Penulis di Puncak Rinjani tahun 2016, saat itu cuaca sangat cerah!
Sudah lama saya ingin kembali ke Gunung Rinjani di Lombok setelah pernah berhasil muncak di tahun 2016. Sayangnya, belum sempat terlaksana, keburu ada gempa tahun 2018, dan setelah itu menyusul pandemi Covid-19 di bulan Maret 2020. Dan batallah semua rencana. Tapi tiba-tiba ada teman yang ngajakin ke Rinjani. Awalnya saya tolak karena mepet dengan jadwal trip saya ke Timor Overland bersama MyTrip. Tapi rupanya dia belum jadi berangkat. Singkat cerita setelah berburu kuota pendakian, akhirnya kami dapat untuk tanggal 22-25 Juni 2022. Pendaftaran melalui aplikasi eRinjani, satu email untuk satu peserta pendakian, dan nantinya kita akan dapat QR code untuk check in dan check out.
Baca juga: “Panduan Cerdas Eksplor Taman Nasional Gunung Rinjani”
Kami berangkat hanya berdua. Semua teman saya yang ngurus termasuk mencari guide. Kami mengawali pendakian dari Desa Sembalun ke Plawangan Sembalun. Akibat gempa, beberapa kondisi berubah, terutama jalur menuju puncak. Dan satu yang memprihatinkan, makin banyak sampah di Plawangan Sembalun, terutama arah jalur turun dari Plawangan Sembalun menuju Danau Segara Anak.
Baca juga: “Apa yang Terjadi di Rinjani Tanggal 1 Agustus 2016”
Usaha kami mencapai puncak sungguh sangat tidak mudah. Hari pertama menuju Plawangan Sembalun berjalan lancar, cuaca cukup baik, cerah... cenderung panas malah. Hari kedua untuk muncak kami bangun pukul satu pagi dan mulai bergerak sekitar pukul dua. Ternyata kondisi cuaca kurang mendukung, badai lenticular tak kunjung berhenti meski hari beranjak siang.
Saya jalan duluan, sekitar pukul 06.30 baru sampai trek sebelum jalur pasir yang menyiksa itu. Teman saya jauh tertinggal di belakang ditemani guide. Semua orang yang berpapasan nyaranin turun aja, karena angin makin kencang, di atas akan makin dingin, percuma juga di puncak nggak kelihatan apa-apa. Saya diserang keraguan, antara ingin terus --toh masih ada orang lain yang bertahan untuk terus, atau turun? Terpikir juga soal teman saya, dia sampai mana? Dia terus atau mutusin balik? Apa dia baik-baik saja?
Baca juga: “Rinjani Mengajarkan Apa Artinya Keindahan dan Kesempurnaan Sebuah Gunung”
Karena cuaca makin parah, kabut juga makin tebal, saya mutusin turun. Sekitar pukul tujuh lewat, ketemu guide yang nyusulin saya. Firasat nggak enak, kok dia cuma sendiri? Ternyata teman saya masih jauh di belakang, sakitnya kambuh, dia sempat berhenti lama, bahkan sampai tidur di jalur. Pantas lama dan jaraknya jauh, masih di jalur punggungan. Tapi rupanya dia bilang mau terus, pelan-pelan. Akhirnya kami pun lanjut.
Pelan dan hampir putus asa di jalur pasir, tapi tiap kali menoleh ke belakang, teman saya masih terus meski pelan. Akhirnya saya menyemangati diri sendiri, hingga sampailah di puncak pukul 10-an lewat. Dan benar saja, di puncak nggak kelihatan apa-apa, kecuali ‘tembok’ putih awan. Cuma ada dua kelompok kecil masing-masing sekitar 4 orang, selain saya dan guide. Nggak lama satu kelompok turun, tinggal kami ber-6, ngobrol, bagi-bagi bekal, foto-foto dengan background hanya putih. Rombongan 4 orang itu akhirnya memutuskan turun duluan karena langit nggak kebuka juga meski sudah menunggu lama.
Puncak Rinjani Juni 2022, nggak kelihatan apa-apa
Menjelang pukul 12 akhirnya teman saya sampai juga di puncak. Dan ajaibnya, Tuhan berkenan membuka langit sejenak, sekitar 15 menit ditunjukkan sedikit langit biru di puncak, meski Danau Segara Anak tetap tertutup gerumbulan awan. Buru-buru kami berfoto bergantian. Setelah itu, putih lagi semua.
