Sambil menuruni curug sambil melihat pemandangan
Ngetrip itu harusnya senang-senang, bukan susah-susah apalagi sengaja cari susah…. Itu pendapat umum, memang. Tapi justruuuu…. sebagian orang malah merasakan kenikmatan dari aktivitas yang susah-susah, tepatnya yang memacu adrenalin. Dan sebagian orang itu adalah teman-teman saya yang tergabung dalam Grup Trippers, yang saling mengenal lewat trip-trip yang diadakan MyTrip sejak 7 tahun lalu.
Para adrenaline junkies bersiap canyoning
Sejak saya mencoba canyoning awal Oktober 2021 di Curug Cidulang Rawa Gede Jonggol Bogor atas undangan Kazana Wisata, dan saya membagikan pengalaman itu lewat artikel di sini, para peminat pun langsung tunjuk tangan.
Nggak pake lama terkumpullah 10 peserta yang sepakat pergi tanggal 8-9 November 2021. Sayang, karena curah hujan sangat tinggi kala itu, trip dijadwal ulang. Pada jadwal kedua 24-25 Januari 2022 kami memutuskan mundur lagi karena ya cuaca, ya Omicron, ya gempa.
Untunglah akhirnya happy ending pada tanggal 28-29 Maret 2022. Canyoning trip ini berjalan lancar, meskipun kedatangan kami ke basecamp Kazana di Rawa Gede sangatlah molor karena macet cet cet cet di kawasan Cibubur dan Cileungsi --rute yang kami ambil.
HARI PERTAMA DUA CURUG DARI SEHARUSNYA TIGA
Dalam paket trip dua hari yang saya susun dengan berbagai pertimbangan bersama Kang Iting dari Kazana, harusnya di hari pertama kami menjajal 3 curug di aliran Curug Cidulang. Hari kedua satu curug pamungkas yang tingginya 85 m, Curug Cibeureum. Tapi gegara tiba di Rawa Gede sekitar pukul 11 siang padahal targetnya 8.30, saya memutuskan skip curug pertama yang paling ringan dan pendek yang tadinya dimaksudkan untuk latihan. Karena 11 peserta semuanya sama sekali belum pernah canyoning, baiknya sih latihan dulu di curug yang hanya +/-6 m.
Ice breaking dulu sebelum memulai kegiatan
Tapi kalau tetap memulai dari curug pertama, curug ketiga yang justru lebih tinggi nggak akan keburu. Untunglah semua peserta sudah terbiasa melakukan aktivitas outdoor lainnya, jadi walaupun kegiatan dimulai langsung di curug kedua setinggi +/-15 m yang awalannya agak menyulitkan, semua bisa melewatinya dengan mudah. O ya, tentu sebelum aktivitas kami mendapatkan briefing singkat dari tim Kazana yang diwakili Kang Zul.
Briefing dulu
Wajah-wajah tegang di awal kegiatan di curug setinggi 15 m
Tantangan curug kedua di aliran Cidulang, tingginya 15 m. Anggap aja latihan dulu
Peserta paling senior
Susur sungai kemudian menuju curug utama Cidulang, nggak mudah, butuh kehati-hatian. Beberapa orang terpeleset tapi masih terkendali. Meskipun nggak gampang dan melelahkan, tapi kami excited!
Curug Cidulang setinggi +/-30 m (atau 25 m?) kami turuni tidak dengan rappeling tapi flying fox. Karena memang nggak memungkinkan rappeling di sini. Debit airnya sangat deras, bahkan saat debit air secara keseluruhan di bulan Maret sebenarnya nggak besar-besar amat. Tantangan di curug ini ya cuma saat hendak melepaskan badan dari mulut curug. Selebihnya, santai….
Santai menuruni Curug Cidulang dengan cara flying fox
Curug Cidulang ini airnya terlalu deras, nggak bisa dituruni dengan rappeling
Bahagia dan lega setelah melewati tantangan hari pertama
Menginap di sebuah vila di atas Situ Rawa Gede
HARI KEDUA: DREDEG DI ATAS CURUG SETINGGI 85 M
Semua mules dan dredeg membayangkan mesti menuruni curug yang sangat tinggi, termasuk saya. Karena saat Oktober 2021 saya nggak sempat menjajal Curug Cibeureum ini.
Pagi hari kedua, mulai dredeg, tapi keberanian harus dikumpulkan
Tantangan sudah dimulai sejak dari camping ground di mana kami mulai mengenakan wearpack dan harness, melintasi jalur trekking yang uwwooohh sulitnya. Akang yang memimpin jalan kami pun harus babat alas, membuka jalan yang rimbun tertutup tumbuhan dengan parang. Ada di beberapa ruas di mana jalanannya hanya selebar +/-25 cm, dengan kiri tebing bersemak dan kanan jurang bersemak, dan konturnya naik-turun. Agak ngeri siih… dan nggak pake sedap, haha.
