Danau Lugano
Kalau menginap di sekitar Milan, Italia, kamu bisa “keluar negeri dalam sehari” dengan melintas ke perbatasan Swiss. Dari Milano Centrale ke Mendrisio, Swiss, jaraknya hanya 61 km, atau sekitar 1 jam perjalanan dengan mobil. Cuss!
Motivasi pertama kali ke Mendrisio sebenarnya hanya karena namanya. Karena saya tinggal di Tangsel, Mendrisio adalah salah satu nama komplek ruko di sini. “Yuk, ke Mendrisio cari ruko!” kata teman saya bercanda! Dari Milan, kami mulai menyusuri jalan tol menuju Varese kemudian “Confino di Stato” alias batas akhir negara. Pengalaman berkendara lintas negara selalu menarik! Kendaraan menjadi perlahan dan berbaris mengantre ke sebuah pos penjagaan. Di sisi dalam, warna hijau-putih-merah bendera Italia dan petugas dengan seragam “Carabinieri”, di sisi luar bendera Swiss putih merah dengan petugas berseragam “Polizei”. Kami melalui pagar lintas batas dengan lancar, dan voila! Selamat datang di Swiss!
Negara Swiss adalah sebuah federasi dengan negara bagian yang disebut kanton, dan Kanton Ticino tempat kami berada saat itu adalah satu-satunya kanton berbahasa Italia. Tujuan pertama: Danau Lugano! Arahkan saja GPS ke Danau Lugano, lalu di depan danau ada parkir bawah tanah untuk kendaraan bertanda “Auto Silo”. Mahal memang (minimum 5 CHF atau sekitar Rp90.000), tapi bisa parkir nyaman di situ. Jika kamu sudah pernah melakukan wisata danau di Italia, di Swiss ini suasananya sangat berbeda!
Danau Lugano
Danau Lugano
Pertama: orang Swiss jago jualan! Produk UKM khas daerah sini adalah jam tangan Rolex dan Omega, sementara oleh-olehnya adalah beli jam Omega Swatch “Moonwatch” di outlet Swatch Lugano. Meskipun cuma kota kecil, berjajar merek mentereng di sini: Louis Vuitton, Bvlgari, dan lain-lain. Memang belanja barang mewah di sini lebih praktis karena bisa klaim tax free di perbatasan Swiss dan Italia, tidak perlu mengantre di bandara. Di mana-mana serba mewah, bersih, dan teratur --tapi mahal. Harga makanan di sini dua kali lebih mahal dari Italia.
Lugano menyediakan banyak tempat selfie maupun jalan kaki di sekitar danau, sambil menikmati keindahan pemandangan. Di sisi seberang danau ada bangunan persegi yang cukup tinggi, ini unik --sebuah kelurahan yang menolak gabung ke Swiss dan menjadi sepetak wilayah Italia di dalam negara Swiss. Kalau punya banyak waktu, bisa naik kapal ferry ke desa Morcote di seberang danau, sambil menikmati pemandangan indah dari kapal.
Ternyata, selain wisata belanja dan wisata danau, ada pilihan lain di sini: museum dinosaurus! Ya, pegunungan Monte St. Giorgio yang menjadi lokasi Kota Mendrisio dan Danau Lugano, meskipun sekarang ini menjadi puncak gunung, 240 juta tahun lalu adalah dasar lautan! Sehingga di wilayah ini banyak ditemukan fosil dari masa Middle Triassic tersebut. Menarik! Masalahnya: sinyal HP kami menghilang begitu masuk wilayah Swiss. Akhirnya, dengan modal navigasi mobil sewaan yang seadanya serta bertanya kanan-kiri, kami menyusuri jalan kecil yang berliku di punggung bukit sampai ke puncaknya. Jalanan melalui kebun anggur, kawasan desa, dan hutan lebat! Ketika kami sudah hampir menyerah karena belum ada tanda-tanda museum, kami sampai di sebuah desa bernama Meride di puncak gunung dengan menara gereja yang menjulang tinggi. Untung ada bapak-bapak yang sedang bekerja sehingga kami bisa bertanya: rupanya, untuk ke museum kami parkir di sini dan harus berjalan kaki sedikit. Lanjut!
Suasana Desa Meride
Yang namanya “museum” rupanya bukan gedung khusus tapi salah satu bangunan gereja yang dikonversi menjadi museum. Pantas saja lokasinya nyempil di antara perumahan. Tiket masuk untuk dewasa CHF 12 dan untuk anak-anak CHF 6. Kemudian kami membeli tutorial bahasa Inggris untuk anak-anak dengan tambahan CHF 2. Ngga apa-apa, masih lebih murah dari 1 jam di Timezone, bisa edukasi lagi!
Display hewan laut di museum
Display fosil di museum
Museum ini dibagi menjadi empat lantai, masing-masing mewakili zaman yang berbeda. Rupanya fosil di Monte St. Giorgio pertama kali didapatkan karena di sini ada penambangan bitumen. Bitumen yang berupa lapisan batu ini ternyata didapati memiliki cetakan dari fosil-fosil makhluk dasar laut dari 240 juta tahun yang lalu. Sebagai perbandingan, Museum Sangiran di Solo memiliki koleksi dari 2 juta tahun lalu, dan manusia purba Pithecanthropus erectus berasal dari masa kira-kira 300 tahun yang lalu. Jadi, Monte St. Giorgio ini jauh lebih tua dari Sangiran.
