Kalau ada yang nanya, “Selama road trip dengan camper van di Australia makan siangnya di mana?” Well, sudah disiapkan! Teman kami akan mencari “alun-alun” desa di mana mobil bisa parkir dan ibuk-ibuk bisa memasak. Di setiap desa di Australia ada tempat seperti ini: sebuah area terbuka dengan fasilitas toilet bersih, pancuran air minum, ada meja plus bangku serta atap untuk makan, rumput untuk piknik, barbecue pit alias kompor listrik gratis, serta playground untuk anak-anak. Ini menarik!
Area terbuka dengan aneka fasilitas
Playground anak-anak rupanya juga termasuk budaya Aussie selain barbecue. Pantas saja, di sini kami jarang melihat anak-anak nonton Youtube lewat ipad! Karena sebenarnya jiwa anak-anak lebih tertarik untuk bermain daripada nonton --asal ada tempat mainnya! Playground Aussie selalu solid: pondasi kuat, besi-besi kokoh, dan sangat kreatif menawarkan tema yang berbeda-beda. Kami menemukan playground bertema kapal karam di Busselton, lengkap dengan pancuran air dan area pasir. Di Nannup, ada sebuah flying fox yang bikin anak-anak ketagihan. Lalu di Rifflebutts Beach, dekat Margaret River, playground-nya bertema kayu dengan jalinan tali tambang dan batang kayu yang bisa dipanjat. Semuanya gretong, tanpa pengawas, dan kondisinya bagus, solid, tidak berkarat atau kotor. Dan… aman! Setiap sudut berpengaman dan nyaman. Hebat! Anak-anak benar-benar dimanjakan. Saya jadi sedih, mengapa di komplek perumahan kami saja yang seharusnya lumayan “mewah”, playground anak-anak sudah karatan semua dalam 2 tahun sehingga jarang digunakan. Ayo dong, panggil desainer playground dari Aussie! Dijamin Senin harga naik!
Selain itu, di setiap alun-alun ini selalu diselipkan informasi mengenai flora dan fauna atau budaya Aborigin di tempat itu. Di Dyandra Valley kami melihat cerita tentang numbat, seekor marsupial pemakan rayap dan satu-satunya di dunia yang aktif di waktu siang, yang sekarang terancam punah. Bentuknya lucu, seperti tupai kecil dengan punggung belang hitam putih. Anak-anak sempat bermain memanjat patung numbat! Di The Gap Albany ada kisah mengenai Bangsa Minrang, dengan cerita mengenai dua kakak beradik yang selalu tidak akur, sampai disuruh untuk bertarung sampai mati. Yang satu melempar bumerang dan menancap di punggung lawan, yang satu melempar tombak. Akhirnya, sang kakak berubah menjadi hiu (sirip hiu mirip bumerang), dan sang adik menjadi ikan pari dengan ekor bagaikan tombak yang tertancap.
Menaiki patung numbat
Di Nannup, sebuah desa pedalaman yang sangat sepi, saya iseng membaca tulisan mengenai budaya Aborigin daerah situ, sambil menunggu anak-anak main flying fox. Rupanya semua suku Aborigin mengenal sebuah legenda mengenai Ular Pelangi (The Rainbow Serpent) yang mereka lihat di langit sebagai simbol kekuatan alam semesta. Ular Pelangi ini konon melambangkan energi alam semesta yang bergerak tanpa suara, hanya terdengar gemerisik daun saja ketika ia lewat. Lalu ada cerita mengenai burung emu Weitj --konon dulu banyak menghuni daerah Nannup dan bahkan ada rasi bintang Weitj yang dijadikan petunjuk waktu musim tanam oleh bangsa Aborigin. Saya tanpa sadar membacakan legenda kisah emu Weitj dengan keras… yang tiba-tiba disambut suara gemerisik kencang dari angin yang berembus meniup pohon-pohon karri (sejenis eukaliptus) setinggi 20-30 meter di sekitar kami. Ah, “penghuni” sini pasti senang, ada yang membacakan kisah ini, pikir saya. Toh suasana sepi, hanya kami yang ada di situ. Saya lanjutkan baca cerita emu Weitj sampai habis, dengan suara lebih keras. Lagi-lagi angin berembus kencang, beberapa burung gagak dan magpie hitam putih nampak pindah ke pohon depan saya, sementara serombongan burung gallah berwarna merah tiba-tiba terbang melintas di atas kepala saya. Mungkin “penghuni” di sini merasa makin happy, masih ada yang ingat dan peduli dengan dongengnya! Eh, ini apa? Saya kaget, tiba-tiba putri sulung yang saya pikir sedang main flying fox di pojok sana tiba-tiba muncul memeluk saya. Anak ini memang agak sensitif. “Daddy, I’m scared” katanya. Lho, kenapa? “Sepertinya pohon-pohon putih sedang berperang melawan pohon-pohon hitam…” katanya.
Sekelompok pohon berbatang putih di tengah taman memang seolah “dikepung” oleh pohon berbatang hitam di luarnya, bak kisah Lord of the Rings. Mungkinkah yang putih asli Australia, yang hitam dari Eropa? Astaga! Bagaimana anak saya bisa tahu! Rupanya, “pertarungan” itu masih ada di alam ghaib sana, seekor ular besar terbang bak naga di antara dahan-dahan pohon karri, bertahan dari serangan pendatang, ke sana-ke mari meliuk sambil mengucap salam: terima kasih, sudah mengingat cerita kami!
