Pemandangan ke arah pusat kota Jayapura dari Bukit Pemancar
Kepergian seorang teman untuk selama-lamanya yang begitu mendadak membangkitkan lagi kenangan saya akan Kota Jayapura. Di ibu kota Provinsi Papua inilah saya sempat bertemu kembali dengannya setelah sekian lama tak bersua. Jayapura kota yang cantik, secantik wajah dan hati teman saya itu. Pantas dia betah menetap di sana, sampai akhir hayatnya.
Jayapura mungkin bukanlah kota tujuan populer bagi pejalan domestik. Bagi saya pun awalnya demikian. Saya dan beberapa teman singgah ke Jayapura pada September 2016 karena bertujuan ke Lembah Baliem, salah satu destinasi impian banyak orang. Untuk ke Lembah Baliem tentu kami harus terbang ke Jayapura dulu, lalu lanjut terbang ke Wamena. Dari Wamenalah perjalanan ke Lembah Baliem dimulai. Saya telah menuliskan pengalaman eksplor Lembah Baliem, silakan dibaca di sini.
Tentu banyak objek menarik di Kota Jayapura dan juga Kabupaten Jayapura dengan ibu kotanya Sentani. Di antaranya yang sudah saya kunjungi Pantai Holtekamp (sejak Oktober 2019 sudah ada Jembatan Holtekamp), Bukit Pemancar Jayapura City, Restoran Yougwa dengan sajian gastornya (gabus toraja), Tugu MacArthur, Danau Sentani, Pasar Hamadi, Danau Love (Telaga Imfote). Plus melipir sedikit dari Kota Jayapura ke Distrik Muara Tami, tepatnya ke Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw yang berbatasan dengan Papua Nugini.
Danau Love di Kabupaten Jayapura
Gedung PLBN di Skouw, Distrik Muara Tami
Pusat kota Jayapura berada di Kecamatan Jayapura Utara yang menghadap Teluk Yos Sudarso. Berkesan banget bagi saya ketika sore hari kami nongki-nongki cantik di Bukit Pemancar TVRI yang bercirikan tulisan besar Jayapura City. Semilir angin dan rimbun pepohonan di sini membuat siapa pun betah berlama-lama. Apalagi dari tempat tinggi ini kita bisa melihat tanpa batas ke sebagian kecil Teluk Yos Sudarso dengan pulau-pulau kecil di antara lautan biru, dan dengan pesisir yang dipadati bangunan.
Menikmati sore di Bukit Pemancar
Pemandangan Kota Jayapura dari Bukit Pemancar
Salah satu kawasan padat yang persis berada di hadapan bukit ini adalah kawasan yang dikenal dengan nama Dok II (dua) di Jayapura. Di situlah pusat keramaian dan kehidupan malam yang bersahaja di Jayapura. Tiga malam di Jayapura kami makan malam di tempat berbeda di Dok II yakni Blue Cafe yang ada live music-nya (selain lagu Top 40, dinyanyikan juga lagu-lagu pop lokal yang sampai sekarang masih saya ingat), Adonai Cafe (sang empunya pasangan romantis yang dikenalkan ke saya oleh teman baik, dan kini keduanya menjadi teman saya juga), dan Duta Cafe. Dari area belakag kafe yang terbuka di Blue Cafe dan Duta Cafe kita bisa melihat tulisan Jayapura City dan tanda salib yang berada di atas Bukit Pemancar. Pantulan-pantulan cahaya lampu di riak air teluk menambah indahnya suasana.
Jayapura di waktu malam
Saya berbincang hangat dengan Grace Marlyn, teman saya itu, didampingi 2 teman perjalanan saya, di Duta Cafe. Raut wajah dan postur Grace tak berubah seperti yang saya ingat saat kuliah dulu, tetap langsing dan cantik. Keceriaannya pun tak berkurang. Senang rasanya bisa memenuhi janji bertemu dengannya di Jayapura.
Saya dan Grace
Baca juga: "Jangan Lewatkan Upacara Bakar Batu Kalau ke Wamena"
Malam itu kami mengantar Grace pulang ke rumahnya, dan esoknya kami pun kembali ke Jakarta. Itu memang bukan pertemuan terakhir saya dengan Grace. Saat ke Jayapura kedua kalinya Desember 2017 memang saya tak sempat menemui Grace. Tapi November 2018 kami kembali bertemu di Jakarta. Lagi-lagi Grace mentraktir saya (kami, teman-teman seangkatan kuliah di Sastra Rusia UI). Siapa nyana kalau itu adalah kali terakhir kami berjumpa Grace. Dia pergi begitu cepat. Ah, Jayapura pasti tak akan sama lagi tanpa Grace.... Selamat jalan sahabatku... Damailah kau di sana.