Pemandangan dari Hotel D’Emmerick Salatiga
Kali ini, ke Salatiga lagi! Kota kecil ini memang menarik untuk dikunjungi. Selain akses tol yang membuatnya mudah dijangkau (dengan pintu tol indah yang pernah viral), kota ini memiliki banyak pesona baik wisata maupun kuliner. Udaranya sejuk, dan posisinya diapit pegunungan menghasilkan angin semilir yang bisa membuat kepala ringan dan mata terkantuk!
Petunjuk arah gunung-gunung di sekitar Salatiga
Kali ini saya berkesempatan mengunjungi salah satu gereja Kristen tertua di Jawa Tengah, yakni di kawasan Salib Putih Salatiga. Gereja ini berdiri sejak tahun 1902, dan bukti sejarahnya ada di depannya: sebuah tugu yang didirikan tahun 1952 yang memperingati 50 tahun berdirinya gereja ini. Di atas pintu masuk gereja ada papan nama yang memuat aksara Jawa, bertuliskan “RumahKu disebut Rumah Pemujaan”, sebuah kutipan dari Injil. Menarik!
Tugu peringatan tahun 1952
Pintu masuk Gereja Kristen Salib Putih
Yang menarik dari arsitektur gereja ini adalah atapnya yang berupa atap mansard, satu-satunya di Indonesia. Desain atap ini dipopulerkan oleh arsitek Prancis Francois Mansart sekitar abad ke-17, yang ciri khasnya adalah atap dengan dua sudut landai dan curam. Struktur ini menyebabkan langit-langit menjadi tinggi dan ruangan menjadi sejuk. Kalau biasanya kita melihat atap ini di istana-istana Eropa, bisa melihatnya dalam bentuk sederhana berbentuk genteng dan kayu seperti di Salatiga ini, adalah sebuah pengalaman yang unik. Saya langsung teringat lirik lagu yang sempat ngetren zaman dulu:
“Hanya satu yang tak terlupakan
Kala senja di gereja tua…”
Atap mansard, satu-satunya di Indonesia
Nah, Salatiga juga punya satu harta kuliner warisan dunia: sambal tumpang dengan bahan tempe semangit, tempe yang mengalami fermentasi lebih lanjut alias busuk! Ada dua kuliner yang menggunakan semangit: sambal tumpang Kediri dan Salatiga. Namun, di Salatiga ini rasa semangitnya benar-benar dominan dan sedap nian! Apalagi hasil masakan Warung Sambal Tumpang Mbah Rakinem yang saya santap. Di kuahnya bahkan masih ada butiran kedelainya, warna coklat, aroma fermentasi yang kuat, dibubuhi rasa pedas yang lebih menggugah selera. Ada koyor (urat), daging, dan tulang muda yang kini sudah empuk akibat gas yang dihasilkan dari fermentasi tempe tersebut. Pas digigit, krenyes! Luar biasa! Apalagi, kali ini kami menikmatinya sambil ngopi di Hotel D’Emmerick yang indah dan sejuk. Ciamik!
Tempe semangit Mbah Rakinem
Selain semangit, hidangan khas di sini adalah sate suruh. Sate ini khas Salatiga, ada versi ayam dan versi sapi. Versi sapi lebih menarik, dengan bumbu manis dan bumbu kacang kecap. Sedap, aromanya menarik, dengan tekstur daging yang empuk, mengingatkan pada sepupu jauhnya Sate Pak Kempleng Ungaran. Lontongnya, sedap nian! Empuk dan legit, cocok sekali dengan sate dan bumbu kacang. Yang versi ayam, tak kalah sedap, dengan warna kuning (bumbu berbeda dengan sapi), tetap empuk gurih. Dibungkus daun pisang, semuanya jadi sedap nian!
Sate suruh sapi
Sate suruh ayam
Yuk, nggak bakal salah kalau ke Salatiga!
Baca juga: "Jelajah Salatiga, Salib Putih dan Bu Toha"
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.