Situs Liyangan di Temanggung
Setelah menonton Asisi Channel di Youtube mengenai Situs Liyangan (https://youtu.be/r5rg38l-wxc) saya jadi penasaran dengan situs ini. Lokasinya di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah, tapi bisa diakses dari Perkebunan Teh Tambi di Wonosobo. Setelah sebelumnya gagal karena cuaca tidak mendukung, di bulan Juli 2023 ini rupanya alam mengizinkan kami mampir ke Liyangan. Lanjut!
Baca juga: “Amazing Wonosobo (1) Perjalanan Menggapai Awan di Kledung Park”
Untuk ke Situs Liyangan, kita harus membelok kanan dari jalan utama Wonosobo-Dieng menuju ke Kebun Teh Tambi. Jika disetop untuk membayar tiket ke Dieng, bilang saja mau ke Temanggung! Maka mobil bisa lewat zonder bayar. Perkebunan Tambi berdiri tahun 1865 dengan nama “Bagelen Thee and Kina Maatschappij” yang kemudian menjadi NV Tambi dari tahun 1957 sampai sekarang. Dari pertigaan Dieng-Tambi, jalanan yang sempit namun mulus membawa kami terus menanjak naik dengan sesekali diselingi desa-desa kecil. Begitu belok kanan, hamparan tanaman teh mulai terlihat hijau bagaikan karpet zamrud, yang melapisi lereng-lereng gunung sejauh mata memandang. Indah!
Pemandangan Kebun Teh Tambi
Di sisi kanan nampak puncak Gunung Sindoro yang semakin lama semakin pendek. Kalau dari Kledung Pass puncaknya nampak biru samar-samar, kini nampak jelas sekali dengan hamparan rumput dan bebatuan di puncaknya. Indah! Di Tambi ada beberapa tempat rekreasi yang dibuka untuk umum. Kami memilih sebuah taman di sisi kanan jalan, dengan lokasi parkir yang nyaman. Cuaca sangat cerah, pemandangan luar biasa indah! Cahaya matahari menyulap lereng gunung menjadi bukit Teletubbies yang indah. Struktur jembatan bambu yang dibuat pengelola memudahkan kita menikmati pemandangan dan foto-foto sampai puas.
Pemandangan Kebun Teh Tambi dan Gunung Sindoro
Pemandangan Kebun Teh Tambi
“Waduh, belokannya terlewat!” kata salah satu kawan di mobil. Ya, plang “Liyangan” besar di sisi kiri jalan ternyata hanya penanda lokasi, bukan tempat parkir situs Liyangan. Jalanan masuk ke situs menurut GPS justru masuk jalan sempit, yang menyempit lagi ketika menuju titik lokasi. Sebuah mobil pickup yang diparkir memblokir jalan sempat membuat kami ciut, untungnya masih bisa lolos. Lalu di ujung ketika GPS menunjukkan belok kiri, malah kita harus lurus. Di desa seperti ini, don’t trust GPS --lebih baik tanya saja! Kami tiba di tempat parkir Situs Liyangan yang memiliki toilet dan wastafel serta toko-toko sederhana. Cocok!
Jalan menuju Situs Liyangan
Dari parkiran, ternyata kami harus berjalan kaki kira-kira 200 meter menuju lokasi. Panas memang, siapkan payung! Jalanan berdebu, namun pemandangan luar biasa cantik. Di kanan-kiri nampak kebun tembakau, dengan bunganya yang putih berujung semu merah muda, dan daun-daun lebar yang seolah berkilau diterpa cahaya mentari. Gunung Sindoro kini nampak tinggi menjulang seolah memandang kami dari kejauhan. Indah! Lalu, jalanan berakhir dengan plang di kiri: “Situs Liyangan”.
Bunga tembakau
Situs Liyangan di kaki Gunung Sindoro
Apa itu Situs Liyangan? Jika rata-rata kawasan peninggalan kuno Indonesia adalah istana raja atau tempat ibadah, Situs Liyangan boleh dibilang satu-satunya kawasan permukiman penduduk biasa yang masih bisa kita lihat sampai sekarang. Masa puncaknya adalah abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, tapi ada bukti yang menunjukkan bahwa Liyangan sudah dihuni sejak abad ke-3 Masehi. Wow, itu 1.700 tahun lalu! Dan uniknya lagi, Liyangan disebut sebagai “Pompeii-nya Indonesia” karena desa ini sejarahnya terhenti akibat tertimbun abu vulkanik dari letusan Gunung Sindoro kira-kita abad ke-11 Masehi. Bukti utamanya adalah di sisi kiri situs, ada sebuah batu yang diberi atap dan pagar kayu. Ternyata, ini adalah sisa pagar kayu kuno yang menghitam dan dihimpit oleh tumpukan abu vulkanik. Kita masih bisa melihat bentuk pagarnya! “Dari pagar inilah salah satunya para ilmuwan mengukur usia hunian di Liyangan,” kata bapak penjaga menjelaskan. Unik!
