Desa Lamalera, suasana pantainya
Pulau Lembata di Nusa Tenggara Timur memang bukan cuma soal perburuan paus di Desa Lamalera. Tapi ke Lembata tanpa ke Lamalera ya belum lengkap pastinya. Tak perlu memaksakan ikut menonton perburuan paus yang sudah ada sejak 500 tahun lebih itu, karena ini memang sangat tergantung keberuntungan. Apalagi memaksa ikut melaut. Minimal datanglah berkunjung ke kampungnya, melihat-lihat suasana pantainya, melihat paledang (perahu layar yang dipakai untuk berburu paus), bertemu penduduk lokal --syukur-syukur bisa ngobrol dengan salah satu lamafa-nya (sebutan untuk sang penikam paus di Lamalera).
Paledang dan warga Lamalera
Untuk mendapatkan cerita lengkap tentang tradisi perburuan paus di Lamalera, kita bisa datang bertandang ke Taman Daun di Kota Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, dan bertemu Bapak Goris Batafor, pendiri Taman Daun. Inilah penjelasan yang dituturkannya di depan rombongan MyTrip pada Juni 2022, saat pertama kali MyTrip membuat open trip ke Lembata.
Sebagian rombongan MyTrip saat berkunjung ke Lamalera Juni 2022
Setiap tahun pada tanggal 27-30 April digelar rangkaian ritual atau upacara pembukaan musim perburuan. Pada 30 April diadakan Misa Arwah yang dimulai sore hingga malam hari. Seluruh warga Lamalera memasang lilin di pantai, ada yang membuat perahu-perahuan untuk dilarung ke laut. Ritual ini ditujukan untuk mendoakan leluhur yang telah meninggal saat perburuan paus. Dalam perjalanannya, doa dan ritual ini ditujukan secara general, memohon berkat dalam kehidupan.
Lalu biasanya tanggal 1 Mei barulah dilaksanakan Misa Lefa, ritual secara agama Katolik yang dipimpin oleh seorang pastor. Pastor akan memberi berkat dengan memercikkan air kepada paledang/pledang berikut semua kru dan keluarganya. Kemudian barulah pastor berjalan ke arah laut, memberi berkat ke laut.
Saat ritual baik wanita maupun pria warga Lamalera memakai sarung tenun. Setelah semua upacara itu dilakukan barulah secara resmi perburuan atau musim turun ke laut (Lefa Nuang) dimulai, mereka sudah bisa melaut. Musim perburuannya ditutup Oktober.
Baca juga: “Segeralah ke Lembata Sebelum Viral”
Setiap suku di Lamalera punya pledang sendiri. Dulu ada 30 yang beroperasi, tapi sekarang tinggal 15. Anak-anak mudanya sudah banyak yang punya pekerjaan lain, jadi sudah tidak ikut berburu paus lagi. Perahu-perahu itu dibuat dengan perhitungan yang sangat matang. Perahu yang salah dibuat, biasanya pada akhirnya akan kena hantam ikan paus.
Saat musim turun ke laut, warga biasanya duduk-duduk di tepi pantai sambil mengamati ke arah laut. Kalau ada yang melihat ikan paus melintas, langsung teriak, “Baleo…” Lantas yang lain pun semua ikutan teriak, “Baleo… Baleo…” Semua orang sekampung yang sedang ada pekerjaan atau kegiatan lain pun melepasnya, langsung siap-siap menyorongkan pledang ke laut untuk memburu si paus. Jadi sebenarnya mereka menunggu paus lewat baru memburunya. Bukan benar-benar memburunya di tengah lautan.
Duduk-duduk menunggu di pantai
Di atas pledang mereka tidak bersuara, semua pakai bahasa isyarat. Alasan utama tidak bersuara: khawatir salah ucap. Kalau sampai salah ucap, apalagi memaki, bisa saja terjadi hal-hal yang membahayakan, yang membuat celaka, misalnya angin dan arus membawa pledang jauh dari pantai.
Tahun 1995 pernah ada pledang yang sampai terseret ke Australia karena dibawa ikan paus makin menjauh. Untungnya ditemukan lalu dikirim pulang dengan ferry via Kupang.
Baca juga: “Kalau ke Lembata Harus Banget ke Sabana dan Pantai Wade. Cakepnya Kebangetan!”
