Sashimi cantik di Atsumura
Ketika mampir ke Jepang 16 tahun yang lalu, saya tidak mencicipi sushi. Beberapa kali saya minta diantar makan sushi, tetapi komentarnya adalah, “Wah kalau sushi di sini mahal sekali!” Dengan berjalannya waktu, sushi yang dulu adalah hidangan mahal kini menjadi semakin mudah diakses. Entah bagaimana caranya, industri ikan berhasil menyediakan ikan mentah segar dengan harga terjangkau, sehingga sushi kini bukan “barang asing” lagi, terutama untuk generasi muda. Karena pernah punya restoran sushi, saya memperhatikan bahwa untuk keluarga muda di kawasan kota, sushi adalah hidangan wajib 2-3 kali sebulan. Memang, di tengah budaya kuliner Indonesia yang serba pedas dan berbumbu, sesekali mencicipi segar-sedapnya sushi menjadi selingan yang menyenangkan.
Bagaimana dengan di Jepang? Kali ini, saya punya kesempatan mencicipi sushi di tempat kelahirannya. Kebetulan saya berada di Ise, Perfektur Mie, sebuah desa tepi laut yang terkenal dengan hasil lautnya. Atsumura Sushidokoro berdiri sejak 2013 dan tahun 2019 mendapat Michelin Bib Award untuk kualitas hidangannya. Restoran ini menempati bangunan cantik di kawasan perumahan, dengan taman tertata rapi khas Jepang. Masuk ke dalam, kita harus menitipkan jaket dan melepas sepatu, lalu duduk di lantai dengan meja kayu. Sekilas, interior ruangan ini nampak biasa saja. Di Jakarta juga banyak. Tapi, tunggu dulu!
Perhatikan keramiknya! Dari teko shoyu, piring persegi landasan kondimen, sampai mangkuk dan piring untuk makan, semuanya dibuat dari keramik bertekstur dengan kualitas tinggi. Dilihat dari glaze atau pelapisnya, ini bukan barang biasa! Kemudian, pelayan menyodorkan nampan dengan berbagai macam gelas kecil. Inilah sloki sake untuk santap malam kami. Menarik!
Hidangan pembuka datang --sebuah permulaan yang bersahaja. Salad tomat dan selada dengan telur yang dicampur mayonnaise jepang dan ditumbuk. Penyajiannya ditata rapi, porsinya pas, dan tekstur telurnya sangat lembut dan gurih. Tapi, levelnya masih “biasa aja”, sampai hidangan berikutnya datang: dua biji pohon gingko, yang diletakkan di atas garam, lalu acar telur ikan dalam sebuah mangkuk kecil. Wah, canggih! Biji gingko disajikan komplet dengan kulitnya, mirip pistacchio tapi bukan. Rasanya memang unik, aroma kacang (nutty) dengan aftertaste peat (gambut, atau aroma akar, seperti pada whisky). Makanya, disediakan garam untuk menyeimbangkan rasanya. Telur ikannya unik, rasanya intensif gurih-asam. Hmmm, mulai naik ini permainannya. Ayo, selanjutnya apa?
Salad telur
Dua biji pohon gingko dan acar telur ikan
Hidangan berikutnya, wow! Begitu datang, saya langsung berdecak kagum. Hidangan sashimi pertama hadir sangat cantik. Sebuah bunga krisan nampak menghiasi hidangan yang ditata sangat cantik. Ada keseimbangan warna: kuning bunga bagaikan matahari, hijau daun di atas dan wasabi di bawah, plus kondimen irisan daun bawang hijau di sebelah kiri. Merah, diwakili sejenis daun kondimen sushi di sebelah wasabi, warna ikan shima aji, dan tentakel gurita. Tiga titik, dua warna, kesempurnaan segitiga. Luar biasa! Masih ada seiris scallop di samping dan ikan mackarel (saba) di tengah yang melintang memberi warna metalik, bagaikan pedang samurai yang terpajang di meja. Rasanya? Wah, luar biasa --harmoni visual ternyata diterjemahkan juga dengan harmoni citarasa. Dua iris shima-aji, satu iris mackarel. Segitiga! Tiga komponen daging putih: scallop, daging tentakel gurita, dan sashimi ikan teri yang baru pertama kali saya cicipi. Scallop rasanya creamy, gurita kenyal hambar, dan sashimi ikan teri (saya sebut teri aja ya?) asin gurih karena dicelup shoyu, mirip cendol teksturnya. Segitiga lagi. Mak nyus!
