memakaikan harness dan memberikan briefing singkat. Lalu kami menuju Suspension Bridge lewat jalur VIP. Dari sinilah trekking dimulai. Tapi tentu nggak lupa foto-foto dulu di jembatan gantung terpanjang se-Asia Tenggara ini. Panjangnya 243 m.

 

Mulai trekking dari sini

 

Foto-foto dulu di Suspension Bridge

 

Dari jembatan gantung ke jembatan gantung lainnya…

Sekitar 15 menit jalan dari mulut Suspension Bridge ketemu pertigaan, kanan ke Curug Sawer, kiri ke arah Lembah Purba. Jadi kalau ada artikel yang menyebutkan curug di Lembah Purba namanya Curug Sawer, itu salah ya… Curug yang dituju di Lembah Purba itu Curug Kembar atau sering juga disebut Air Terjun Lembah Purba.

 

Lalu 10 menit dari situ sampailah kami di jembatan gantung kedua yang mirip dengan Suspension Bridge, dan panjang juga, 234 m. Di ujung jembatan kami disambut satu petugas yang meminta izin untuk memotret kami --salah satu prosedur yang diberlakukan.

 

Jembatan gantung ke-2

 

Kondisi jalur trekking mayoritas sudah rapi berupa tangga-tangga batu, atau tanah merah tapi dibuat tangga-tangga dengan batang pohon, atau juga berupa tanah merah rata dengan daun-daun berserakan. Kiri kanan berupa hutan, semak belukar maupun pepohonan tinggi. Adem lah karena mostly tertutup rindangnya pepohonan.

 

Jalur tangga-tangga batu

 

Jalur dengan tangga-tangga dari batang pohon

 

Jalur tanah rata, rindang

 

Baru sekitar 1 jam berjalan, hujan pun menyapa bumi. Pemandu kami segera membagikan jas hujan. Jalanan tanah merah yang memang rata-rata lembab dan sedikit becek, menjadi tambah becek. Jalur berbatu atau jembatan kayu pun jadi tambah licin. Dan mulailah kami satu demi satu diserang pacet mini. Ya, berdamailah dengan pasukan pacet yang bisa nemplok dan mengisap darah kapan aja di lengan, kaki, kepala, pipi, leher, sepatu, ransel, jas hujan.

 

Selanjutnya telah menanti jembatan ketiga. Hanya berupa jembatan kayu selebar +/-60 cm, ada pegangan tali hanya di sebelah kiri, nggak ada jaring pengaman. Jarak dengan sungai dangkal di bawahnya dekat saja. Jembatannya nggak terlalu panjang juga. Jadi nggak menegangkan, walaupun jembatan memang bergoyang-goyang mengikuti langkah kita.

 

Jembatan ketiga

 

10-15 menit dari situ, ada tantangan lain. Jalur yang mesti kita lalui kecil, sebelah kiri tebing, sebelah kanan sungai. Nah di sini kita mesti memasang karabiner di tali yang disematkan di dinding tebing, demi keamanan. Ya, adrenalin mulai sedikit terpacu.

 

Di jalur ini harus pasang karabiner

 

Jembatan ke-4 hadir sekitar 10 menit setelahnya. Sama dengan jembatan ke-3. Belum menegangkan.

 

Jembatan ke-4

 

Tak sampai 5 menit dari jembatan ke-4, naaah…. di depan kami terlihatlah jembatan yang menjadi momok trekking ke Lembah Purba. Saya menjulukinya “jembatan segaris”. Jembatan yang berupa bilah-bilah kayu yang disambung-sambung ini hanya selebar 20 cm, bergoyang-goyang tentunya, dan pegangannya hanya 2 tali di kiri kanan. Jarak ke permukaan sungai di bawahnya juga cukup jauh. Panjang jembatan sekitar 30 m. Menegangkan, iya. Tapi tidak semengerikan yang dibayangkan. Tali di kiri kanan yang saya kira tali tambang putih, ternyata adalah tali baja yang cukup stabil dan dimasukkan ke dalam semacam selang, supaya karabiner pengaman yang kita cantolkan di situ gampang tertarik maju dengan sendirinya mengikuti gerak langkah kita. Cuma butuh fokus dan percaya diri. Dan butuh sepatu dengan grip yang kuat untuk membuat kita lebih pede melangkah. Bagi yang berani dan keseimbangannya bagus, masih bisa kok menoleh ke belakang untuk berpose.

 

“Jembatan segaris”, menegangkan

 

Masih bisa pose di “jembatan segaris”

 

Masih ada satu jembatan lagi, jembatan ke-6, yang harus kami lewati sebelum mencapai Curug Kembar. Tapi jembatan ke-6 ini jembatan kayu biasa, sungai yang dilewati pun nggak lebar.

 

Jembatan ke-6

 

Tibalah di Curug Kembar

Total berjalan santai plus berhenti foto-foto dll sekitar 2 jam 15 menit sampailah kami pada titik pertama di mana Curug Kembarnya mulai terlihat. Ada signboard kayu panjang bertuliskan “Lembah Purba”. Dan di depan kami terbentang board walk atau jalan kayu yang melintasi bagian depan air terjun. Hati-hati, jalan kayunya licin banget! Soalnya kondisinya selalu basah terkena cipratan gahar dari air terjun setinggi 80-90 m --ini menurut taksiran saya, tapi kata pemandunya 120 m.

