WISATA MUARO JAMBI YANG KIAN BERSERI 2025-02-06 22:40

Candi Utama dari kejauhan

 

Candi Muaro Jambi di Jambi adalah candi Hindu-Buddha terbesar se-Asia Tenggara dengan luas hampir 4.000 hektar, membentang di tepi Sungai Batanghari. Sudah sejak lama kawasan ini menjadi tempat wisata favorit warga sekitar dan dikelola ala kadarnya. Ketika mendengar kabar bahwa pemerintah baru saja meningkatkan fasilitas Candi Muaro Jambi, rasa penasaran untuk berkunjung kembali kemudian muncul.

 

Perjalanan ke Candi Muaro Jambi ditempuh selama kurang lebih 45 menit dari Kota Jambi. Kami sarapan di Kopitiam Simpang Ahok, menikmati hidangan khas lokal seperti mie celor, mie pangsit, dan nasi gemuk. Sedap nian!

 

Mie celor di Kopitiam Simpang Ahok

 

Nasi gemuk di Kopitiam Simpang Ahok

 

Setelah lepas dari perkotaan, jalanan membawa kami ke kawasan hutan di Kabupaten Muaro Jambi dengan pohon durian berjajar di sepanjang jalan. Sampailah kami ke sebuah gapura berdesain modern, mirip pintu masuk Kawasan Candi Borobudur --yang masih ditutup-- rupanya proses renovasi masih berlangsung. Kami masuk ke tempat parkir mobil, sambil mengontak pemandu yang akan membantu kami: Bang Ahock, Sang Penjago Umo (IG @ahock_dwarapala_muja).

 

Bahasa Melayu Jambi “Penjago Umo” artinya penjaga rumah. Bang Ahock memang sudah lama mendalami wisata Muaro Jambi. Begitu sampai, beliau langsung ramah menyapa, sambil mengarahkan kami menyewa motor listrik untuk ke tempat wisata dan makan siang. Kalau dulu cuma ada sewa sepeda, kini motor listrik banyak disewakan di kawasan candi dengan harga Rp50.000 seharian (pukul 10.00-17.00). Karena sudah siang, kami langsung ke tempat makan sebelum berwisata. Lokasinya di mana? “Ikuti saya ya!” kata Bang Ahock sambil tersenyum.

 

Perjalanan bak Indiana Jones membelah hutan dengan motor listrik

 

Rupanya, senyumannya ini bagaikan Harrison Ford yang tersenyum sebelum memasang topi dan membawa kami ke dalam sebuah petualangan seru bak film Indiana Jones. Jalan semen sempit mengarahkan kami menjelajah perkampungan warga di tepi Sungai Batanghari. Jalan demi jalan kami lalui diterpa semilir angin segar dari sungai, diapit rumah-rumah panggung kayu khas Jambi dengan ornamen runcing ala Melayu Jambi. “Papi, itu ada ayam!” kata anak saya sambil tertawa ketika kami melewati rombongan ayam yang melintas. Bebek, kucing, dan kegiatan warga memancing dan menjala ikan, kami nikmati sepanjang jalan seperti menonton National Geographic. Menarik! Perjalanan seru ini berlangsung kira-kira 30 menit ketika kami melihat pemandangan yang familiar: bangunan dasar candi dari bata merah, dengan kanal-kanal yang memisahkannya. Kami sudah tiba di kawasan Candi Muaro Jambi! Motor Bang Ahock diparkir di depan sebuah balai kayu yang dikelilingi beberapa rumah panggung. Inilah lokasi Pasar Paduka, tempat makan siang kami!

 

Foto bersama di balai, kiri ke kanan: Bang Ahock, keluarga penulis, Kak Nurul dan tim Pasar Paduka

 

Candi Muaro Jambi rupanya memiliki satu andalan lagi selain Bang Ahock: Kak Nurul dari Pasar Paduka. Pasar ini sempat viral beberapa waktu lalu karena menghadirkan tokoh kuliner dari Jakarta ke Jambi. Kalau Bang Ahock ahli sejarah, Kak Nurul ahli memasak! Masakannya tentu khas Muaro Jambi dan bisa dipesan via IG di @pasarpaduka. Memang profesional: begitu kami tiba, taplak putih sudah tertata rapi di balai, dengan hidangan siang itu: ikan nila sungai bakar dan tahu tempe, sambal buah amplan, gulai batang keladi, air daun pecah piring. Wow, menarik!