Puncak Rinjani Juni 2022, hanya terkuak sebentar langit birunya
Bandingkan dengan pemandangan dari jalur puncak Rinjani saat cuaca cerah
Salah satu pemandangan terbaik Rinjani ke arah Segara Anak dan Gunung Baru Jari
Setelah teman saya cukup istirahat di puncak, sekitar pukul satu siang kami segera turun. Di jalur turun, langit kembali terbuka, dan cuaca berasa panas. Kondisi teman saya kembali menurun, beberapa kali dia jatuh terpeleset dan butuh istirahat. Di tempat yang agak teduh, dia sempat tidur beberapa saat. Karena kami lama, satu porter akhirnya nyusulin kami dan gantian mengawal teman saya yang sakit. Saya baru sampai ke tenda lagi di Plawangan Sembalun sekitar pukul 5.30 sore dan teman saya sekitar pukul 7-an malam! Jadinya kami nge-camp lagi di Plawangan Sembalun, nggak jadi lanjut ke Segara Anak hari itu juga seperti rencana semula.
Baca juga: “Alternatif Buat yang Nggak Sanggup Mendaki Rinjani: Bukit Pergasingan!”
Pagi esok harinya kami mulai turun ke Segara Anak. Tidak ada waktu lagi untuk nenda di samping danau, kami hanya istirahat dan makan siang di sini. Lanjut nyicil turun jalur Torean yang sangat panjang, yang umumnya makan waktu sekitar 10 jam. Kami memutuskan tidak nonstop, tapi nge-camp lagi di Propok, baru lanjut lagi esok paginya.
Danau Segara Anak, kami hanya istirahat makan siang di sini
Turun via jalur Torean, tak selalu turun jalurnya, Kawan! Kenyataannya, tanjakan dan turunan nggak habis-habis. Menurut saya, tidak hanya muncak yang perlu persiapan mental, lewat jalur Torean juga perlu. Memang sih, kita terhibur dengan view memukau, tapi di beberapa ruas jalur perlu ekstra hati-hati, ekstra tabah dan tawakal. Apalagi cuaca lagi-lagi kurang bersahabat dengan kami.
View memukau di jalur Torean
Jalur Torean
Jalur Torean
Sampai Air Terjun Penimbungan, kabut tebal mulai turun lagi. Belum sempat foto-foto yang bagus, air terjunnya kembali tertutup dan dilanjutkan dengan hujan deras. Mau nggak mau tetap harus lanjut melangkah karena perjalanan masih jauh. Kami hanya istirahat untuk makan siang dan beberapa kali berhenti untuk sekadar tarik napas. Kami nggak bisa jalan ngebut karena becek dan licin.
Air Terjun Penimbungan
Belum sempat berfoto bagus, air terjunnya sudah keburu tertutup
O ya, hati-hati juga memilih spot untuk buang air kecil, karena ternyata saya kena pacet di jalur ini, dan baru sadar setelah sampai base camp.
Saya tiba di pos ojek Torean menjelang magrib. Naik ojek pun ternyata harus tahan napas, karena jalanan licin habis hujan. Tanah merah yang nempel di ban motor bikin nggak stabil, motor mleyot-mleyot jalannya, nyaris jatuh. Teman saya sampai base camp sekitar pukul 9 malam. Meski ada beberapa kendala dan kejadian di luar dugaan, syukurlah kami berdua kembali dengan selamat.
Jalur Torean, menurut saya.... tak terlupakan! Emang gila, berasa kita di Jurassic Park apalagi kalau cuaca mendukung. Terberatnya itu di bagian naik-naik tangga. Apalagi karena kaki saya yang pendek jadi agak kesulitan karena jarak anak tangganya cukup lebar atau tinggi. Hampir tidak terjangkau kaki, jadi harus mengangkat badan. Lalu juga, turunan-turunan yang licin --jalur ini saya atasi dengan langkah-langkah kecil dan jaga konsentrasi. Untuk melalui jalur yang diberi tali-tali pengaman, asal hati-hati dan konsentrasi penuh bisa lah.
Terberat, naik-naik tangga
Tangganya curam dan jaraknya jauh-jauh
Melewati jalur yang diberi tali pengaman
Jalur Torean ini sungguh enak untuk dinikmati apalagi kalau tenaga dan waktu masih ada serta cuaca mendukung. Jangan lupa cicipi kesegaran air dari beberapa sumber air tawar yang dijumpai, karena beda-beda rasanya.