Sungai Po adalah sungai besar yang membentang dari barat ke timur di Italia, Eropa. Kebetulan, jadwal kerja kami rutenya menyusuri Sungai Po ini: dari Torino dan Piemonte dekat mata air Sungai Po di Pegunungan Alpen, Italia Barat, melalui Parma dan Bergamo di tengah, sampai ke Mirano dan Venezia, muara Sungai Po di Italia Timur.
Torino! Namanya saja sudah membangkitkan rasa penasaran. Pusatnya kopi Lavazza, pabrik mobil FIAT, kain kafan Turin, dan… kandangnya Juventus! Berhubung waktu yang sempit, kami memilih yang terakhir: mengunjungi stadion utama “i Bianconeri” (Sang Hitam Putih) di Juventus Stadium!
Stadion Juventus terletak di bagian kota yang cukup modern, dan persis di sebelahnya ada mal yang cukup besar. Akses ke Juventus Museum melalui mal ini. Dari kejauhan sudah nampak rombongan manusia penggila sepak bola dari berbagai bangsa berbaris ke arah yang sama: pintu masuk museum, toko, dan Stadion Juventus! Tiket masuknya lumayan mihil: EUR30 per orang termasuk tur ke dalam stadionnya. Tapi, museumnya bagus sekali!
Di sinilah pintarnya orang Italia membuat sepak bola menjadi sebuah bisnis! Di dalam gedung yang modern, dan dengan cara-cara warbiyasak seperti layar LCD raksasa serta display interaktif, pengunjung dibawa untuk menikmati sejarah tim Juventus dari awalnya sebagai klub berkostum khas hitam-putih sampai sekarang. Buat saya yang bukan penggila bola saja, museumnya seru dan menarik! Apalagi ada satu ruangan gelap yang ternyata terdiri dari display interaktif, menunjukkan piala-piala yang pernah diperoleh Juventus, lengkap dengan musik dan video yang menakjubkan.
Sejarah tim Juventus di Juventus Museum
Piala-piala yang pernah diperoleh Juventus
Lalu, waktunya tur stadion! Peserta dengan dipandu seorang guide, dijelaskan mengenai bagian-bagian stadion, dari pintu masuk sampai ke balkon. Lalu, dari situ peserta dibawa masuk ke ruang ganti, sebuah ruangan yang tentu saja penuh energi ketika para pemain bersiap bertanding. Kemudian, pemandu meminta peserta berhenti sejenak. Dia pun membuka pintu utama menuju lapangan! Jreeeng! Sinar matahari masuk, dan lapangan pertandingan terhampar di depan. Kita bisa membayangkan bagaimana rasanya pemain Juventus seperti Alessandro del Piero berjalan melalui pintu ini ke lapangan, ditingkahi teriakan histeris ribuan penonton di luar sana. Saya jadi teringat “tur ruang ganti” lainnya yang pernah saya ikuti yakni ruang ganti para gladiator di Colloseum Roma. Memang dari dulu urusan olahraga ini jagonya Italia!
Berpose di Stadion Juventus
Setelah puas di Stadion Juventus, kami pindah ke Museum Mobil Torino (Museo Nazionale dell’Automobile). Torino adalah salah satu pusat industri otomotif Italia melalui FIAT (Fabricca Italiana Automobili Torino). Karena FIAT kemudian sudah menjadi konglomerasi internasional dan bukan “milik” Italia lagi, dibuatlah museum ini untuk memperingati sejarah FIAT dan Kota Torino.
FIAT di Museum Mobil Torino
Begitu masuk, suasananya langsung “lakik” banget: jajaran mobil kuno, yang kemudian membawa peserta melihat sejarah kendaraan dari zaman kereta kuda sampai dibuatnya mobil pertama. Ada satu contoh Ford Model T di sini, kemudian juga ada berbagai merek mobil lain yang sekarang sudah almarhum seperti Lancia. Di sini terlihat bahwa Italia sebenarnya juga memiliki pelopor-pelopor teknologi mesin, tapi namanya tidak seterkenal Jerman atau Amerika. Inovasi Italia inilah yang dirayakan dalam museum ini, bagaimana FIAT kemudian meluncurkan FIAT 500 yang lalu sukses sebagai “mobil rakyat” bahkan sebelum VW kodok hadir.
