Busselton Jetty
Perusahaan tempat sewa camper van kami namanya Britz, yang punya cabang di Great Eastern Highway Perth dekat bandara. Kebetulan kami dapat upgrade sehingga mendapat mobil kelas Maui, dengan basis Mercedes Sprinter 2000 cc dan gearbox 7-tronic automatic. Menyetir mobil ini mengingatkan saya bahwa Mercedes Benz bukanlah sekadar gaya, tapi juga produsen mesin yang andal dengan gearbox yang nyaman. Booking dilakukan melalui website Britz, sehingga mbak yang menerima kami hanya menyiapkan kontrak dalam bentuk pdf. Setelah memeriksa mobil, kami pun siap jalan.
Camper van kami, mobil kelas Maui
Kami memesan dua mobil: saya dengan “4 berth” alias kapasitas 4 orang, sementara teman saya 2 orang. Versi 2 orang menggunakan karoseri asli Sprinter yang interiornya dimodifikasi dengan 2 kasur di belakang, kursi plus meja, kompor, oven kecil, wastafel, lemari es, dan toilet. Sementara versi 4 orang punya 4 tempat duduk dengan seat belt, ranjang susun 2 di atas dan 2 di bawah, dengan karoseri khusus yang lebih tinggi (3,6 m) dan lebar. Setiap mobil dilengkapi TV, kulkas, piring gelas sendok garpu, panci-panci, dan gelas wine! Bahkan versi 4 orang punya atap tenda yang bisa dibuka di sebelah kiri. Mantap! Masih panjang lagi kelengkapannya: ada grill barbecue di sisi kiri mobil yang bisa dibuka seperti laci, 4 kursi lipat, pemanas air, dan sistem “kaset” untuk menampung buangan WC. “Tapi kalau bisa di dalam mobil buang air kecil aja, jangan yang besar… nanti pas dikurasnya bau,” kata teman saya. Padahal, sudah ada serbuk khusus anti bau dan pemecah limbah padat. Well, kalau si kecil kepepet, bolehlah dipakai!
Camper van kami punya atap tenda yang bisa dibuka di sebelah kiri
Pasang atap tenda dan meja kursi
Penampakan dalam camper van
Perjalanan kami dimulai dengan berkendara melalui Kwinana Freeway --bukan “Kwitang-Kebon Nanas”, tapi jalan tol yang namanya berarti “gadis cantik” dalam Bahasa Aborigin. Jalan tol ini terbentang sepanjang 72 km dan boleh dibilang sebagai “Jagorawi”-nya Perth. Tujuan kami: Busselton, yang jaraknya 221 km dari Perth. Kwinana yang disebut “freeway” kemudian berubah menjadi “highway” alias jalan biasa. Herannya, tidak seperti turunan MBZ di Tol Japek, tidak ada antrean panjang --lemesin aja shay! Maui meluncur mulus menuju Busselton, sampai kami tiba di bundaran menuju sebuah kota kecil yang rapi, dengan langit biru membentang cerah dan indah. “Welcome to Busselton” kata teman kami melalui HT.
Welcome to Busselton
Busselton Jetty
Tujuan kami: Shelter Craft Brewery! Sebagai pegiat Fermentasi Nusantara termasuk bir kriya (craft beer), tentu saja ini menarik buat saya. Ini adalah model bisnis memproduksi bir skala kecil di lokasi yang sekaligus jadi outlet, sehingga birnya fresh --seperti Black Sand Brewery Canggu. Posisinya persis di depan Busselton Jetty --sebuah dermaga yang menjorok jauh ke lautan, dengan rumah pantai berwarna biru cerah yang sepadan dengan langitnya. Sunset di sini pasti ciamik! Kami pun memesan sampler --tiga jenis bir plus pizza margherita dan tuna, serta kudapan yang disebut “corn popper”. ALERT: inilah pizza paling enak selama kami di Aussie! Terutama pizza tunanya: daging tuna berlimpah dan segar, dengan bawang bombay dan buah zaitun. Aduh, sedap! Racikannya pas, bukan asam segar ala Italia, tetapi mirip selera mediteranea yang gurih dan bawang membawa tekstur kranci renyah bikin ketagihan. Rotinya jangan ditanya: kenyal, empuk, garing di luar, lembut di dalam. Mak nyus! Yang disebut “corn popper” ternyata adonan jagung digoreng mirip perkedel jagung tapi cenderung bantet dengan saus manis madu. Boleh juga!
Busselton Jetty --sebuah dermaga yang menjorok jauh ke lautan, dengan rumah pantai berwarna biru cerah
Suasana Shelter Craft Brewery
Pizza margherita
Pizza tuna
Corn popper
Bagaimana dengan birnya? Karena diminta memilih 4 jenis, saya pilih yang paling ekstrem: Summer Sour (sour beer alias bir asam, sejenis Naganini Kulturale atau Lime Gose Tenggara), India Pale Ala (IPA, hardcore pahit dengan alkohol 6,8% seperti Madja Kulturale atau Kura-Kura Hijau), Hazy (bir keruh ala Jerman), dan Paradiso Pale --kreasi Shelter kolaborasi dengan brand Paradiso Surf. Rasanya gimana? Citarasa bir kriya memang biasanya mewakili selera sebuah bangsa, karena diproduksi skala kecil dan dibuat sesuai keinginan pasar. Dibanding Indonesia, semuanya terasa sangat ringan di lidah saya: IPA-nya tidak terlalu beraroma wangi, pahitnya pun sopan sekali bagaikan ortu ketemu calon menantu. Paradiso yang saya harapkan bombastis juga terasa ringan, sehingga yang menurut saya paling cocok adalah Summer Sour. Bir dengan tarikan rasa asin/asam, cocok sekali mendampingi pizza tuna yang dagingnya banyak dan cenderung berminyak. Rasa pahit dari zaitun berpadu dengan sedikit pahit dari bir, tarikan asam dan soda membawa kesegaran di mulut membuat kita siap menyantap sepotong lagi. Rupanya, ada jiwa Inggris dalam selera Shelter, yang suka dengan citarasa lembut. Nggak seperti lidah Indonesia yang biasa ketemu terasi dan jengkol. Cakep!
4 jenis bir
Setelah makan, sementara anak-anak bermain di playground (sebuah budaya Aussie selain barbecue --nanti kita lanjutkan ya cerita soal ini!), saya berjalan mendekat ke Busselton Jetty sambil menikmati hawa sore yang adem dan matahari yang sudah condong ke barat. Laut biru membentang, air bening bak kristal peramal, tapi nggak ada yang berenang karena airnya dingin. Saya memperhatikan bahwa ada empat tiang bendera di setiap lokasi resmi: bendera Australia, kemudian bendera Australia Barat dengan simbol “Angso Ciek” (alias angsa satu; kalau angso duo lambang Provinsi Jambi, beda nasib!), bendera Pelangi yang melambangkan tekad untuk tidak mendiskriminasi kaum LGBT, dan satu lagi: bendera merah-hitam dengan bulatan kuning di tengah. Itu bendera apa? “Sejak Perdana Menteri Kevin Rudd, Australia mengakui kepemilikan warga Aborigin sebagai penduduk asli di sini. Dia yang berani bilang ‘We are sorry’ --dan bendera itu adalah simbol pengakuan budaya Aborigin di seluruh Australia,” kata teman saya. Wow, hebat, perdana menteri minta maaf! Kalau di kita kayaknya presidennya sering kaget, tapi jarang minta maaf… wkwkwk!
Laut biru membentang di Busselton Jetty
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.