JANGAN LEWATKAN JANG TO JANGDA TREK KALAU KE ARUNACHAL PRADESH 2024-05-10 01:30

View point dengan pemandangan Air Terjun Nuranang

 

Saya coba mencari info di Google dengan menuliskan “Jang To Jangda Trek”, yang keluar hanyalah postingan dari beberapa akun media sosial The Holiday Scout dan website MyTrip. Tak ada sumber lain yang pernah menuliskan rute trekking yang kami jajal saat liburan di Arunachal Pradesh India mid April 2024 lalu ini. Jalur trekking yang berada di Distrik Tawang ini memang terhitung baru dibuka untuk wisatawan. Bahkan menurut pemandu, kamilah wisatawan (atau orang asing) pertama yang mencobanya. Saya jamin setelah ini jalur trek ini akan banyak diminati karena memang begitu komplitnya. Dan tentu saja cantik!

 

MyTrip bersama tim The Holiday Scout

 

Baca juga: “Panduan Cerdas Eksplor Arunachal Pradesh (Bagian 1)

 

Kalau bicara soal berat atau tidaknya rute trek ini, dari segi jarak memang nggak terlalu panjang. Apalagi yang pernah menjajal Gunung Rinjani di Lombok, rute ini nggak ada apa-apanya. Dibandingkan Bukit Pergasingan pun ini kalah berat. Jalur awal selepas jembatan gantung, masih agak datar dengan suasana hutan yang asri. Tapi setelah itu medannya nyaris tanpa “bonus” alias menanjak dan menanjak terus. Ketinggiannya juga lumayan, Desa Jang berada di 2.905 mdpl. Kebayang ‘kan engapnya di tanjakan karena oksigen mulai menipis? Bandingkan dengan Bukit Pergasingan di Lombok yang puncaknya hanya 1.685 mdpl. Untungnya sih nggak ada jalur yang sulit. Cukup ramahlah buat pendaki pemula.

 

Jembatan gantung di awal trek

 

Dari awal trek, pemandangan Air Terjun Nuranang menjadi penyemangat

 

Dari awal trek, pemandangan Air Terjun Nuranang menjadi penyemangat

 

Jalur-jalur awal

 

Tanjakan tak ada ampun

 

Hampir di separuh jalur atau bahkan lebih kami selalu disuguhi pemandangan Air Terjun Nuranang yang begitu gagah di tebing seberang. Dari mulai level air terjunnya lebih tinggi dari posisi kami, kemudian menjadi selevel, hingga akhirnya lebih rendah. Nggak bosen-bosen mandanginnya!

 

Air Terjun Nuranang terlihat lagi, masih lebih tinggi posisinya

 

Tempat terbuka, Air Terjun Nuranang lagi

 

Air Terjun Nuranang, sudah mulai agak selevel dengan kami posisinya

 

Dengan jalan santai sambil sesekali ‘mencuri’ kesempatan istirahat sambil memotret pemandangan kami membutuhkan waktu sekitar 2 jam sampai ke Desa Jangda, tempat kami makan siang. Total 3 jam 15 menit kalau istirahat di view point dan di tempat ngeteh dihitung.

 

Air Terjun Nuranang menggoda lagi

 

View point-nya bener-bener bikin betah! Berupa sebongkah batu besar yang bisa menjadi landasan duduk ataupun berdiri di ujung tebing yang menghadap Air Terjun Nuranang. Indah mandraguna! Kami sampai menghabiskan waktu 30 menit di sini. Bukan cuma kami berdua yang sibuk berfoto aneka pose, bahkan 2 pemandu utama (Sange dan Tasi) dan 3 pemandu tambahan (Lobsang, Tsering, dan Sang) yang menemani kami pun sama! Cakepnya emang kelewatan sih! Rasanya nggak rela meninggalkannya.

 

Kami betah duduk berlama-lama di view point, memandangi Air Terjun Nuranang

 

View point-nya berupa sebongkah batu besar menghadap air terjun

 

Para pemandu kami pun nggak mau ketinggalan berfoto

 

Kami bersama Sang, Tsering dan Lobsang, para pemandu tambahan

 

Di sepanjang jalan pemandu kami rajin menunjukkan tanaman-tanaman unik, salah satunya somcha yang batangnya bisa dimakan dan rasanya asam segar! Mirip banget yang pernah ditunjukkan pemandu kami di Fulan Fehan Pulau Timor NTT. Cuma yang di sini batangnya jauh lebih tebal. Entah keduanya tanaman yang sama atau bukan. Lobsang juga mengajak kami minum langsung dari air keran yang ada di Desa Jangda.

 

Somcha yang batangnya bisa dimakan dan rasanya asam segar!

 

Minum langsung dari air keran

 

Yang membuat trekking ini istimewa, karena bukan hanya pemandangannya melenakan mata, tapi juga karena kami berkesempatan berinteraksi dengan warga lokal. Di tempat istirahat pertama setelah memasuki Desa Jangda kami disuguhi butter tea hangat, kue kering khapsey, dan juga rice beer dingin! Hidup lagi capek-capeknya eh dapet bonus begini. Happy total! Tim pemandu juga membawakan juice dan soft drink buat kami.