Trekking menuju puncak Curug Cibeureum
Hingga tibalah kami pada jalur longsor. Sebelum mencapai titik itu, ada tali pengaman dipasang dan kami harus mencantelkan kostel. Tebing longsoran setinggi +/-6 m itu harus kami lewati dengan rappeling. Itung-itung latihan. Dari situ kembali kami harus susur sungai hingga sampai di bibir curug.
Rappeling di jalur longsor
Tambah dredeg. Saya nggak berani membayangkan kalau sampai ada peserta yang takut dan memutuskan batal turun. Waduh, baliknya pasti setengah mati. Siapa yang nemenin? Semua kru Kazana sudah menempati posisinya masing-masing: di atas curug, di tengah alias tempat transit, dan di dasar curug.
Saat menunggu di atas Curug Cibeureum. Terpaksa berani, walaupun takut, daripada turun lagi melalui jalur semula yang sulit
Ada bagusnya juga jalur menuju puncak curug susahnya minta ampun, jadi tak satu pun peserta yang berpikir untuk kembali turun lewat jalur itu. Jadi segentar apa pun, no way back, nggak ada pilihan: harus nurunin air terjun dengan tali, dengan canyoning! Terpaksa membuat berani, hihihi.
Selain jalur naik yang begitu susah, satu hal lagi yang di luar dugaan saya: ternyata makan waktu lama banget bagi tiap orang untuk menuruni curug satu-satu. Tiap orang memang beda kecepatannya. Tapi jarak antara satu orang turun hingga orang berikutnya siap turun itu 20-30 menit! Jadilah saya sebagai orang ke-12 baru bisa turun jam 4 sore lebih 10 menit! Saya sudah lelah bahkan sebelum turun.
Menahan lapar dan dingin di atas Curug Cibeureum, tapi tetap semangat pose-pose
Menahan lapar dan embusan angin dingin yang tambah menusuk menembus wearpack basah, itu menjadi tantangan tambahan buat peserta ke-6 sampai ke-12 yang jadwal turunnya sudah sangat melewati jam makan siang. Kami nggak siap bawa makanan. Untung ada teh manis penyelamat, meskipun satu termos kecil harus dibagi 5 orang! Wkwkwk… Dan di saat tersisa 3 orang, kami dapat kiriman biskuit Malkist, hanya 2 sachet mini untuk bertiga. Waaah…. itu biskuit paling berharga dalam hidup saya. Hahaha… Saya pun siap berdiri di bibir tebing dengan tali yang sudah dipasangkan Kang Egi.
Inilah serangkaian aksi kami saat menuruni Curug Cibeureum setinggi 85 m.
Bersiap di bibir curug
Transit dulu
Pose dulu
Nggak kepleset nggak seruuuu
Lega akhirnya sampai juga di bawah
AMAT BANGGA PADA DIRI SENDIRI
Di mobil HiAce yang membawa kami pulang, seru saling bertukar cerita apa yang dirasakan dan dialami.
“Gue kapok… Gila jalan ke atasnya aja serem banget di samping jurang!”
“Beneran kapok?” Hahahaha….
“Gue sih tadi nggak mau ngeliat-liat ke bawah.”
“Gue justru ngeliat ke bawah berulang kali. Sekali liat… Anjiiir masih jauh… Liat lagi, anjiiir masih jauh jugaaa…. Liat lagi, anjiiir tetap samaaaa…. Kapan sampenya???”
“Tangan pegel sumpah! Talinya berat banget!”
“Aku ya sampe teriak-teriak pas sudah di bawah. Antara sueneng dan cuapeeek poll…”
“Pas sampe bawah lihat ke atas curugnya, astajiiimm tinggi ajaaa….”
“Ada yang sama sekali nggak kepleset nggak tadi?”
“Nggak ada… semua kepleset, cuma beda-beda tempat dan gaya aja.”
“Kalo nggak kepleset justru nggak seru, nggak ngerasain gimana berjuang buat berdiri lagi.”
“Mungkin kalo kita ngelakuin ini di umur 20 nggak segini hebohnya ya… Lah ini kita udah kepala 5, bangga banget rasanya…” (Range umur kami 25 sampai 67, dengan terbanyak di usia kepala 5).
Saya sendiri, walaupun ini kali ke-4 canyoning, tapi baru kali ini merasakan kebanggaan yang bakal tak akan putus-putus diceritakan.
Berhasil menaklukkan rasa takut diri sendiri, memaksa diri hingga ke batas maksimal yang masih terukur, juga berhasil menyemangati diri untuk tidak menyerah, yakin bisa melewati dengan ketabahan sampai akhir. “Memaksimalkan keberanian sampai batas atas bahkan ARA --auto reject atas,” kata Dewi yang tadinya nggak terpikir ikut, tapi ternyata last minute memutuskan gabung, dan ternyata bisa!
Pulang dengan mengantongi rasa bangga
Setelah seminggu euforianya memang sudah meredup, tapi rasa bangganya masih tertinggal.
Kalian mau juga merasakannya? Hubungi saya di 0811821006 untuk sebuah keseruan yang terus hidup dalam memori.