Penampakan ladang garam dari jauh, mirip radar bukan?
Saya sulit mempercayai apa yang ada di depan mata saya. Seperti berada dalam film-film mafia ala Nikaragua, sebuah villa megah milik El Chapo. Di depan sana, ombak berdeburan, menghantam pantai berbatu yang hitam legam. Di sebelah kiri, hamparan kolam renang bergaya modern, dengan atap pergola cantik. Di belakangnya lagi, deretan villa berdesain kotak-kotak avant garde, dengan sebuah private pool di sisi depannya. Yang kurang dibanding punya El Chapo beneran hanya absennya cewek-cewek seksi berbikini warna-warni! Wkwk. Maklum pandemi, jadi hotelnya agak sepi.
Saya berada di Hotel The Tiing, Tejakula, salah satu desain kamar terbaik yang pernah saya lihat. Kamar luas dengan plunge pool, bisa mandi luar dalam karena kamar mandinya ada dua, di luar dan di dalam, hehe. Matahari baru saja terbit, angin dingin pagi berganti hangat. Pengen leyeh-leyeh, tapi saya tidak boleh bermalas-malasan. Di timur sana, pekerjaan sudah menunggu!
Baca juga: “Harta Terpendam di Danau Buyan”
“Dekat, Mas, sama Tiing, jalan saja menyusur pantai ke timur, nanti sampai!” terngiang kata-kata Chef Yudi alias Jero Mangku Yudi. Mungkin menurut beliau dekat tapi... dasar kaki saya kaki kota! Biasa jalan di Mall Aeon atau Qbig saja, wkwk. Telapak kaki saya sakit menginjak kerikil pantai dan dihantam ombak yang makin meninggi. Sejak permisi tadi pagi, mentari langsung nyosor nggak tahu malu, membuat keringat saya mengucur deras. Duh, kapan nyampenya ini?
Saya hampir memanggil Go-Boat (ada kali?) ketika jalan mendadak rata berbeton dan membawa saya ke sebuah pemandangan aneh. Kalau Erich von Daniken melihat ini, pasti beliau menduga warga Tejakula ini sedang membangun radar parabola dengan panel pembangkit tenaga surya! Terlihat empat petak tanah dengan luas masing-masing kira-kira 6 x 6 meter, dengan sebuah cekungan mirip antena parabola di tengah yang disangga batang-batang kayu. Di sebelahnya, jajaran batang pohon kelapa yang dibelah dua, nampak berkilau putih di bagian tengahnya. Apa ini? Solar cell?
“Halo, Mas Harnaz!” sapa Jero Mangku Yudi dengan topi putih khasnya. “Beginilah kami membuat garam di desa!” katanya. Saya pun mulai mewawancarai salah satu pembuat garamnya. “Saya tidak punya apa-apa, Pak, hanya sewa tanah saja untuk buat garam...” katanya. Padahal, beliau adalah ahli kimia anorganik!
Baca juga: “Les is More! More! More! Bagian 2: Sentra Produksi Desa”
Bayangkan: tugasnya menghasilkan garam dari air laut! Kadar asalnya kira-kira 35 gram garam per 1 liter air, dan beliau bisa menghasilkan 10 kg garam dalam 3 hari, yang artinya memproses air laut sebanyak kira-kira 100 liter per hari (kira-kira 5 tabung galon air). Apakah air laut sebanyak itu dijemur saja lalu menguap dan tinggal tersisa garamnya? Hmmm… tidak semudah itu, Ferguso!
Bayangkan selama matahari kuat katakanlah 6 jam sehari, harus menjemur air dari 5 galon sampai kering. Gimana caranya? Nah, supaya cepat, kuncinya ada di radar parabola tadi. Petani garam Tejakula sudah melakukan yang namanya “seeding” alias pembibitan garam. “Pertama, air laut saya siramkan ke dua petak yang di atas,” kata si Bapak menjelaskan. “Lalu, dari sini setelah lembab, tanah diambil dan dimasukkan ke wadah cekung ini, persis seperti kopi V60,” kata Chef Yudi menyambung. Parabola tersebut dasarnya berlubang, atasnya diisi pasir sebagai saringan. Ketika lumpur garam ditekan dari atas, maka ke bawahnya akan mengalir air dengan kadar garam tinggi yang sudah tersaring dari kotoran. Kemudian, air garam kental ini disebarkan ke kolam dangkal tapi lebar, sebagai “bibit” kristal garam sehingga proses kristalisasinya lebih cepat. Jenius!
“Radar garam” dari dekat
Menuangkan bibit kristal garam
Lalu apa gunanya batang pohon kelapa yang dibelah dua itu? Rupanya, cara tradisional adalah menggunakan wadah bagian tengah kayu kelapa sebagai wadah dangkal tempat menguapkan air. Nanti garamnya menempel berkilauan seperti kulit lumpia. Metode lainnya adalah dengan menggunakan kolam berdasar kedap air, lalu membiarkannya kering. Bagaimana rasanya? Apakah berbeda dengan garam biasa?
Garam pada batang kayu kelapa
Saya mengambil sejumput, wow! Garam laut seperti ini memang beda rasanya. Lebih kaya, lebih metallic, karena kandungan logam laut memang lebih kaya sehingga tidak hanya sodium/natrium seperti pada garam meja. Belum lagi, kandungan mineral seperti kalsium karbonat yang ikut terbawa. Memang, tiap daerah penghasil garam punya rasa khas karena tergantung dari kandungan mineral di lautnya. Dan ada satu rasa lain: rasa matahari Tejakula yang cerah merona!
Garam laut produksi Dapoer Bali Moela Tejakula
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.