Arak-arakan peziarah menuju lokasi kremasi
Keberadaan Suku Tengger, pasti sudah banyak yang tahu. Tapi pernahkah Trippers mendengar tentang adanya tradisi mengentas arwah leluhur pada Suku Tengger? Tujuan upacara ini adalah agar arwah-arwah dapat kembali pada Sang Pencipta dalam keadaan Moksha. Bagaimana ritualnya, makna, serta fisolofi yang diusungnya?
TEMPATNYA DI DESA SEDAENG
Desa Sedaeng yang dihuni Suku Tengger terletak di balik tabir keriuhan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur. Ya, berbeda dari desa-desa lainnya di kawasan ini, Sedaeng termasuk jarang disinggahi wisatawan yang hendak berburu sunrise di Pananjakan. Desa ini hanya khusuk dengan aneka ritual adatnya yang masih terus dilakukan.
Namun di waktu-waktu tertentu sejumlah pelajar menyambanginya untuk menjalani program pengabdian masyarakat. Ada juga para praktisi dan peneliti kebudayaan yang tertarik pada keselarasan religi dan adat istiadat Suku Tengger.
Baca juga: “Panduan Cerdas Eksplor Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru”
PERSIAPAN UPACARA ADAT ENTAS-ENTAS
Setibanya di Sedaeng, setelah menempuh kira-kira 45 menit berkendara dari Kecamatan Tosari, kami langsung disambut oleh keriuhan persiapan upacara adat Entas-Entas di balai desa.
Bicara soal Tengger, kita bicara tentang ciri khas yang ada di dalamnya. Tabiat sinkretik Hindu-Jawa yang mengilhami kehidupan kelompok etnis yang satu ini melahirkan bermacam-macam ritus yang berasal dari warisan budaya adiluhung para pendahulu mereka. Salah satunya adalah Entas-Entas yang ditengarai sebagai ritual tertinggi dalam tingkatan penghormatan terhadap Sitiderma, leluhur Suku Tengger.
Sekilas, upacara adat ini nampak seperti sebuah perayaan. Sejumlah perempuan dan laki-laki menyiapkan aneka sesaji dan memasak rupa-rupa hidangan tradisional semalam suntuk dengan penuh sukacita. Kontradiktif dengan makna Entas-Entas yang sejatinya merupakan upacara kematian. Namun ternyata, setelah kami berbincang dengan seorang pandita, kematian bagi Suku Tengger memang memiliki makna tersendiri. Betapapun roh telah terpisah dari raga, terdapat ‘ruang antara’ yang membuat kehidupan manusia dan dimensi arwah tetap terhubung. Hal itulah yang melatari pelaksanaan tradisi Entas-Entas. Agar arwah leluhur dapat kembali ke ribaan Sang Pencipta dalam keadaan Moksha.
Baca juga: “A Complete Guide To Explore Bromo For First Timer”
Hari ke-1
Ritual diawali dengan memanjatkan doa pada Sang Hyang Widhi. Nuansa magis terasa padu dengan bunyi lonceng yang berkelindan dengan aroma kemenyan. Prosesi ini bernama Rakan Tawang. Menandai dimulainya serangkaian upacara adat Entas-Entas.
Rakan Tawang: ritual yang mengawali upacara Entas-Entas
Sejumlah dukun adat terlihat sibuk menyokong kebutuhan ritual. Satu di antaranya, memandu keluarga mendiang merapal mantra. Kami menangkap adanya kedekatan Suku Tengger dengan alam sekitar. Seperti digunakannya kulak atau bilah bambu yang disiapkan sebanyak arwah yang hendak dientas. Kulak-kulak tersebut diisi dengan beberapa benda yang melambangkan kesejahteraan arwah, seperti beras dan sejumlah uang. Ritual ini bernama Andeg-Andeg Batur Ngiseni Kulak.
Keluarga mendiang bergiliran mengisi kulak dengan beberapa benda
Tak terasa waktu menunjukkan pukul 12 malam. Dinginnya udara tak menghalangi jalannya ritual. Gelaran Entas-Entas hari pertama berlangsung khidmat. Ditutup dengan santap malam bersama seluruh pemangku adat, tak terkecuali seluruh warga yang ikut hadir di balai desa.
Santap malam bersama
Hari ke-2
Matahari memicing di ufuk timur. Denyut kehidupan di desa ini sudah dimulai sejak dini hari. Kebudayaan agraris tercermin dari mata pencaharian masyarakatnya yang mayoritas bertani holtikultura. Tak sedikit kebun jagung yang ditanami dan digarap secara kolektif oleh petani perempuan, untuk kemudian memuarakan hasilnya menjadi penganan pengganti nasi.