Penulis berfoto di salah satu mobil kuno/antik
Museum ini juga bicara jujur, termasuk mengenai sejarah kelam paham fasis Italia melalui Benito Mussolini. Dan di bagian akhir ada yang sangat keren: bagaimana denah Kota Torino dihamparkan di lantai dan disoroti lampu, lalu semua pabrik yang berhubungan dengan pabrik FIAT ditunjukkan di situ. Jalan ini supplier kopling, jalan depannya pemasok rem, pabrik kaca depan, dan lain sebagainya. Kita bisa melihat bagaimana industri otomotif memberi penghasilan ke begitu banyak kelurahan di Kota Torino, sebuah upaya membahas sisi manusiawi dari sebuah industri. Menarik!
Denah Kota Torino di lantai
Keesokan harinya program kami cukup spesial karena diantar jalan-jalan di Torino oleh orang asli Torino! Tentu saja, tempatnya tidak biasa. Tujuan utamanya: La Venaria Reale, sebuah istana milik Dinasti Savoy yang dulu menjadi penguasa Piemonte. “Saya sudah booking online, kita bisa masuk setelah ngopi,” kata rekan kami ketika kami parkir. Dari kualitas kwasongnya (croissant), saya bisa merasakan bahwa perbatasan ke Prancis sudah dekat!
Ngopi ditemani croissant, perbatasan ke Prancis sudah dekat!
Provinsinya Kota Torino namanya Piemonte, yang berbatasan langsung dengan Prancis di bagian barat. Tentu saja pengaruh Prancis di sini sangat kuat! Kerajaan yang memerintah di sini dulu namanya Keluarga Savoy. Ini adalah salah satu istana kediaman Keluarga Savoy di Torino, yang disebut “mini-Versailles” karena keindahan tamannya. Di Venaria ini kami bisa melihat bagaimana pengaruh Prancis membawa gaya hidup borjuis ke Italia. Lukisan di langit-langit, benda-benda mewah, serta perhiasan yang dipajang, semuanya bergaya mewah dan “bling-bling” ala Hermés dan Louis Vuitton! Di satu bagian istana bahkan ada sebuah aula dengan lantai mengkilap dan langit-langit mewah, semua berwarna putih sehingga menyala terang, mengingatkan saya pada tempat dansanya Beauty and the Beast. “Tale as old as time…, true as it can be…”
La Venaria Reale, sebuah istana milik Dinasti Savoy, dengan lukisan di langit-langitnya
Aula berwarna serbaputih
Setelah puas menikmati Venaria termasuk jalan-jalan di tamannya yang luas dengan kolam dan bebek angsa yang tidak dipotong tapi berenang dengan anggun (kayak di film banget!), kami kembali ke mobil menuju titik berikutnya. Kali ini rekan kami mengajak melihat puncak Gunung Alpen yang berada dekat Torino. Wah, beda lagi!
Torino mirip dengan Bandung, sebuah kota besar tapi dalam waktu singkat bisa mencapai pegunungan. “Saya bisa menikmati kereta bawah tanah MRT dan belanja di mal besar di hari kerja, tapi di akhir minggu saya bisa kemping di gunung atau trekking di hutan!” kata teman kami menjelaskan. Sambil berkendara, dia memperlihatkan sebidang tanah superluas di sebelah kiri jalan, yang konon dimiliki keluarga Agnelli (pemilik Juventus dan pendiri FIAT). Sultan ala Italia ini!
Jalanan semakin sempit dan menanjak tajam. Belokan-belokan semakin ekstrem, dan kami bisa melihat bagaimana mobil kami mulai naik ke punggung sebuah gunung batu. Inilah Alpen! Jalan raya nampak berkelok mengikuti tebing, dengan lembah penuh pohon cemara di bawah sana, serta puncak-puncak tebing batu jauh di atas. “Lembah yang lainnya punya akses menuju Prancis, sehingga lebih ramai. Lembah Balme ini tidak punya akses, jadinya kurang populer tapi lebih tradisional,” kata teman saya, sambil meliuk-liukkan mobil Alfa Romeonya melalui celah-celah sempit di antara rumah dan tebing batu, membuat saya yang duduk di kanan (posisi supir di Indonesia) merem melek karena serem, hehe. Lalu rumah-rumah lenyap, pemandangan diganti hutan sampai pohon-pohon semakin jarang dan terlihat jalanan kecil yang kami lalui berakhir di sebuah dataran tinggi kecil. Inilah Desa Bogone, Kecamatan Balme!