Lembaran bitumen dan fosil
Fosil ikan yang tercetak di lapisan bitumen
Tapi herannya, kalau di Sangiran fosilnya berukuran raksasa sampai disebut “balung buto”, di sini ukuran fosilnya sangat kecil! Rata-rata berukuran 5-15 cm. Dan, cara Swiss memamerkan koleksinya memang canggih benar. Anak-anak diminta mencari QR Code yang “tersembunyi” lalu ketika di-scan, suara tutorial akan menjelaskan mengenai bagian tersebut. Mereka belajar susunan tanah, perubahan geofisika bumi selama jutaan tahun, lalu bagaimana caranya fosil bisa tercetak di dalam batu. Bahkan ada bioskop mini, di mana pengunjung bisa menonton video singkat mengenai spesies-spesies fosil yang ditemukan.
Anak-anak bisa bermain dengan replika fosil
Cetakan fosil lengkap
Buat saya, highlight-nya ada di lantai tiga. Ini satu-satunya bahan pamer yang tidak boleh disentuh, karena merupakan lempengan bitumen asli yang dipajang miring dan disinari dari atas, sehingga terlihat jelas: pada lempengan tersebut, tercetak beberapa fosil dari berbagai makhluk. Ada yang nampak bersirip, ada yang panjang seperti ular, ada yang memiliki kaki seperti kadal. Lalu, ketika tombol “mainkan” ditekan, wow! Sebuah proyektor menyorot dari atas sehingga lapisan bitumen ini menjadi layar, dan fosil-fosil ini kemudian “hidup lagi”! Melalui film proyektor, kita bisa melihat bagaimana hewan-hewan ini dulu hidup, berenang-renang di pantai, lalu saling memangsa dan bercengkerama, sampai tiba-tiba ada letusan gunung berapi yang menimpa mereka sehingga dalam sekejap mereka tercetak di bitumen ini. Dua ratus empat puluh juta tahun kemudian, mereka masuk museum ini. Menarik, bagaimana manusia bisa berimajinasi sejauh itu dan melakukan visualisasi yang begitu realistis. Bagus!
Fosil asli dengan proyektor yang membawa pengunjung ke masa lampau
Salah satu fosil asli dengan catatan penemunya
Karena hewan-hewan ini matinya mendadak akibat letusan gunung api, maka kita seolah melihat snapshot dari kehidupan 240 juta tahun lalu melalui fosil yang dipajang. Ada fosil menarik di mana seekor ikan cucut sedang memangsa seekor ikan biasa, badan sang mangsa masih setengah terjulur keluar dari mulut sang ikan cucut --pose ini kemudian tercetak pada fosil. Kemudian ada fosil ikan mirip ikan bawal, fosil kalajengking, nyamuk raksasa, kadal, dan berbagai hewan yang hidup di pantai --karena Mendrisio ini dulunya kawasan pantai.
Ikan sedang makan ikan yang tercetak di fosil batu
Fosil kalajengking
Kejutannya Monte St. Giorgio belum habis sampai di sini. Ada satu bagian yang sejak awal sudah diincar anak-anak: ruang VR alias Virtual Reality. Ada dua ruangan dengan kaca mata VR dengan dua skenario yang berbeda: yang satu skenario bawah laut purba, dan yang satu lagi skenario pantai purba. Anak-anak awalnya girang, tetapi ketika mereka memasang kaca mata, berubah jadi teriak-teriak antara girang dan takut. Lho, ada apa ini? Saya baru paham ketika saya mencobanya. Rupanya, begitu dipasang, VR menempatkan kita di dasar laut purba. Saya duduk di atas pasir, sementara di atas sana nampak berenang-renang semua makhluk yang fosilnya tadi kami lihat: ikan mirip bawal, ikan cucut, kadal, dan lain-lain. Sesekali, sebuah ikan raksasa berleher panjang berenang melintas. Wuih, luar biasa! Tetapi, yang skenario pantai lebih hebat lagi. Begitu dipasang, saya berdiri di sebuah pantai --saya bisa melihat segerombolan kalajengking yang merayap ke arah saya, nyamuk raksasa yang beterbangan. Ada beberapa kadal kecil yang berkeliatan. Ketika saya menengok --astaga! Seekor reptil seukuran anjing, yang tadi kami lihat fosilnya, nampak sedang mengamati saya sambil menyeringai dengan gigi-geliginya yang tajam dan lidah terjulur keluar. Wow! Saya kaget, dan anak-anak tertawa terbahak-bahak mendengar saya berteriak.
Ruangan Virtual Reality bawah laut
Meskipun kecil, Museum Monte St. Giorgio sangat canggih dan layak untuk dikunjungi. Waktu yang dibutuhkan antara 1 sampai 3 jam, dan meskipun penjelasan yang tercetak berbahasa Italia, kamu bisa menyewa tutorial berbahasa Inggris. Setelah puas berfoto, kami pun melanjutkan perjalanan kembali ke Italia --mampir dulu di Migros, supermarket asal Swiss untuk mencari barang-barang unik yang tidak ada di Italia. Sampai jumpa di petualangan berikutnya!
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.