“Berau memang kebanyakan hanya terkenal karena batu bara,” kata Lukmansyah memulai cerita. Lukmansyah adalah seorang aktivis pendamping pengembangan kakao fermentasi di Berau Provinsi Kalimantan Timur. “Tetapi kakao sudah ada di sini sejak lama, ketika dulu ada pemilik konsesi logging kayu yang membagikan bibit kakao untuk warga setelah kayu habis, dan juga pembagian bibit dari swadaya masyarakat,” lanjutnya lagi.
Kakao Indonesia sebenarnya punya potensi sangat baik. Posisi di khatulistiwa dan unsur hara tanah yang berbeda antar pulau, menjadikan kakao Indonesia punya daya saing. “Namun sayangnya, kebanyakan kakao Indonesia masih dijual secara curah, bukan dengan konsep single origin,” kata Agung Widiastuti dari Kalimajari Bali, sebuah NGO untuk pemajuan kakao Indonesia. Apa maksudnya coklat single origin?
Pernah ‘kan kamu melihat coklat impor bertuliskan “Madagaskar” atau “Ecuador”? Nah itu artinya, kakao yang dijadikan coklat dipanen dan difermentasi di negara tersebut. Proses fermentasi kakao dilakukan di dekat perkebunan, dengan jangka waktu 5-7 hari. Proses ini membuat rasa kakao unik di setiap tempat, karena kekayaan bakteri lokal dalam fermentasi berbeda-beda. “Sayangnya, sistem perdagangan kakao belum mendukung fermentasi, sehingga sebagian besar mementingkan harga murah dan cepat,” kata Agung melanjutkan.
Nah, kalau dicari potensi fermentasi kakao Indonesia dengan rasa unik, Berau menjadi salah satu calon berlian Nusantara. Lihat saja potensi lahannya: dari Balikpapan ke Tanjung Redeb (ibu kota Kabupaten Berau), kota terdekat, naik mobil bisa 12 jam! “Pohon kakao Berau rata-rata tumbuh di tepi hutan, sehingga mungkin dipengaruhi oleh flora dan fauna hutan Kalimantan,” kata Lukmansyah.
Baca juga: "Kabupaten Berau Tak Hanya Punya Derawan. Ada Apa Lagi yang Menarik?"
Potensinya luar biasa, meskipun masih belum diolah bak berlian dalam tanah. Ada dua kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur yang menjadi sentra produksi kakao: Kabupaten Berau (Kampung Merasa, Muara Lesan, Long Lanuk) dan Kabupaten Kutai Timur (Desa Karangan Ilir alias DKI!). “Waktu saya pertama kali ke sana, saya kaget, melihat begitu banyaknya produksi buah kakao dan semuanya bagus-bagus! Padahal posisinya terpencil dan belum banyak tersentuh teknologi. Luar biasa!” kata Lukmansyah.
Karena di tanah Berau banyak batu bara dan tanahnya bersifat asam, bagaimana rasa coklatnya? Akhirnya saya berkesempatan mencicipi single origin Berau dengan 60% dark chocolate. Perlu dicatat bahwa berbeda dengan kopi, proses dari kakao sampai jadi coklat batang sangat mempengaruhi rasanya, jadi dengan mengabaikan proses produksi, saya mencoba menebak rasa coklatnya. Pertama digigit saya merasa kaget: benarkah ini 60% kakao? Karena rasanya tidak terlalu pahit, dan tidak ada rasa asam yang biasanya timbul. Namun ketika diteliti lagi, ada aroma buah (fruity) yang kuat, bahkan sedikit aroma mint, yang menaikkan kesan manisnya. Aftertaste-nya juga cukup kuat, terasa sampai lama. Lembut, terkesan mewah, padahal baru level P-IRT (Produk Industri RumahTangga), hehe. Mantap! Ini dia, sang berlian Berau yang baru, untuk masa depan ramah lingkungan! Semangat Lukmansyah dan kawan-kawan, mari terus berjuang untuk ekspor kakao single origin Berau!
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia.