MASIH MAMAM STEAK? 2021-01-16 14:00

Grilled pork ribs with baby potato

 

Buat generasi pra-milenial (alias kolonial zaman akhir) kelahiran akhir dekade ’70-an seperti saya, “makan steak” masih menyimpan kenangan tersendiri sebagai simbol kemewahan. Zaman itu, kebanyakan keluarga masih belum mampu menyantap hidangan yang isinya daging semua! Bentuknya pun berbeda dengan steak sekarang. Untuk saya, kenangan steak itu dihidangkan di atas pelat besi tempa hitam berbentuk sapi, panas membara, dagingnya hitam legam, dengan saus yang dituang dari sebuah wadah stainless steel. Letakkan sepotong mentega di atasnya ketika panas, lalu meruaplah aroma sedap nan mewah!

 

Sejak “Reformasi Warung Steak 1998” --munculnya steak harga bersahabat dari chef hotel yang kehilangan pekerjaan akibat krisis-- wajah dan prestise steak menjadi berubah. Steak mulai berubah bentuk, istilah “wagyu” dan “medium well” menjadi tren baru. Pelat besi diganti piring, dan acar berganti saus barbecue. Walaupun pamornya sedikit turun, namun bagi kebanyakan orang Indonesia, kegiatan “makan daging” ini masih menjadi simbol kemewahan.

 

Baca juga: “HTP Seafood, Bali Rasa Muara Karang

 

Begitu pula saya, ketika liburan di Bali, rasanya kok tidak lengkap tanpa “makan steak”. Tapi, mau makan di mana? Untunglah salah satu teman yang tinggal di Bali memberikan rekomendasi: The Forge! 

 

Konon, pemiliknya adalah pebisnis Bali yang terkenal nekat kalau bikin promo. The Forge buka 24 jam (selama pandemi menyesuaikan), konsepnya adalah gastropub. Gedungnya seperti sports bar, genre restoran yang juga perlahan menghilang dari panggung kuliner Jakarta. Suasana riuh rendah, atapnya tinggi, birnya cap Kura-Kura khas Bali. Promonya luar biasa: setiap Sabtu fresh oyster hanya Rp10K, setiap minggu Sunday Roast Rp149K dapat Roasted Australian Rib atau Crispy Pork!

 

Ribeye steak with mushroom sauce

 

Kami datang hari Selasa, di mana promonya adalah diskon 50% untuk semua makanan. Kami memesan ribeye steak: dipotong dari rusuk sapi, empuk mandraguna. Dipanggang “medium”, sehingga masih merah ketika dipotong, dengan kentang tumbuk dan kentang goreng. Dagingnya segar, kualitas baik, dipanggang dengan pas plus ada aroma rosemary yang membuat lapar. Sausnya saus jamur, sedap nian! Lalu kami coba oysternya. Konon asalnya dari Lombok, segar dihidangkan dengan es dalam suhu rendah. Teksturnya lembut, tidak amis, segar dibubuhi perasan jeruk lemon. Mak nyus! Kenapa kok susah banget cari yang begini di Jakarta? Dengan diskon 50% maksudnya! Hehehe...

 

Fresh Lombok oyster

 

The Forge Bali

@forgebali

Jl Petitenget 43C

Bali

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia.

 

 

Teks & Foto: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin)
Comment