 

Taplak putih sudah tertata rapi di balai dengan hidangan makan siang

 

Makan siang di Pasar Paduka

 

Ikan nila bakar meskipun sederhana, membawa kejujuran rasa warga pesisir sungai. Tanpa banyak dibumbui, hanya garam saja, namun sedap karena ikannya segar dan kualitasnya baik. Namun, rasa uniknya baru muncul ketika dicocol sambal buah amplan. Amplan adalah buah endemik desa sekitar Muaro Jambi, mirip mangga tetapi dalam posisi matang rasanya lebih kecut sehingga cocok dijadikan sambal. Gulai batang keladi juga menarik! Gulainya kental dengan tekstur unik batang keladi, sekilas mirip terubuk di Tangerang. “Hanya jenis keladi khusus yang batangnya bisa digulai,” kata Nurul menjelaskan.

 

Sambal buah amplan

 

Gulai batang keladi

 

Kami makan dengan semangat, dan setelah selesai ada segelas minuman berwarna hijau di gelas --konsistensinya lembut seperti puding karamel dan rasanya seperti cincau hijau. “Ini air daun kacapiring,” Nurul menjelaskan lagi, sementara kami menikmati efek adem dari minuman ini. Selain makan siang, rupanya Pasar Paduka juga memiliki produk kemasan seperti Kerupuk Ikan Mudik, Kacang Panggang, Pasta Bebas Gluten dari Daun Kacapiring, dan Minuman Herbal Temu Pauh. Apa itu temu pauh? Rupanya sejenis akar seperti jahe, juga khas daerah sini. Rasanya khas, mirip kencur tapi tidak sekuat itu dan ada rasa pedas tetapi lebih lembut dari jahe. Wow, senang sekali melihat produk asli Muaro Jambi disajikan secara cantik, higienis, dan modern.  Mantap!

 

Aneka produk Desa Muaro Jambi

 

Setelah kenyang, giliran Bang Ahock yang unjuk gigi. Dengan motor listrik, kami memulai lagi perjalanan ala Indiana Jones, membelah hutan dan menyusuri Sungai Batanghari, tapi jalannya mulus ala sultan: pengelola menyediakan jalan berstruktur plastik yang nyaman dan empuk. Pertama-tama kami dibawa melihat pohon duku! Anak-anak langsung semangat ingin memetik buahnya. Ternyata duku sedang musim, buahnya segar berwarna kuning mulus tanpa titik hitam sedikit pun. Wow, rasanya manis dan enak sekali --memang beda kalau langsung dari pohonnya!

 

Jalanan berstruktur plastik yang nyaman dan empuk

 

Pohon duku tengah berbuah

 

Kami masuk melalui Candi Astano, yang kini sudah dipercantik dengan papan informasi serta bangku-bangku beton untuk duduk atau bermeditasi. Sebuah jembatan membuat kita bisa mengakses situs tanpa melalui kanal, dan ada sebuah menara kecil yang bisa dinaiki untuk melihat kawasan dari ketinggian. “Ini pohon kemiri tua yang dijadikan menara pandang,” Bang Ahock menjelaskan. Rupanya, zaman dulu ada kanal-kanal yang dijadikan sarana transportasi dari satu bangunan ke bangunan lain. Menarik, kawasan ini bagaikan Venezia di abad ke-7!

 

Jembatan menuju kawasan utama

 

Dan ketakjuban kami bertambah ketika Bang Ahock mengantar kami ke lokasi stupa di tengah kawasan. Kalau dulunya kami harus berjalan di rumput dan ada bangunan modern di tengah-tengah kawasan, kini bangunan itu telah lenyap dan pengelola membangun jembatan sehingga kami seolah melayang melangkah ke ruang sunyi, di mana stupa-stupa dari bata merah nampak berjajar membentuk susunan rapi. Saya tertegun dan berdiri melihat sekeliling: rumput mengampar, Candi Gumpung dekat pintu masuk nampak di kejauhan, beserta candi-candi lain di sekitarnya. Ide jenius pengelola membangun jembatan, benar-benar mengembalikan suasana Candi Muaro Jambi kembali ke masa lalu, dengan lapangan rumput dan kanal-kanal meliuk-liuk. Kita bisa membayangkan, para cerdik cendekia berperahu melaksanakan ritual dan belajar agama Buddha pada zaman keemasan kawasan ini, sampai-sampai I-Tsing seorang pengembara Tiongkok abad ke-7 mencatatnya dengan jelas. Saya terharu, begitu pula Bang Ahock yang melihat transformasi wilayah ini dari “objek wisata” sampai pada kehormatannya yang sekarang. Salut! Dan ini belum selesai…

 

Deretan stupa

 

Hamparan stupa dalam suasana sunyi syahdu

 

Yuk, kita dukung usaha pemerintah membangun kawasan Candi Muaro Jambi secara profesional dengan berkunjung ke sana. Jangan lupa kontak Bang Ahock dan Kak Nurul untuk pengalaman khas yang tak terlupakan!

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.

 

 

Teks & Foto: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin)
Comment