Setelah makan siang di Nannup, kami melanjutkan perjalanan masuk jauh ke dalam kawasan hutan. Di lokasi ini hampir semua kendaraan yang kami temui di jalan adalah sesama camper van. Pepohonan nampak semakin tinggi dan padat, sampai kami tiba di sebuah jalan kecil yang menuju ke bangunan rumah dari kayu gelondongan seperti di film koboi. Selamat datang di Karri Valley! Ini adalah tempat mengingap kami berikutnya: kali ini dengan toilet pribadi, bukan komunal. Lokasinya indah sekali! Dari lobby, jalanan naik ke atas ke punggung sebuah bukit, dan kami mendapat lokasi di bukit tertinggi dengan pemandangan indah menghampar ke bawah, di belakang kami hutan liar. Anak-anak langsung memperhatikan banyak kotoran hewan seperti kotoran kambing di mana-mana. “Those are kangaroo poo!” kata teman saya menjelaskan. Astaga! Kalau begitu, banyak kanguru dong di sini?
Menjelang sore, baru kami melihatnya! Sekitar 20-30 ekor kanguru liar, dari hutan sekitar kami, datang ke area camp untuk istirahat dan makan rumput. Jadi, mereka merumput, tiduran, dan bermain di area rumput antara satu mobil dengan lainnya. Astaga! Ada yang masih kecil bersama induknya, ada yang besar setinggi kira-kira 2 meter. Kami bisa melihat jelas, bagaimana kanguru memang menopang badannya dengan ekornya yang besar, untuk menjaga keseimbangan ketika sedang makan. Dan ketika melompat: Bug! Bug! Suara kakinya berdentum menghantam rumput. Seperti mimpi, melihat kanguru sebanyak ini!
Banyak kanguru
Karri Valley Resort ini menurut saya adalah lokasi menginap terbaik dalam perjalanan ini. Selain kamar mandinya yang bagus sekali dan modern, mereka memiliki ruang makan komunal yang besar dengan dinding kaca menghadap ke arah hutan di bukit seberang yang tak kalah keren. Dapurnya supermewah, bak dapur kompetisi Master Chef! Ada empat sink, dua oven besar, lemari es, dan meja-meja panjang. Kami masak di barbecue pit dan oven, lalu duduk di teras menikmati pemandangan indah di luar sana. Kanguru, hamparan hutan yang bak karpet hijau disiram cahaya keemasan dari mentari sore, ditingkahi suara berbagai burung yang asing kami dengar, menjadi hiburan alami untuk kami. Salah satunya suara teriakan yang tadinya saya kira lutung, ternyata di Australia tidak ada monyet dan sejenisnya! Rupanya itu adalah suara kookabura, burung kebanggaan Australia.
Karri Valley Resort
Kamar mandi yang bagus dan modern
Ruang makan komunal
Dapurnya mewah
Seperti tamu-tamu lain, kami menyiapkan makan malam dan memutuskan membuka satu botol wine rose Providore dari Margaret River. Ada salad, sosis goreng, chicken wings panggang, serta pempek lenggang ditambah keripik sanjay petai dari Nan Salero Padang. Aih, sedap nian! Kami bersantap malam bagaikan fine dining Michelin Star, lengkap dengan wine, dengan hidangan bikinan sendiri, menikmati senja di Karri Valley. Indah!
Seperti biasa, Pak Supir nyuci piring sesudah makan. Ketika sedang membawa piring bersih menuju mobil, saya kaget melihat ke atas: wow! Bintang-bintang bertaburan dengan gemilang! Rupanya, karena posisi kami di hutan dan nyaris tanpa polusi cahaya, kami bisa jelas sekali melihat bintang di atas. Saya panggil anak-anak, lalu kursi kami pindahkan ke tengah jalanan yang gelap gulita, dan kami memandang ke atas. Aduh, luar biasa! Rasi bintang Orion, Salib, dan lain-lain bisa kami nikmati bersama. Dan dengan berjalanannya waktu, mata kita semakin beradaptasi dengan kegelapan sehingga semakin banyak bintang yang terlihat. Tiba-tiba…. Apa itu? Kami bisa melihat taburan bintang halus yang berbentuk panjang seperti ular, nampak membelah langit dengan liukan tubuhnya. Bintang-bintang kecil bertaburan seperti gula pasir, membentang dari utara sampai selatan, ada yang berkelip, bahkan warna-warni. Luar biasa! “Hallo, welcome to Australia, mate!” seolah Sang Ular Pelangi menyapa. Inilah yang menginspirasi ratusan legenda Aborigin. Inilah yang disebut “The Dreaming”, cara suku Aborigin mendekatkan diri pada Sang Kuasa. Inilah “Tanda Tangan Tuhan” --sesuatu yang kita lihat sangat sederhana, tetapi untuk menjelaskan fenomena ini sangatlah sulit. Apalah arti kita manusia, di hadapan Bima Sakti?
Wow, banyak bintang!
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.