Jalanan berkelok-kelok
Di sini mobil harus parkir dan kami berjalan kaki. Kami kaget ketika membuka pintu mobil: dingin seperti di dalam lemari es! Dan lihat, kira-kira 150 meter di atas, sudah nampak setumpuk salju. Kami berjalan kaki sampai di sebuah pondok, kalau di Austria namanya berghutte alias pondok gunung. “Citta di Cirie, 1850 m” tulisannya. Jadi kira-kira kami setinggi puncak Gunung Tangkuban Perahu! “Di balik puncak di depan itu (utara) adalah Swiss, dan di sebelah kiri (barat) adalah Prancis,” jelas teman saya. Wow, menarik! Di bawah bendera Italia dan bendera Piemonte (kotak merah-putih, simbol Dinasti Savoy), kami foto-foto sambil menikmati keindahan alam Pengunungan Alpen. Cantik!
Citta di Cirie, pondok gunung di Pegunungan Alpen
“Citta di Cirie, 1850 m”
Setelah kedinginan dan jalan kaki, tentu saja: lapar! Untung, teman kami sudah melakukan reservasi makan siang. Namanya Agriturismo La Masina --mungkin kalau di pegunungan Jabar namanya “Imah Dahar Ceu Lala Masina”. Sebuah kabin dari kayu khas Alpen tapi Italia (saya biasanya melihat kabin ala Austria dan Jerman). Begitu kami membuka pintu, langsung terlihat interior ala Abad Pertengahan di film Bridgerton, hawa hangat dari perapian, pendaran cahaya kuning lampu, serta aroma meja-kursi kayu seperti kalau masuk IKEA Alam Sutera. Tentu saja, ada aroma keju dan hidangan yang langsung membuat perut keroncongan!
Saya penasaran, seperti apa “makanan Alpen” ala Italia --karena saya terbiasa dengan “Alpen ala Jerman” yang isinya spätzle (sejenis pasta) dan keju, keju, dan keju. Ternyata, di sini mirip! Makanan pokoknya adalah polenta alias bubur jagung yang dicampur keju. Kemudian, ada sosis babi dengan bumbu tomat (nah ini khas Italia!), lalu daging sapi yang berwarna gelap sekilas mirip kalio. Ternyata, ini daging sapi yang dimasak dengan saus anggur merah. Menarik! Dan langsung terasa tendangan rasa ala Alpen: awalnya enak, kemudian eneg, saking maachtig-nya. Maklum, ini makanan orang yang hidup di gunung, harus penuh kalori! Polenta kejunya langsung membuat perut penuh. Sosisnya sedap, tapi keras mirip lapciong tapi direbus, bukan dipanggang. Daging sapinya rasanya mirip goulash, berat, sedikit asam gurih, dengan serat tebal tanpa lemak. Untung, ada satu pitcher anggur merah yang membantu melancarkan perjalanan makanan di tenggorokan. Sayang, nggak ada teh manis anget!
Polenta alias bubur jagung yang dicampur keju
Sosis babi dengan bumbu tomat khas Italia
Daging sapi yang dimasak dengan saus anggur merah
Itu ‘kan main course-nya. Bagaimana appetizer-nya? Nah, di sini baru muncul Prancisnya! Alih-alih hidangan yang disajikan satu tumpuk seperti ala Jerman, muncul piring besar dengan lima jumput hidangan bak Haute Cuisine ala Prasman: ada irisan ham dengan saus mustard, seiris keju dengan saus kacang pistacchio, lalu polenta panggang dengan saus reduksi anggur dan bawang bombay terkaramelisasi (jiah!), kemudian kulit paprika dengan saus ikan, serta salad kol putih. Polenta panggang ini bentuknya mirip bika ambon, tapi rasanya gurih-asin sehingga cocok sekali dengan saus yang pernah saya santap di rumahnya Oom William Wongso. Hamnya sedap dengan olesan mustard, paprika ini sangat khas wilayah sini, dan salad kol dengan balsamic vinegar membawa acidity yang membuat seluruh hidangan menjadi selaras. Kalau di Semarang namanya Nglaras Rasa!