Syarat utama pergi turun ke laut ialah hati harus bersih, dan tidak sedang ada permasalahan dengan keluarga di rumah maupun dengan tetangga. Jadi sebelum memutuskan ikut melaut, lamafa maupun para kru lainnya harus introspeksi diri. Kalau sedang ada permasalahan, apalagi habis ribut dengan istri, itu berarti tidak pantas, lebih baik tidak ikut melaut. Kalau memaksakan ikut, bisa jadi celaka. Dan ini memang sering kali kejadian. Ada yang tangannya putus, atau kulit kepala lepas kena hantam ikan paus. Atau paling tragis ya mati di laut. Masih mending kalau jasadnya ditemukan. Ada yang hilang dan tak pernah ditemukan.
Ada cerita tentang satu laki-laki muda pemburu paus yang cukup tenar pada masanya. Sebelum melaut dia sempat ribut dengan istrinya, makanya ketika hendak melaut bapaknya menegur, tapi dia tetap bersikukuh pergi. Malah dengan takabur berucap, “Biar saja mati atau hilang juga tidak apa-apa.” Benar saja akhirnya dia hilang saat perburuan. Sudah dibuatkan upacara supaya jenazahnya muncul, tetap tidak pernah muncul.
Buat mereka-mereka yang mati atau hilang itulah upacara pasang lilin di pantai atau Misa Arwah digelar.
Ada juga cerita, dalam satu perburuan, si lamafa berkali-kali mencoba menikam paus, nggak pernah kena dan pausnya hilang. Begitu terus. Jadi akhirnya para kru saling introspeksi apakah ada permasalaha di antara mereka. Diselesaikanlah permasalahannya di atas pledang, saling mengakui, saling minta maaf, selesai. Kembali ke darat sudah tidak boleh membicarakan hal itu lagi. Beberapa hari kemudian mereka melaut lagi, barulah ada peluang untuk mendapatkan paus atau ikan besar lainnya.
Baca juga: “Ada BCL di Lembata? Iya, Bukit Cinta Lembata”
Kalau kita menonton perburuan dari kejauhan, ada tandanya apakah pausnya sudah muncul atau belum. Kalau lamafa atau kru sudah melihat ekor paus, berarti layar pledang yang terbuat dari anyaman daun pandan akan diturunkan. Kita yang di darat melihat, layar sudah turun, berarti sudah muncul pausnya. Kalau layar masih belum turun tapi ada gerakan menikam, itu berarti yang muncul hanya ikan pari, lumba-lumba atau marlin.
Satu hal lagi yang khas dari perburuan ini. Orang Lamalera tidak pernah menikam atau menombak ikan paus dari belakang atau samping, pasti dari arah depan, saling berhadapan. Posisi pledang dan paus harus berhadapan. Kalau paus muncul di belakang pledang, ada yang kasih kode, lalu pledang pun memutar. Dan ditikamnya selalu di atas kepala.
Lamafa bersiap di ujung pledang sambil memegang tempuling (sebilah bambu dengan ujung dipasangi besi tajam). Biasanya lamafa menikam pausnya bisa 2 sampai 3 kali. Setelah lompat dan menikam, lalu berenang balik ke pledang, pasang lagi tempulingnya, dan menikam lagi. Biasanya juga ada satu orang lagi yang turun untuk menikam pas di bagian jantung paus untuk mempercepat prosesnya.
Baca juga: “Selain 3 Gunung Apinya, Apa Lagi yang Menarik di Lembata?”
Paus yang muncul di perairan Lamalera biasanya paus sperma yang dikenal orang Lamalera dengan nama koteklema. Orca juga pernah ada, untung-untungan.
Hasil tangkapan baik itu paus, lumba-lumba, pari atau marlin, dibagikan sesuai peran mereka masing-masing. Lalu dagingnya dikeringkan, selain untuk dikonsumsi, sisanya dijual ke gunung atau pasar barter di Desa Wulandoni pada hari Sabtu. Di Lamalera sendiri juga ada pasar barter di hari Kamis.
Daging hasil tangkapan dikeringkan
Di Lamalera sudah sekian kali dapat paus tapi tidak ada satu pun sisa rangkanya, karena semua tulang-tulangnya pun habis dibagi-bagi. Kadang dijual ke orang-orang Bali yang datang khusus ke Lamalera dan membuat tulang-tulang itu menjadi kerajinan. Minyaknya juga bisa dijadikan minyak urut maupun bahan bakar lampu minyak.
Berminat menyaksikan salah satu ritual pembukaan musim perburuan di Lamalera Lembata? Yuk ikut open tripnya bersama MyTrip tanggal 29 April-6 Mei 2023. Info lebih detail silakan hubungi 0811821006.