Suasana malam di Citta Alta Bergamo
Sungai Po adalah sungai besar yang membentang dari barat ke timur di Italia, Eropa. Kebetulan, jadwal kerja kami rutenya menyusuri Sungai Po ini: dari Torino dan Piemonte dekat mata air Sungai Po di Pegunungan Alpen, Italia Barat, melalui Parma dan Bergamo di tengah, sampai ke Mirano dan Venezia, muara Sungai Po di Italia Timur.
Parma! Tentu saja kunjungan ke sini belum lengkap kalau belum ketemu keju. Wilayah ini terkenal dengan Parma Ham dan keju Parma alias parmigiano. Wilayah ini terkenal dengan industri makanannya, tapi orang-orangnya malah jarang makan! Lho, kenapa? Karena di sini ada konsep yang namanya “aperitivo”. Aperitivo adalah di mana bar-bar menyediakan makanan gratis jika pengunjung datang dan memesan minuman pada jam-jam tertentu, biasanya sore hari pulang kerja. Jadi, mereka akan menjual minumannya lebih mahal --misalnya segelas nocino atau liquor dari fermentasi kacang hazelnut dibandrol EUR5, tetapi restoran akan menghadirkan sepiring “makanan” berupa berbagai roti dan ham dan buah zaitun. Kenapa saya pakai tanda petik dua? Karena buat orang Parma ini “sudah makan”, buat orang Indonesia tentu saja perut masih kembung kalau makan roti saja! Untung, rice cooker portable dan rendang sachet siap menyambut kami ketika tiba di hotel.
Keju Parma alias parmigiano, salah satu aperitivo
Salah satu aperitivo
Setelah Parma, acara kami bergeser ke Bergamo. Kota cantik dekat Milan ini berbeda provinsi dengan Parma: kalau Parma di Emillia-Romagna, sementara Bergamo di Lombardia. Ini adalah provinsi-nya Kota Milan, pusat mode dunia, daerahnya orang kaya di Italia. Dari Parma yang cenderung “kota pekerja”, Bergamo nampak menjulang tinggi. Apalagi, tempat kami makan memang tinggi lokasinya: namanya Citta Alta. Citta Alta adalah sebuah bukit tinggi dengan permukiman di puncaknya, yang menjadi simbol Kota Bergamo. Antrean mobil nampak cukup panjang ketika kami bergerak ke Citta Alta malam itu. Seperti di Puncak, ada pembatasan kendaraan pada jam-jam tertentu, dan arus dibagi rata ke tiga pintu masuk Citta Alta. “Jam segini paling bagus untuk ke Citta Alta, karena ini hari Jumat!” kata teman saya yang mengantar. Plus, kami bisa jalan-jalan menikmati Citta Alta sebelum gelap. Cocok!
Salah satu sudut Citta Alta
Salah satu sudut Citta Alta
Restoran tujuan kami cukup terkenal: namanya La Marianna. Restoran ini adalah penemu stracciatella, es krim vanila yang dibubuhi potongan coklat. Tapi, bukan cuma es krimnya saja yang enak! Kami memesan hidangan “wajib” kami kalau setahun sekali ke sini: Bistecca ala Fiorentina!
Bistecca ala Fiorentina adalah steak dengan berat 1,5 kg yang dipanggang medium. Dagingnya bertulang berbentuk huruf T sehingga bisa dibagi antara daging atau menggerogoti tulang. Saya memilih tulang, karena buat saya bagian daging yang menempel ke tulang lebih gurih. Satu orang butler mendampingi kami, memotong dan menyajikan daging ke piring masing-masing, sementara kami menyaksikan dengan air liur mengucur karena aromanya yang meruap sedap. Aih, rasanya sedap sekali. Kualitas daging yang baik langsung terasa, sedikit garam mengintensifkan rasa logam besi dari hemoglobin dalam darah, membuat rasa daging menjadi gurih dengan rasa sedikit asam-metalik. Bagian luarnya matang, mensuplai aroma smokey yang sedap, sementara dalamnya masih merah, menyajikan tekstur lembut. Saya tidak sabar menggunakan garpu, dan mulai pakai tangan untuk menggerogoti tulang. “It’s OK, eat with your hands!” kata teman kami.