 

Tempat ngeteh pertama, sambil melihat rutinintas warga lokal

 

Pemandangan indah terhampar

 

Nenek tua di depan kami yang sedang menyiangi sayuran tampak asyik sendiri tapi sesekali melempar pandangan ke arah kami yang sedang seru-serunya mengobrol. Sementara seorang wanita lainnya tampak sedang mengerjakan tugas rutin di depan rumahnya. Dan satu ibu lainnya dengan semangat ‘45 menuangkan kami rice beer tak henti-hentinya. Haha, kalau nggak ingat mesti jalan kaki lagi turun, kami pasti minum lagi dan lagi. Tak heran sampai 45 menit kami di sini.

 

Nenek tua yang sedang menyiangi sayuran

 

Seorang wanita dan tugas rutin di depan rumahnya

 

Kami masih harus berjalan kaki lagi sekitar 15 menit dari tempat istirahat ngeteh ke tempat makan siang. Pemandangannya tambah elok.

 

Pemandangan tambah elok

 

Pemandangan tambah elok

 

Mulai dekat tempat makan siang

 

Tambah istimewa tentunya karena makan siang kami digelar di halaman salah satu rumah warga dengan pemandangan mengampar di depan kami. Gunung berlapis-lapis, lembah lebar dengan bangunan-bangunan khas Himalaya. Kami disajikan makanan lokal, berupa semacam nasi goreng dengan dedaunan khas daerah situ. Juga ditemani dal (lentil soup). Teh dan khapsey tak lupa disajikan sebagai pembuka.

 

Pemandangan di tempat makan siang

 

Pemandangan di tempat makan siang

 

Teh dan khapsey

 

Nasi khas buat makan siang kami

 

O ya, sambil menunggu makanan keluar, Lobsang mengajari kami tarian Tibet, dan saya pun balik mengajarinya joget Gemu Famire walaupun gerakannya sembarangan aja, hahaha. Yang penting ketawa-tawanya ‘kaaaan….

 

Saya mengajari Lobsang joget Gemu Famire

 

Saya mengajari Lobsang joget Gemu Famire

 

Sama seperti di dua tempat perhentian sebelumnya, enggan sekali mengangkat badan untuk beranjak. Tapi waktu jualah yang memaksa kami. Dadah-dadah dengan para bocah yang sedari awal bermain di sekitar kami. Eh baru jalan 5 menit, ada warga lokal lainnya yang meminta kami mampir di rumahnya. Butter tea kembali menjadi andalan suguhan. Sampai-sampai kami pun membutuhkan toilet. Not bad toiletnya, walaupun sangat tradisional.

 

Selfie dengan para bocah di Desa Jangda

 

Diajak mampir lagi

 

Satu bapak begitu antusias dan matanya berbinar-binar saat Tasi bercerita bahwa kami berdua pernah berkunjung ke Tibet. Aaah… rupanya orang-orang Suku Monpa yang tinggal di Desa Jangda ini memang punya hubungan erat degan Tibet. Sayang, perbatasan dua negara yang nggak akur tak mengizinkannya melintas. Dari sinar matanya kami tahu betapa inginnya ia melihat Istana Potala yang megah di Lhasa Tibet.

 

Baca juga: “Arunachal Pradesh, Pengalaman India yang Berbeda. Beyond Your Expectations!

 

Kami turun melalui jalur yang berbeda. Tak kalah indah, dengan pemandangan Air Terjun Nuranang tetap menemani. Sayang saya tak banyak memotret, lutut sudah gemetar menahan beban, wkwkwk… Untung Sange berinisiatif mencarikan kami batang kayu yang dijadikan trekking pole. Lumayan lutut terbantu. Lobsang dan Tsering pun sigap memberikan tangannya di jalur-jalur curam dan agak licin.

 

Jalur turun beda, tak kalah indah

 

Jalur turun beda, tak kalah indah

 

Dari tempat kami ngeteh terakhir sampai ke parkiran mobil lagi di Desa Jang butuh waktu sekira 1 jam 15 menit. Meskipun udara sejuk dan jalur trek banyak yang adem karena pepohonan, tetap saja baju saya basah oleh keringat. Capek banget juga rasanya karena fisik kami sebenarnya nggak siap untuk trekking. Ini program dadakan, yang pastinya enggan kami tolak. Nyesel lah kalau nolak, hehe…

 

Salah satu anak lokal

 

Pengen ngulang, motret lebih banyak di sepanjang jalur dan di desanya, dan bermain lebih lama dengan anak-anak lokalnya. Rindu…

 

Berminat liburan ke Arunachal Pradesh? Hubungi MyTrip di 0811821006 atau 0811858736

 

 

Teks: Mayawati NH (Maya The Dreamer) Foto: Hemawati Nurhalim, Mayawati NH, Sange Tsering
Comment