Bicara soal tenun ikat, Lamongan memang kurang familiar. Selama ini Lamongan hanya dikenal karena kuliner Soto Koya atau wahana Wisata Bahari Lamongannya saja. Namun siapa sangka, di Desa Parengan Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan terdapat pusat kerajinan tenun ikat tradisional. Keberadaan kerajinan ini memang kurang menggema, seakan produksi tenun ikat hanya didominasi daerah luar Jawa seperti Toraja, Nusa Tenggara Barat atau Nusa Tenggara Timur.
Baca juga: "Pantai Lorena, Alternatif Wisata di Lamongan"
Meski kalah pamor, tenun ikat Lamongan tak bisa dipandang sebelah mata, sebab tenun khas Jawa Timuran ini ternyata bisa tembus hingga Timur Tengah seperti Irak, Mesir dan Arab Saudi. Selain benang sebagai bahan utama, yang membedakan tenun buatan Lamongan dengan tenun buatan Toraja terletak pada zat warna yang dipakai. Jika tenun Toraja memakai zat warna alami, lain halnya dengan tenun Lamongan yang lebih memilih zat warna bahan kimia. Ini disebabkan karena zat warna bahan kimia lebih awet dan cepat meresap.
Sementara untuk benang sendiri memakai benang berkualitas dari Cina dan India jenis stafel fiber, mercerized dan yang paling bagus adalah sutera. Adapun dipilihnya benang dari luar negeri karena benang dalam negeri menghasilkan kain tenun yang kurang memuaskan.
Proses pembuatannya pun masih jauh dari kata modern, di mana masih menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) supaya kesan tradisional tetap melekat. Biasanya untuk menyelesaikan 1 helai kain tenun pengrajin membutuhkan waktu 1 sampai 2 hari.
Supaya lebih menarik, tiap helai kain tenun ikat biasanya dimodifikasi dengan songket. Jenis benang dan model rajutannya pun berbeda. Pada bagian songket menggunakan benang berwarna emas atau perak supaya terlihat lebih berkilau, sementara model rajutannya seperti benang timbul.
Show room sederhana
Di Desa Parengan terdapat show room tenun ikat yang letaknya di Jalan Raya Pangkatrejo. Tempat ini berupa bangunan sederhana dari kayu dan di dalamnya tersedia sejumlah alat tenun tradisional. Para pengrajin adalah pria rata-rata berusia di atas 60 tahun yang bekerja penuh kejelian dan ketelatenan. Urusan motif, mereka masih mengandalkan motif Gunungan dengan harga yang ditawarkan berkisar antara Rp150.000 hingga Rp250.000 atau tergantung bahan dan motif yang dipilih. Harga ini jauh lebih murah ketimbang tenun ikat yang sudah disetor di butik atau toko kain modern.
Sebenarnya awal mula berkembanganya kerajinan tenun ikat di Desa Parengan tak bisa dipisahkan dari peran besar Pak Suwomiharjo. Dia adalah warga Desa Babat, Kecamatan Babat yang pertama kali mempopulerkan seni menenun lewat yayasan bentukannya yang bernama Yayasan Purwokriyo pada tahun 1924. Semenjak itu banyak warga Desa Parengan yang memutuskan pergi sejauh 35 km menuju Desa Babat guna mencari ilmu di yayasan tersebut. Ironisnya, saat ini di Desa Babat sendiri tidak tersisa satu pun pengrajin tenun ikat, kontras dengan Desa Parengan yang awalnya hanya berguru justru kini menjadi pusat kerajinan tenun ikat di Lamongan.
Baca juga: "Ini Bukan Babat Makanan, Tapi Kota Tua yang Terlupakan"
Bagi kolektor tenun ikat, rasanya tidak lengkap kalau belum memiliki tenun ikat Lamongan. Tempat ini bisa diakses dari Bandara Juanda Sidoarjo Surabaya dengan jarak berkisar 100 km atau kurang lebih 2,5 jam berkendara.