 

Berpose dulu di signboard ini

 

Inilah Curug Kembar

 

Saat kami tiba anginnya cukup kencang sehingga cipratan air terjun cukup mengganggu pandangan. Jadi sulit untuk berpose di depan air terjunnya. Jadi kami memilih langsung saja bergerak ke ujung jalan kayu. Dari situ barulah bisa berpose-pose. Tapi karena nggak bisa masuk mendekati air terjun apalagi berpose di atas batu besar di depannya, jadilah kami mencoba pose-pose unik dengan memanfaatkan cangkir kaleng. Kebetulan pemandu kami memutuskan membuka perbekalan teh/kopi dan camilan di sini, supaya punya tenaga untuk melewati tantangan selanjutnya.

 

Jangan pose yang biasa-biasa aja dong, coba pose begini

 

“Menampung” air terjun di cangkir

 

Tantangan selanjutnya: jembatan licin dan menanjak

Lumayan sudah kenyang makan singkong dan pisang rebus dengan teh manis, serta istirahat sekaligus sesi foto-foto selama +/-1 jam, kami pun siap menghadapi jembatan ke-7. Jaraknya sekitar 5 menit dari area curug. Jembatan gantung ini sangat panjang, mungkin 200-an meter. Aman karena di kiri kanannya ada jaring. Tapi beberapa puluh meter menjelang ujung makin menanjak, dan yang bikin capek, kayunya licin sumpah! Jadi seperti summit Rinjani, naik 3 langkah turun 2 langkah. Tangan harus berpegangan erat untuk membantu menarik badan maju. Alhasil pegal sekali rasanya lengan saya. Dari tengah jembatan ini kita bisa melihat lagi Curug Kembar dari kejauhan.

 

Jembatan ke-7, menanjak dan licin

 

Pos makan siang sekaligus view point

Berjarak +/-20 menit dari ujung jembatan ke-7, ada pos tempat makan siang. Tapi karena kami hanya berlima, tidak ada rombongan lain, makan siang kami dijadwalkan di tempat finish, Balcony Valley. Kalau Trippers perginya di weekend, dengan peserta berjumlah puluhan bahkan hingga 80 orang, makan siang nasi liwet digelar di pos ini. Dari sini kalian bisa makan siang sambil menatap Curug Kembar nan gagah. Kami hanya ngeteh dan ngopi lagi di sini, istirahat selama +/-30 menit. O ya di sini ada toilet bersih dengan air melimpah.

 

Pos makan siang

 

View ke arah Curug Kembar dari pos

 

Ada 3 jembatan lagi

Ya, kami masih harus melalui 3 jembatan lagi. Jembatan ke-9 sih sebenarnya jembatan yang sama dengan yang ke-2, yang panjangnya 234 m. Sedangkan jembatan ke-10 adalah Jembatan Merah. Dinamai begitu karena karpet jembatannya warna merah tapi sudah pudar.

 

Jembatan ke-8

 

Jembatan Merah

 

Jembatan Merah ini dilalui karena kami memilih makan siang di Balcony Valley, bukan di D’Balcony Resto. Supaya beda suasana aja. Jadi kami nggak melewati Suspension Bridge lagi, melainkan melipir ke kiri bawah untuk menuju Jembatan Merah dan kemudian Balcony Valley.

 

Balcony Valley

 

Kami tiba di Balcony Valley pukul 15.30. Jadi total perjalanan kembali 2 jam 15 menit juga, termasuk istirahat di pos 30 menit. Makan siang disediakan, termasuk dalam paket.

 

Makan siang kami, termasuk dalam paket

 

Overall nggak ada jalur yang sulit. Hanya “jembatan segaris” yang menantang dan jembatan menanjak yang butuh tenaga ekstra. Tapi memang di situlah menariknya. Jadi ke Lembah Purba tak hanya sekadar melihat air terjun.

 

Harganya

Harga resmi dan masih promo dari pengelola untuk paket trekking Lembah Purba tanpa menginap adalah Rp280.000 per orang, untuk minimal 5 orang. Harga termasuk: pemandu, peralatan (harness), sarapan ringan, camilan, teh/kopi, makan siang, tiket masuk kawasan TNGGP, dan tiket Suspension Bridge, juga diberikan jas hujan jika hujan, serta ada suvenir berupa tumbler. Tidak termasuk transportasi dari Jakarta atau dari kota asal kalian ya.

 

Ada beberapa trip organizer yang membuka open trip ke Lembah Purba dengan titik keberangkatan dari Jakarta. Bisa hubungi rekanan MyTrip yakni Randy Ramdhany di 081218992000.

 

 

Teks: Mayawati NH (Maya The Dreamer) Foto: Hilman (pemandu), Mayawati NH, Priyo Tri Handoyo, Randy Ramdhany
Comment