Stupa Buddha di Choeung Ek Genocidal Center
Hampir setiap negara memiliki sejarah hitam kemanusiaan, baik itu akibat perang atau berkuasanya suatu rezim. Bagi negara Kamboja, sejarah hitam itu terjadi pada masa Communist Party of Kampuchea (CPK) berkuasa tahun 1975-1979. Anggota partai komunis ini sering disebut Khmer Merah (Khmer Rouge). Selama berkuasa, rezim Khmer Merah diperkirakan telah membunuh 1,7 hingga 3 juta penduduk Kamboja, atau hampir sebanyak 25% dari populasinya saat itu.
Rezim yang dipimpin Pol Pot ini berbentuk autokrasi yang sangat paranoid, takut akan perbedaan (xenophobia) dan represif. Banyak kaum profesional (terutama guru), pemimpin agama dan intelektual yang dibunuh pada zaman itu, serta hampir seluruh penduduk Kamboja dipaksa untuk bertani dan dipindahkan ke pedesaan. Salah satu bukti kekejaman rezim Khmer Merah ini dapat kita lihat di Tuol Sleng Genocide Museum dan Choeung Ek Genocidal Center di Phnom Penh, ibu kota Kamboja.
TUOL SLENG GENOCIDE MUSEUM
Tuol Sleng Genocide Museum terletak di tengah kota Phnom Penh. Awalnya merupakan sekolah menengah biasa (Tuol Svay Prey High School), lalu diubah menjadi Security Office 21 atau S-21. S-21 ini merupakan penjara sekaligus tempat interogasi.
Sekolah Tuol Svay Prey High School yang diubah menjadi penjara dan tempat penyiksaan S-21
Tuol Sleng Genocide Museum terdiri dari 4 gedung utama (A, B, C, D) dan seluruh tembok luarnya dulu dikelilingi kawat listrik berduri. Diperkirakan lebih dari 20.000 orang dipenjara dan disiksa di sini. Kelas-kelas yang tadinya digunakan untuk belajar diubah menjadi tempat-tempat penyiksaan dan sekat-sekat (sel) yang sangat sempit sebagai penjara. Masih terdapat ranjang besi dan rantai serta bercak-bercak darah di beberapa ruangan kelas bekas ruangan interogasi.
Ruang kelas yang berubah menjadi tempat penyiksaan, masih ada ranjang besinya
Walaupun peristiwa penyiksaan ini sudah berakhir sejak 1979, suasana museum dan lingkungannya masih sangat mencekam, terutama jika kita berjalan perlahan menyusuri satu-satu ruangan demi ruangannya sambil mendengarkan audio guided tour.
Lorong mencekam di lantai 2 Gedung A
Salah satu yang paling mencekam bagi saya adalah gedung yang bagian luarnya pun dikelilingi dan tertutup kawat berduri. Kawat berduri ini ternyata untuk mencegah para tahanan melakukan bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari atas gedung akibat tidak tahan penyiksaan yang dilakukan para interogator. Penduduk yang ditahan di sini bukan hanya orang dewasa, para anggota keluarga tahanan (pasangan, saudara, orang tua, anak kecil dan bayi) juga ikut ditahan. Karena rezim ini berprinsip jika mencabut rumput, harus hingga ke akarnya, jadi jika satu orang yang bermasalah, seluruh anggota keluarganya harus turut ditahan.
Bangunan yang dikelilingi kawat berduri untuk mencegah para tahanan melakukan bunuh diri
Bukan hanya warga Kamboja, warga negara asing juga ditahan dan dibunuh di sini. Tercatat sebanyak 488 orang Vietnam, 31 orang Thailand, 4 orang Prancis, 2 orang Amerika Serikat, 2 orang Australia serta masing-masing 1 orang warga negara Arab, Inggris, Kanada, New Zealand, dan Indonesia dipenjara di sini. Ada juga saksi yang mengatakan ada warga negara Swiss dan Kuba, tetapi tidak tercatat. Banyak juga penduduk Kamboja keturunan Pakistan dan India ikut dipenjara. Pada tahun 1979 saat Pasukan United Front National Salvation of Kampuchea and Vietnamese menghentikan kekuasaan Rezim Khmer Merah, hanya 12 orang (termasuk 4 anak-anak) yang berhasil keluar hidup-hidup dari Penjara Tuol Sleng.
Gedung A, tempat penyiksaan bagi tahanan/pejabat kelas tinggi
Jangan lupa juga naik ke lantai 2 gedung D, ruang tempat pemutaran film dokumenter. Lalu di halaman museum Tuol Sleng terdapat menara memorial dan tempat penjualan buku-buku tentang kekejaman Khmer Merah. Seorang bapak saksi hidup duduk di dekat tempat penjualan buku, dia akan menjelaskan bagaimana dia ditangkap, disiksa, keluarganya dibunuh. Dia berulang kali menegaskan sejarah hitam ini tidak boleh terulang kembali. Setiap tahun sejak 1979 di Tuol Sleng diadakan PCHUM BEN DAY (antara tanggal 17 September hingga 2 Oktober) yang merupakan acara resmi pemerintah Kamboja dan para bhikshu untuk mendoakan para arwah.
Museum buka mulai pukul 08.00-17.00. Saya menyarankan sebaiknya datang ke museum ini agak siang, agar suasana creepy-nya berkurang. Tiket masuk untuk warna negara asing dewasa USD5, untuk anak (10-18 tahun) USD3 dan biaya audio guide USD3. Pengunjung diharapkan bersikap hormat, sopan dan tidak membuat keributan selama berkunjung ke museum ini.
Baca juga: “Shopping Murah di Bangkok, Singapura, Vietnam, Kamboja”
CHOEUNG EK GENOCIDAL CENTER
Sekitar 17 km ke arah selatan dari pusat kota Phnom Penh, terdapat Choeung Ek Genocidal Center yang merupakan salah satu dari banyaknya ladang pembantaian massal (killing fields) di seluruh Kamboja. Awalnya Choeung Ek adalah pemakaman Cina biasa, tetapi pada masa rezim Khmer Merah berkuasa, pemakaman ini diubah menjadi tempat penyiksaan, pembunuhan dan kuburan massal.
Kita harus bersikap hormat, tenang, dan tidak ribut selama berjalan mengitari Choeung Ek sambil mendengarkan audio guide. Di tengahnya terdapat gedung memorial stupa Buddha yang tinggi dan berisi susunan lebih dari 800 tengkorak manusia. Tengkorak ini merupakan hasil penggalian dari kuburan massal setelah berakhirnya rezim Khmer Merah. Banyak tengkorak yang rusak akibat penyiksaan dan pembunuhan. Alat-alat penyiksaan dan pembunuhan juga disimpan di sini.
Gedung memorial Stupa Buddha
Susunan rapi lebih dari 800 tengkorak dari kuburan massal di Choeung Ek
Dengan mendengarkan audio guide dan berjalan mengelilingi Choeung Ek, kita jadi semakin geram dan ngeri akan kekejian rezim Khmer Merah. Tercatat antara tahun 1975-1978 perempuan, anak-anak dan laki-laki sebanyak 20.000 orang dipindahkan dari penjara Tuol Sleng ke Choeung Ek untuk dieksekusi. Dikatakan bahwa agar suara para tahanan yang sedang disiksa atau dibunuh tidak terdengar, dinyalakanlah lagu-lagu rakyat Kamboja keras-keras melalui speaker. Mayat-mayat dibuang begitu saja dalam lubang besar yang digali oleh para tahanan itu sendiri.
Baca juga: “Ingin Merasakan Jadi Orang Lokal? Inilah Hal-Hal yang Harus Anda Lakukan”
Banyak kuburan massal yang tidak digali di sini dan dibiarkan seperti apa adanya. Hingga beberapa tahun kemudian, masih sering ditemukan sisa-sisa gigi, pakaian, rambut, tengkorak para tahanan yang tiba-tiba muncul begitu saja di permukaan. Kadang untuk menghemat amunisi, banyak tahanan yang dibunuh dengan cara dihancurkan kepalanya, diracun, ditusuk dengan besi atau bambu runcing.
Sisa tulang-tulang manusia di kuburan massal yang tidak digali
Yang paling membuat saya bergidik adalah cara mereka membunuh bayi dan anak-anak, yaitu dengan melempar ke udara lalu menembaknya dari bawah atau menghantamkan kepala mereka ke batang pohon besar. Sesudah dibunuh dengan keji, anak-anak dan bayi malang itu dilempar ke dalam kuburan bersama orang tuanya. Mengapa anak-anak dan bayi tak berdosa itu dibunuh? Agar mereka kelak tidak dapat membalas dendam. Sungguh… sungguh kejam.
Bayi dan anak-anak dihempaskan kepalanya di pohon ini hingga tewas
Di dekat pintu masuk Choeung Ek terdapat museum kecil yang berisi tentang para pemimpin rezim Khmer Merah dan pengadilan serta hukuman yang dijatuhkan kepada para pemimpin itu. Ironisnya, pemimpin utamanya, Perdana Mentri Democratic Cambodia yang berkuasa tahun 1975-1979 yang sangat kejam yaitu Pol Pot hanya diberikan hukuman tahanan rumah di daerah perbatasan Kamboja-Thailand. Tanggal 15 April 1998 Pol Pot meninggal akibat serangan jantung di usia 72 tahun, tetapi rumor mengatakan dia bunuh diri atau diracun.
Setiap tanggal 20 Mei dilaksanakan Memorial Ceremony di Choeung Ek untuk mendoakan dan menghormati para arwah yang kehilangan nyawanya di sini. Biaya masuk ke Choeung Ek Genocidal Center bagi warga negara asing USD3 dan sewa audio guide USD3. Karena letaknya tidak di pusat kota, saya menyarankan untuk menyewa kendaraan ke sini dari Phnom Penh.
Pintu masuk Choeung Ek Genocidal Center
Setelah berkunjung ke kedua tempat ini, saya jadi berpikir apa sih yang merasuki pikiran para eksekutor saat melakukan penyiksaan dan pembunuhan terhadap tahanan dan anak-anak tak berdosa? Apakah hingga kini para eksekutor itu masih bisa hidup dengan tenang tanpa terngiang peristiwa keji yang mereka lakukan? Mendadak semilir angin di Kamboja seperti membawa nyanyian sendu para korban kekejian lebih dari 40 tahun yang lalu di telinga saya.