Sashimi pertama
Lalu, hidangan kedua: sashimi blue fin tuna. Wadaw, daging canggih nih! Ternyata, penyajiannya mengejutkan. Lagi-lagi konsep segitiga: tiga iris daging tuna, lalu di bawahnya ada empat macam kondimen di atas irisan tipis bawang. Lho, kok bawang? Rupanya inilah kejutannya: alih-alih sashimi biasa, daging blue fin tuna disajikan dengan gagrak carpaccio, disajikan dengan shoyu dan mirin sehingga tarikannya asam, lalu acar bawang. Carpaccio daging tebal! Rasanya jadi unik, kontras dengan sebelumnya. Ciamik!
Sashimie kedua: blue fin tuna
Hidangan ketiga: chawan musi alias telur kukus ala Jepang. Kalau Prancis adalah ahlinya Eropa soal teknik masak yang paling ribet, Jepang adalah juaranya di Asia. Telur dikukus saja… bisa canggih! Keramik tinggi bertutup khas chawan musi hadir --tebal, kokoh, sebuah isolator yang baik yang menjamin ratanya temperatur uap yang mencapai telur di dalamnya. Begitu dibuka… wow! Luar biasa. Segitiga lagi: dua biji edamame dan sejumput daging kepiting, nampak menghiasi bagian tengahnya. Telur rebus hadir di bawahnya, tapi di atasnya ada lapisan tipis shoyu yang memiliki konsistensi kenyal dan bening --mungkin agar-agar? Entahlah, yang jelas paduan rasanya luar biasa. Lapisan atasnya gurih tajam dengan tarikan asin, sementara telurnya lembut dan creamy. Paduan ini mengingatkan saya pada creme bruleé --di mana ada keserasian rasa antara lapisan karamel di permukaan dan bagian dalam yang creamy. Tapi, ini pakai telur kukus! Di dalam telurnya ada irisan daging ayam dan biji gingko. Lembut, sedap, seimbang. Top markotop pemirsa!
Chawan musi alias telur kukus ala Jepang
Tadinya saya menduga ini hidangan terakhir sebelum dessert. Saya sudah berpikir: di mana ya posisi Family Mart terdekat? Tetapi, saya salah. Pelayan membawakan pelat keramik panjang berisi delapan potong sushi besar-besar. Tadinya saya heran: ini buat sharing? Ternyata tidak, ini seorang satu! Wadow! Dan, kualitasnya bukan kaleng-kaleng. Tuna, salmon, shima-aji, udang, telur (tamago). Semua potongannya tebal, racikan nasinya rapi, bentuknya seragam. Dan ada satu maki alias sushi yang digulung, dibubuhi telur ikan, timun, tuna, dan telur, dibungkus dengan nori alias rumput laut. Semuanya padat, kualitas tinggi, dan melimpah! Saya tidak merasa perlu mencelupkan sushi ke shoyu atau wasabi lagi. Sudah sedap apa adanya!
Pelat keramik panjang berisi delapan potong sushi besar-besar
Setelah ini, masih ada satu sajian lagi: puding dari tepung beras dan susu. Porsinya kecil, tetapi justru seimbang karena rasanya manis sekali. Teksturnya masih menunjukkan kecanggihan selera Jepang: puding tapi sedikit bertekstur pasir, mengingatkan saya pada Milchreis atau yoghurt dicampur beras di Jerman. Sebuah penutup yang kecil, bombastis, namun khalis --pas, tepat, seperti adonan yang selesai diuleni dan siap diolah. Sepanjang santap malam, pelayanan sangat baik, dan kami juga mencicipi beberapa jenis sake yang ditawarkan. Restoran hanya menerima uang tunai, dengan biaya 5.500 yen per orang tanpa sake. Kami pulang dengan hati kenyang, perut kenyang, dan mata senang --karena tiga indera ini sangat dimanjakan oleh Atsumura. Makanan tiba tepat waktu, padahal rombongan kami 15 orang yang artinya chef meracik 120 biji sushi dalam sekali penyajian. Luar biasa! Kalau ke Ise, atau ke Osaka tapi ada waktu 4-5 jam, yuk mampir ke Atsumura, dan dapatkan pelajaran berharga: bahwa sushi itu sebuah seni, bukan hanya soal nutrisi!
Puding penutup, dari tepung beras dan susu
Atsumura
Alamat: 239 Sakuragicho, Ise, Mie 516-0027, Japan
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.