Menjelang siang balai desa kembali dipenuhi warga. Kali ini ritual bergulir dengan sejumlah properti ritus yang diarahkan ke rumah penyembelihan hewan ternak.
Berlokasi tepat berhadapan dengan areal perkebunan warga. Mbeduduk Ing Sanggar Padudukan atau ritual penyembelihan didahului dengan Jamasan atau memandikan benda pusaka keris. Pandita dan dukun adat kembali menopang ritual dengan magisnya mantra. Tak lama berselang, hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing dan babi diarak menuju arena ritual.
Sampai di sini kami mengamini bahwa tak ada yang melampaui magisnya ritus purba. Seperti yang terjadi di Sedaeng ini. Kontrasnya penyembelihan yang melibatkan darah, bersanding dengan lansekap Tengger yang bersahaja, menyadarkan kami akan satu hal, bahwa tradisi memang semestinya kekal di tangan para pelestari, tak peduli seberapa derasnya arus modernisasi.
Kulit kambing yang digunakan untuk ritual Nyolong Iwa
Hari semakin menua. Suhu bergerak pada kisaran tak lebih dari sepuluh derajat celcius. Gaduh suasana rumah penyembelihan pun perlahan-lahan digantikan oleh kumandang Tibung Slompret yang dibawakan salah seorang pemusik. Menandai pula dimulainya tradisi Nyolong Iwa. Pada ritual ini perwakilan keluarga mendiang secara simbolis menyerahkan potongan daging kepada istri salah seorang dukun adat. Tradisi ini tidak terlepas dari gagasan tentang luhurnya peran perempuan dalam upaya merawat kehidupan lewat keterampilan mengolah bahan pangan. Sebab nantinya, potongan daging tersebut akan disuguhkan kepada seluruh masyarakat desa, dan sebagian lagi dijadikan persembahan untuk leluhur dalam bentuk sesaji.
Ritual adat Nyolong Iwa
Hari ke-3
Serangkaian tradisi Entas-Entas sudah dilakoni. Warga Sedaeng tinggal menapaki ritual pamungkas. Di antara seluruh prosesi, boleh dibilang, yang satu ini adalah yang paling esensial, sebab melibatkan api sebagai elemen terakhir yang diyakini sebagai media penyempurnaan arwah leluhur.
Tepat pukul dua siang. Alat musik tradisional dimainkan oleh sejumlah anak muda, mengiringi arak-arakan para peziarah menuju punden tempat jenazah dikremasikan. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan dengan upacara Ngaben di Pulau Bali. Pada Entas-Entas, boneka Petra dihadirkan sebagai simbol untuk mengenang arwah semasa hidupnya. Boneka Petra adalah memorabilia yang sengaja diciptakan oleh Suku Tengger untuk menggantikan jasad leluhur yang dibiarkan tetap berada di dalam kuburan. Meski begitu, keberadaan boneka Petra tidak mengurangi kesakralan Entas-Entas sebagai ritual yang sarat akan makna dan filosofi.
Altar kremasi berisi boneka Petra
Menurut penelusuran budaya yang dilakukan oleh Robert W. Hefner yang diabadikan dalam bukunya yang berjudul Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, dikatakan bahwa Suku Tengger dan penganut Hindu-Dharma di Pulau Bali sesungguhnya berbagi akar sejarah dan budaya yang sama. Maklumat ini selaras dengan kisah penyingkiran orang-orang keturunan Majapahit oleh bala tentara Raden Patah dari Kerajaan Islam pada abad ke-16, yang kemudian terpecah menjadi dua arus migrasi ke dua lokasi yang berbeda: Pulau Bali dan kawasan isolir Gunung Bromo.
Baca juga: “Menikmati Suasana Pagi di Ranu Kumbolo”
Info Wisata:
- Tidak tersedia akomodasi komersil di Desa Sedaeng. Hotel terdekat adalah Plataran Bromo yang berjarak +/- 8 km dari lokasi.
- Jika Trippers datang dari arah Pasuruan, Desa Sedaeng dapat dicapai dengan menempuh perjalanan sejauh +/- 30 km melalui rute Pasuruan-Warungdowo-Ranggeh-Pasrepan-Puspo-Tosari.
- Tersedia transportasi umum trayek Pasuruan-Terminal Pasrepan, tapi lebih disarankan mengendarai kendaraan pribadi mobil/motor.
- Hindari perjalanan malam untuk alasan keamanan.
- Trippers dapat mendatangi balai desa sesampainya di Desa Sedaeng. Mintalah rekomendasi tempat menginap kepada kepala desa setempat.
- Suhu bisa mencapai 7 derajat celcius atau bahkan lebih dingin dari itu. Disarankan mengenakan outfit yang mendukung cuaca dingin seperti sarung tangan berbahan wool dan jaket tebal.