Appetizer, piring besar dengan lima jumput hidangan
Dessert-nya sederhana saja: lemon cake! Karena pilihan lain seperti tiramisu sudah habis, maklum warung penuh sekali bahkan beberapa tamu yang tidak punya reservasi sudah ditolak. Tapi, cake sederhana ini justru menyadarkan saya, identitas asli dari hidangan Alpen ini: hidangan rumahan, dimasak oleh sang ibu, menggunakan bahan hasil peternakan sang ayah, disajikan oleh putra-putrinya, dan setelah resto tutup mereka semua berjibaku cuci piring, mengepel lantai, dan bersiap untuk buka kembali keesokan harinya. Bagaimana hidangan desa ala Alpen Italia ini menjadi hebat justru karena kesederhanaannya. Salute!
Petualangan Piemonte belum berakhir di sini, karena sesudah Torino kami ada kegiatan lagi di Kecamatan Asti, tepatnya Kota Alessandria. Kami menginap di Hotel Alli Due Buoi Rossi, yang di luar dugaan cukup bagus. Meskipun letaknya di pusat kota dan menempati bangunan lama, tapi interiornya modern dan tidak ada aura Valak maupun Conjuring hehehe. Ingat, di Italia tidak ada pocong, adanya Valak dan The Pope’s Exorcist! Males juga ‘kan kalo nginep di hotel terus paginya harus manggil Russel Crowe segala…
Salah satu “berkah” menempel dengan Prancis adalah tanah dan iklim yang pas untuk produksi wine! Piemonte terkenal sebagai salah satu penghasil wine terbaik di Italia. Yang paling tersohor adalah Barbaresco dan Barolo untuk wine merah dan Barbera d’Asti untuk wine putih. Daerah ini juga menghasilkan Barolo Chinato, wine yang dikentalkan lagi dan ditambah rempah sehingga rasanya manis dan unik. Pertanyaannya: belinya di mana? Di supermarket sih banyak, tapi mosok iya sih beli di rak begini? “Kamu google saja toko yang disebut ‘Enotica’, itu toko khusus wine. Biasanya stok mereka cukup bagus,” kata teman kami. Ternyata, Enotica itu toko yang lokal banget, sedikit yang bisa Bahasa Inggris. Tapi, memang unik wine-nya! Berhubung allowance untuk dibawa ke Indonesia hanya 2 botol, kami harus menahan diri belanja wine. Maklum, di sini banyak yang harganya EUR3-5, bahkan yang Barbaresco paling mahal saja baru EUR35 alias sekitar Rp600.000. Mantap!
Wine Piemonte
Kami masih ditraktir sekali lagi di Piemonte, kali ini di wilayah Asti. Hidangannya bukan ala Alpen tapi restoran beneran! Ada carpaccio lidah sapi --lidah sapi yang diiris tipis dan disajikan dingin, lalu dibubuhi saus pesto. Aih, kalau biasanya carpaccio cenderung asam, ini gurih segar! Lalu ada keju yang dibalur bayam, kemudian dibubuhi saus dari melon. Sebagai main course, saya memilih spaghetti jamur dan gnocchi dengan dua macam saus: saus tomat dan saus truffel --beneran dibubuhi irisan jamur truffel yang terkenal wangi dan mahal itu. Aih, ciamik! Dan dessert-nya kali ini lebih canggih: semifreddo (semacam es krim tapi dari krim dan kuning telur), mousse (busa halus) coklat dan sebuah kue dibubuhi saus labu. Semifreddo rasanya unik: antara es krim dengan puding, tidak semanis es krim tetapi lebih ber-body seperti puding. Mousse, selalu mengesankan. Kue dengan saus labu mengingatkan saya pada cake yang mirip di La Massina Gunung Alpen: sebuah penghormatan untuk asal mula kuliner Eropa, di dapur-dapur desa Pegunungan Alpen. Setelah bersulang dengan wine putih Broglia dari Desa Gavi, kami berpamitan dari Piemonte dan bergegas ke arah timur, menuju Parma dan Bergamo. Selamat tinggal Piemonte dan Torino! Fino alla fine --pantang menyerah sampai akhir!
Lidah sapi yang diiris tipis dan dibubuhi saus pesto
Spaghetti jamur
Gnocchi saus tomat
Dessert: semifreddo, mousse coklat dan kue dibubuhi saus labu
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.