Bistecca ala Fiorentina
Sementara butler mengiris-ngiris, air liur kami mengucur
Untuk sebuah hidangan yang bombastis seperti Bistecca ala Fiorentina ini, side dish-nya justru sangat sederhana. Kami memilih versi yang paling tradisional: fagioli cannelini alias Italian white beans dan patate al forno alias kentang goreng. Tanpa keju, tanpa tomat, tapi selaras serasi menemani potongan daging yang rasanya sudah meriah. Italian white beans ini unik: bentuknya mirip kacang merah tapi putih polos, dan rasanya sedikit lebih manis dari kacang merah.
Fagioli cannelini alias Italian white beans
Patate al forno alias kentang goreng
Sebagai variasi, kami sempat memesan primi piatti atau hidangan awal sebelum steaknya tiba. Ada yang memesan popolo atau gurita panggang dengan kentang puree. Meskipun ini daerah pegunungan yang jauh dari laut, tapi kualitas dan penanganan guritanya sangat baik. Saya memesan caprese, burrata besar yang disajikan di atas irisan tomat lalu dibubuhi saus pesto dan anchovy alias ikan asin. Duh, kombinasi hidangan ini sangat unik dan menyegarkan! Burrata-nya punya tekstur unik, mirip yoghurt tapi gabungan antara cair dan firm, kira-kira seperti tahu jepang. Pesto dan tomat membawa kesegaran jika rasa susu dari burrata mulai terlalu dominan, dan ikan asin di atas burrata membawa aroma ikan dan rasa asin tajam yang menggiring pendulum rasa ke arah berlawanan. Creamy - asam - asin - creamy - wow! Terus bergelombang sampai tanpa terasa semuanya di piring sudah ludes. Mantap!
Popolo atau gurita panggang dengan kentang puree
Caprese, burrata besar yang disajikan di atas irisan tomat lalu dibubuhi saus pesto dan anchovy alias ikan asin
Ada satu hidangan lagi yaitu daging cincang yang digoreng tepung, disajikan dengan salad dan bubuhan cuka balsamik. Ini juga sedap, meskipun tidak sekompleks burrata tadi. Bubukan cuka balsamik membuat rasanya jadi ekstrem, antara gurih-renyah dan asam segar dari saladnya.
Daging cincang digoreng tepung, disajikan dengan salad dan cuka balsamik
Sebagai hidangan penutup, meskipun perut sudah penuh menyantap daging segede gaban, tetapi di La Marianna tentu saja saya memesan es krim stracciatella. Mamma mia! Hidangan yang sangat sederhana, dengan gelas tebal-tinggi ala Swensen zaman dulu (duh, ketahuan umur!), sebuah wafel renyah bundar yang bertengger di atas es krim, serta es krim vanila dengan coklat.
Es krim stracciatella dengan wafel bertengger di atasnya
Jadi ceritanya, produk ini datang dari sebuah kecelakaan: seorang pekerja tanpa sengaja menumpahkan coklat cair (ganache) pada satu panci es krim vanila. Karena jam buka resto sudah mepet, chef memutuskan mengaduk saja coklat cair yang langsung membeku itu dengan es krimnya dan menyajikannya sebagai “stracciatella” alias “bintang gemerlap” karena potongan coklat kecil-kecil nampak seperti bintang di antara warna putih vanila. Saya mengambil satu sendok, wow! Orang Italia memang tidak pernah ragu-ragu mengatur tingkat kemanisan dessert-nya. Tapi, aroma vanila aslinya merebak naik, kemudian kualitas coklat yang bagus --kunci sukses stracciatella-- membawa aroma coklat dan tekstur cacao butter yang meleleh sejenak setelah es krimnya, sehingga menyambung after taste vanila dengan tekstur lembut dan aroma coklat yang menawan. Ciamik tenan ini!
Setelah makan kami menikmati jalan-jalan kecil di Citta Alta dalam suasana malam dengan suhu 12o C. Toko demi toko kami lewati, masih diterangi lampu walaupun sudah tutup, jualannya lucu-lucu: dari tas, coklat, sampai bahan makanan kelas tinggi seperti truffel. Pintu-pintu kuno menjadi saksi sejarah Citta Alta sejak zaman Kerajaan Lombardia sampai sekarang. Dan terlihat bagaimana orang di Bergamo lebih berselera tinggi, menikmati hidup, punya kehidupan yang makmur, dan senang menikmati hidup dengan hidangan ala Italia Utara yang penuh variasi. Dolce far niente - the joy of doing nothing, katanya! Yuk atuh, jangan lupa bahagia! Dan kalau ke Bergamo, jangan lupa ke La Marianna!
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.