Sisa pagar kayu kuno yang menghitam dan dihimpit oleh tumpukan abu vulkanik
Ada tiga struktur yang langsung bisa terlihat ketika masuk ke situs yang luas ini. Yang pertama adalah bangunan candi kecil yang adalah petirtaan atau tempat air basuhan sebelum masuk ke lokasi. Kedua adalah sebuah tembok panjang dengan bentuk kubah atap kecil dari batu yang menandai kekhasan situs ini. Konon pagar tebal ini merupakan pembatas antara kompleks hunian dengan areal sawah. Struktur batu yang bertingkat dan terlihat biasa saja, ternyata adalah struktur asli! Ketiga, ada di lokasi tertinggi dari situs, yakni sebuah pondasi lengkap dengan lubang umpak atau tempat tiang kayu penyangga atap ditancapkan. Lalu, ada satu lagi bagian bawah candi yang memiliki sebuah bentuk persegi panjang di atasnya. Inilah lingga-yoni Liyangan, satu-satunya lingga yoni dimana yoni-nya memiliki 3 lubang, biasanya hanya satu. Luar biasa!
Tembok panjang dengan bentuk kubah atap kecil dari batu yang menandai kekhasan situs ini
Lingga yoni dengan tiga lubang
Ada satu objek di sini yang menarik: “The Java Road”. Jadi, di samping pagar, sebagai pemisah antara areal persawahan dan areal permukiman, ada sebuah jalanan selebar kira-kira 5 meter dibuat dari batu. Inilah jalanan tertua di Jawa, bisa jadi sudah digunakan sejak abad ke-3 Masehi. Kalau di Kota Roma kita bisa menapakkan kaki di Via dei Fori Imperiali, tempat Kaisar Agustus berkantor 2.000 tahun lalu, di Liyangan kita bisa berpose di jalanan Jawa ini, yang sudah dipakai sejak hampir 1.500 tahun yang lalu. Luar biasa!
Berpose di “The Java Road”, jalanan kuno berusia 1.500 tahun
Di ruangan museum kita bisa melihat keajaiban lain dari situs ini. Karena ini merupakan wilayah permukiman, banyak ditemukan perkakas rumah tangga yang sangat familiar. Ada batu pengasah pisau, lumpang, dan objek penting: ulekan! Bahkan sampai hari ini kawasan Magelang dekat sini dikenal sebagai penghasil cobek dan ulekan terbaik. Dan yang mengagumkan adalah adanya dua jenis ulekan yang ditemukan: yang kecil dengan penggerus berbentuk bola, dan yang besar bentuknya persis dengan ulekan sambal uni-uni di Payakumbuh. Menarik! Bukan cuma itu. “Di dalam lemari ini bisa dilihat ada guci keramik dari zaman Dinasti Tang,” kata petugas situs. Astaga, takjub kami memandang guci hijau yang dikenal sebagai “Guangdong Ware” yang berusia 1.000 tahun! Dan, keajaiban Liyangan bukan cuma sampai di sini.
Alat ulekan untuk bumbu atau jamu
Guci keramik dari zaman Dinasti Tang ditemukan di Situs Liyangan
Tembikar di Museum Liyangan
Artefak di Museum Liyangan
Di meja depan, dengan display yang sangat sederhana, ada sebuah objek yang unik. Satu buah gelas ukur plastik yang berisi kerikil, berwarna hitam, namun bentuknya sama semua --seperti bulir padi. “Ini sisa bulir padi dari lumbung Liyangan yang membatu karena terkena abu vulkanik. Ditemukan tahun 2013 di depan sana,” kata petugas lagi. Astaga! Bulir ini ada yang lepas, ada yang membentuk bongkahan batu. Setelah diperhatikan, terlihat gurat-gurat bulir padi, sekarang berwarna hitam, dipanen oleh tangan-tangan terampil petani Liyangan, seribu tahun yang lalu. Ternyata, sudah lama kita makan beras!
Fosil beras
Dalam perjalanan menuju Semarang, kami singgah di Kopi Klotok Cangkringan, sebuah rumah makan tradisional Jawa. Menarik bahwa meskipun sudah 1.000 tahun lalu, beberapa objek yang kami lihat di Liyangan masih bisa dipakai di sini. Bangunan rumah joglo masih menggunakan umpak untuk berdirinya tiang utama dari kayu. Ulekan panjang seperti di Payakumbuh masih digunakan untuk menghaluskan jamu seperti kunyit atau beras kencur, sementara yang lebih kecil untuk menyambal. Bahkan struktur batu berundak bisa kami lihat di sini, persis di bawah dapur, sebuah teknik kuno untuk meratakan kontur tanah yang tidak rata. “Mungkin banyak hal masih menjadi misteri di Liyangan. Tapi, besar kemungkinan, makanan mereka sama seperti yang disajikan di Kopi Klotok!” saya bergumam sambil mengunyah perkedel jagung, nasi, sayur lodeh, dan rebusan daun singkong. Luar biasa!
Bagian bawah ini disebut umpak
Ulekan modern di Kopi Klotok Cangkringan
Struktur batu di dapur Kopi Klotok yang mirip dengan di Situs Liyangan
Dapur dengan tiga tungku, terinspirasi yoni dengan tiga lubang?
Tembikar di Kopi Klotok mirip dengan yang di Museum Liyangan
Yuk, simak kisah 1.000 tahun leluhur kita dengan mampir ke Liyangan!
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.