MENGENAL RITUAL ADAT DI BALIK SAWAH JARING LABA-LABA DI CANCAR FLORES 2020-05-19 00:00

Sawah jaring laba-laba saat ijo royo-royo

 

Persawahan banyak ditemukan di seantero Pulau Flores NTT. Hampir di semua kabupaten ada, tapi memang lebih banyak di belahan barat, tepatnya di tiga kabupaten yakni Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat, yang sebelum dimekarkan ketiganya masuk wilayah Kabupaten Manggarai dengan ibu kota Ruteng. Dan di Manggarai Raya inilah terdapat persawahan unik yang hanya ada satu-satunya di dunia. Sawah dengan petak-petak seperti jaring atau sarang laba-laba. Nama kerennya spiderweb rice fields.

 

Sawah jaring laba-laba yang sering dikunjungi wisatawan adalah yang berada di Desa Cancar Kecamatan Ruteng Kabupaten Manggarai. Tapi sebenarnya sawah jaring laba-laba ini juga dapat ditemukan di Kecamatan Lembor Manggarai Barat, Kampung Rawang, dan di Kecamatan Lambaleda Manggarai Timur.

 

Baca juga: "Jangan Lupa Mampir ke Bukit Cinta Kalau ke Labuan Bajo Ya!"

 

Desa Cancar berada sekitar 17 km di sebelah barat Kota Ruteng, sekitar 45 menit berkendara. Kalau dari Labuan Bajo jaraknya sekitar 110 km ke arah timur, ditempuh berkendara sekitar 3,5 jam. Jadi kita pasti melewati tempat ini dalam perjalanan dari Labuan Bajo ke Ruteng. Letak tepatnya di pinggir Jalan Transflores.

 

Tapi sawahnya nggak kelihatan dari pinggir jalan. Kita harus memarkir kendaraan dulu, lalu mengisi buku tamu, baru jalan kaki ke atas bukit, namanya Bukit Weol. Mendakinya nggak sulit, sudah dibuat tangga-tangga, lalu dilanjutkan dengan jalan tanah. Nggak jauh, paling cuma 5 menit, kita sudah tiba di lokasi puncak bukit, tempat kita bisa melihat hamparan sawah jaring laba-laba yang mencengangkan itu, dengan latar belakang perbukitan dan perkampungan warga.

 

Jalur naik dengan tangga

 

Dilanjutkan jalan tanah

 

Dan tibalah di view point di Puncak Weol

 

Kalau datang saat musim hujan, maksimal sampai April, kemungkinan besar kita akan melihat sawahnya ijo royo-royo dan tanaman padinya rapat. Kalau datang di bulan Mei, sawahnya kuning. Dan kalau Juni kemungkinan sawahnya sedang botak alias habis panen.

 

Saat April, ijo royo-royo

 

Saat Mei kuning dan masih tersisa sedikit hijau-hijau

 

Saat Juni sudah mulai mengering coklat

 

Berfoto dengan gaya tangan Spiderman

 

Di pondokan/gazebo terbuka di jalan masuk ke bukit ini di mana kita mengisi buku tamu dan membayar retribusi atau donasi, ada beberapa warga yang menjual kerajinan tangan, tenun ikat Flores, juga tentunya kopi.

 

Baca juga: "Pantai Koka Bisa Menjadi Magnet Wisata di Sikka NTT Asal Saja Dikelola dengan Baik"

 

KENAPA SAWAHNYA DIBUAT SEPERTI SARANG LABA-LABA?

Bukan tanpa alasan tentunya petak sawah dibuat begitu. Sistem pembagian sawah seperti ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Dan tradisi ini tetap dipertahankan hingga kini. Glad to know that ya...

 

Jadi lahan persawahan dan juga ladang dalam masyarakat Manggarai merupakan tanah adat yang dimiliki bersama warga dalam satu kelompok adat yang dipimpin ketua adat. Tapi pengolahan tetap di tangan masing-masing keluarga. Dan karena itulah mereka menerapkan sistem pembagian lahan yang disebut lodok yang dipimpin oleh ketua adat yang disebut Tu’a Teno.

 

 

Jadi sebelum dibagi, digelar dulu upacara adat yang disebut Tente teno. Ketua adat menancapkan kayu teno pada titik pusat lahan atau lingko yang hendak dibagi. Dari titik pusat ini kemudian ditarik garis menjari dan dibuatlah petak-petak.

 

Baca juga: "Ada Apa di Ruteng NTT? Ada Situs 'Hobbit' Liang Bua"

 

Tentang keluarga mana yang dapat lahan sebelah mana dan seberapa luas, diputuskan bersama-sama sesuai kedudukan dan banyaknya jumlah anggota keluarga. Semakin tinggi kedudukan seseorang dan semakin besar jumlah anggota keluarganya, semakin besar pula lahan yang didapat. Biasanya memang keluarga ketua adat mendapatkan lahan yang paling besar, baru kemudian keluarga petinggi kampung, baru warga biasa. Warga di luar kelompok adat tapi tinggal di situ juga bisa meminta lahan dengan syarat membawa seekor ayam dan tuak untuk diserahkan kepada ketua adat.

 

 

Terdapat 11 hamparan sawah atau lingko yang dibagi dengan sistem lodok yakni Lingko Molo, Lingko Lindang, Lingko Pong Ndung, Lingko Temek, Lingko Jenggok, Lingko Lumpung, Lingko Purang Pane, Lingko Sepe, Lingko Wae Toso, Lingko Ngaung Meler serta Lingko Lumpung II yang ada di delapan kampung di Desa Meler, Cancar Kecamatan Ruteng yang semuanya bisa dilihat dari Bukit Weol.

Teks & Foto: Mayawati NH (Maya The Dreamer)
Comment