Jejeran tenda limas di Alam Caldera saat malam hari
“Kang, ada yang kosong nih. Mau saya booking-kan?” demikian WA dari sahabat kami. Jiah, glamping? “Aku pengen glamping!” kata pang-enam (julukan sayang untuk istri), tapi karena saya tahu gimana pang-enam mengepel lantai, saya ragu beliau bakal betah. “Asal toiletnya bersih..., nggak ada ular...” tuh ‘kan? Karena kami tahu sahabat kami ini pasti standarnya mirip, akhirnya saya iyakan.
Jalan menanjak sampai di Kintamani, yang sedang “berganti baju” dari penyedia “makan siang prasmanan sambil lihat gunung” menjadi “ngopi cantik sambil lihat gunung”. Inilah hebatnya Bali, begitu cepat berubah dan berinovasi! Glamping juga menjadi tren baru di sekitar Kintamani sini. Jalan mendadak menurun tajam lalu plang “Alam Caldera” hitam kecil membawa jalan membelok tajam ke kiri, sempit satu jalur. Mobil kami sanggup menghadapi segala rintangan, kecuali satu: gang sempit! Dengan beringsut pelan, kami merambat menuju pintu utama, sebuah gerbang yang nampak sudah tua. Di kanan kiri nampak hamparan kebun cabe dengan buah merah ranum. Astaga, mudah-mudahan bagus!
Posisi Alam Caldera ada di Caldera Gunung Batur, tetapi terletak di tebing, bukan persis di tepi danau sehingga masalah lalat kebun di sini tidak terlalu mengganggu. Pemandangan juga sangat amat cantik: tempat ini punya ketinggian cukup untuk menikmati pemandangan Danau Batur dan kaldera, tetapi tidak terlalu tinggi sehingga masih mendapatkan angin dan hawa dinginnya pas.
Posisi Alam Caldera di bagian tebing Caldera Gunung Batur
Setelah parkir, kami disambut kabin kecil dan kru yang sedang makan. Setelah masuk ke gerbang di depan kabin, barulah kami menyadari betapa indahnya lokasi Alam Caldera ini. Di sebelah kiri, jajaran toilet bersih dengan shower air hangat. Di tengah --bagian yang tinggi-- ada pelataran bermeja panjang untuk makan atau ngobrol, dan lapangan luas untuk kumpul-kumpul dengan layar proyektor. Sebuah pohon besar nampak menjulang di salah satu sisinya. Di bawah pohon, ada tangga turun, mengantar ke pelataran tempat tenda berjajar. Di kanan enam tenda dengan model limas, di kiri empat tenda model teepee alias kerucut. Di luar sana, terhampar pemandangan cantik indah mandraguna. Welcome to Alam Caldera!
Kaldera ini pemandangannya dinamis, karena berada dalam sebuah ekosistem sendiri: danau, tiga gunung, dan matahari. Pagi-pagi, pemandangannya seperti lukisan Monet: cahaya berpendar indah, warna pastel, awan kabut terangkat dari danau. Siangan dikit, berganti jadi Van Gogh: matahari bersinar galak, gunung hijau cantik kromatik, dan di bawah sana pekebun nampak menebar pupuk. Sorean lagi, berubah menjadi Degas: warna jingga merah biru, sapuan halus hamparan awan dan lampu-lampu danau yang mulai menyala. Dan sambil menikmati semua ini, ada kesunyian khas puncak gunung, udara segar bak kristal, yang mengingatkan saya pada kampung halaman di Bandung. Tapi, di Bandung mana ada tempat seperti ini?
Pemandangan pagi hari
Saat matahari mulai bersinar
Tenda limas kami (Danu 1) nampak nyaman, dengan pintu dobel terpal dan layar nyamuk. Kasur ditata cantik, air tersedia, wangi dan bersih. Makan malamnya unik: disediakan mentah! Dua ekor ikan mujair, jagung, tempe dan tahu, disertai bumbu oles serta kompor pemanggang. Untung pang-enam sigap memasak sehingga beberapa waktu kemudian hidangan sedap tersaji, pas ketika petugas mengirim kayu bakar dan menyulutnya. Di bawah hamparan bintang, di tengah dingin angin pegunungan kira-kira 20 derajat celcius, api terbakar menghangatkan jiwa, sambil kami menyantap mujair panggang. Lalu kami bercengkerama, memanggang marshmallow, sampai takluk dalam sergapan kantuk dan dingin, kemudian merangkak ke tenda yang hangat dan nyaman. Semua tidur nyenyak, ditengahi suara jangkrik dan sesekali nyanyian burung hantu. Indah!
Makan malam di dekat perapian
Suasana malam tak kalah indah
Paginya, saya bangun memotret mentari terbit, lalu tidur lagi sampai tenda diketuk karena sarapan sudah siap. Ini Bali, bro! Karena kami memesan “paket piknik”, petugas sudah menyiapkan karpet, kotak piknik berisi telur mata sapi cair sempurna, roti, dan bubur bali --bubur kuah base genep yang sedap. Kami pun sarapan di bawah pohon besar, diterpa semilir angin pagi, sementara langit berubah pelan-pelan dari Monet menuju Van Gogh. Enak? Ya enak, pemandangan begini mah, pop mie pun serasa Ramen Wagyu Kobe! Sah ini mah, kami sarapan di sepotong surga bernama Alam Caldera!
Sarapan bubur bali
Saat kami menginap tarifnya Rp500.000 termasuk satu kali makan (bisa malam atau siang) dan satu kali sarapan. Highly recommended!
Alam Caldera Glamping
087856782457
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.