ALTERNATIF LIBURAN MELIPIR DARI KOTA AMBON: LARIKE 2020-03-04 00:00

Sunset eksotis di Batu Layar Larike

 

Bagi yang punya rencana liburan ke Ambon Provinsi Maluku atau hanya transit 1 malam untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke bagian lain dari Indonesia Timur mungkin Negeri Larike cocok menjadi sasaran kunjungan. Sebab hanya berkendara selama kurang lebih 1 jam atau bahkan 45 menit ke arah barat dari Bandara Internasional Pattimura Ambon kita sudah bisa tiba di desa yang  berada di Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah ini. Memang ada apa di sana? Simak yuk...

 

Hal menarik pertama di Larike adalah Kolam Morea alias belut raksasa yang jinak. Jenis belutnya sama dengan yang ada di Desa Waai Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah yang lebih dulu terkenal, tapi ini tempatnya beda, masih lebih alami.

 

Hal menarik kedua, tak sampai 5 menit berkendara dari Kolam Morea ada dua batu karang menjulang di tepi pantai pesisir barat Pulau Ambon yang mirip gapura candi di Bali. Tapi orang-orang lebih melihatnya seperti layar kapal, jadi dinamailah Batu Layar. Bagusnya ke sini menjelang matahari terbenam.

 

Baca juga: "Tanjung Nusaniwe di Ambon, Sunsetnya Cantik, Legendanya Bikin Merinding"

 

BERMAIN BERSAMA PULUHAN BELUT RAKSASA

Untuk ke Kolam Morea dari tempat parkir di tepi jalan kita harus jalan kaki sedikit melewati jalan kecil di antara rumah-rumah warga. Kulonuwun dulu sama pengelola setempat karena kawanan belut tak akan nongol begitu saja di kolam tanpa dipancing dengan makanan yang menggiurkan mereka.

 

Penanda Kolam Morea

 

Jadi pengelola atau pawang akan membawakan sebaskom ikan mentah kecil-kecil dan mulai mengundang makan belut-belut itu keluar dari rongga di bawah batu besar di dalam kolam alami yang adalah sungai kecil yang dangkal. Namanya Sungai Wailela. Airnya jernih dan bersih! Padahal warga memakai sungai ini untuk kegiatan sehari-hari. Seru banget melihat belut-belut hitam itu berebutan keluar, meliuk-liuk, menciprat-ciprat demi mendapatkan makanan. Jumlahnya banyak lho... puluhan deh!

 

Pawang memancing kawanan belut keluar dengan menumpahkan ikan mentah

 

Saya dan kawan-kawan awalnya hanya menonton saja dari tepi sungai, sesekali mendekat dan ikut memasukan kaki ke air. Kami menjerit-jerit kesenangan sekaligus ketakutan kalau belut-belut gendut itu menyosor kaki kami. Mereka nggak akan menabrak kaki kita apalagi menggigit sih. Pasti begitu melihat kaki kita atau tangan kita yang menjulur kosong ke air, mereka malah melipir. Beda soal kalau tangan kita memegang ikan. Itu pun, nggak akan kegigit juga, asal tetap hati-hati.

 

Tapi walaupun pawang belutnya bilang aman, mereka sudah terbiasa dengan kehadiran manusia, kami tetap nggak ada yang berani ikut ngasih makan. Saya hanya memberanikan diri mengelus-ngelus tubuh belut yang licin-licin empuk. Mau ngangkat juga nggak berani, lagian berat, bisa ada yang 20 kiloan lebih, nyaris 30 kg mungkin. Panjangnya juga lumayan, mungkin 1,5 meter atau lebih.

 

Silakan pegang-pegang belutnya, aman kok, mereka jinak

 

Warga lokal meyakini belut-belut ini keramat, makanya dilindungi, nggak dimakan. Ada aturan adatnya lho. Warga baru menemukannya sekitar tahun 2002, awalnya karena mereka membuang sisa-sisa makanan amis ke sungai. Akhirnya warga rutin memberi makan makanya belut-belut betah menetap di situ dan berkembang biak secara alami.

 

Baca juga: "Masukkan Saparua di Maluku Tengah Dalam Bucket List 2020 Yuk"

 

Umpan berupa ikan mentah yang kami bayar seharga Rp50.000 karena memang cukup banyak. Sedangkan untuk jasa pawang 2 orang kami membayar serelanya Rp50.000. Rombongan kami terdiri dari 6 orang. Jadi cukup murah lah patungannya.

 

MENANTI SUNSET DI BATU LAYAR

Nggak pakai usaha apa-apa untuk bisa melihat Batu Layar ini karena posisinya tepat di tepi jalan utama. Kita bisa menikmatinya dari atas tanggul penahan abrasi. Dari sini kita bisa melihat matahari pelan-pelan pamit di batas cakrawala dengan latar Batu Layar di sebelah kanan.

 

Matahari mulai tenggelam dengan Batu Layar di sebelah kanan

 

Batu karang yang satu, yang lebih dekat ke laut mirip banget gapura masuk candi. Runcing di bagian atas dan lebar di bagian dasarnya. Sementara batu satunya lagi lebih lebar dan lebih pendek sedikit.

 

Ini bentuk kedua batu karangnya

 

Tapi kalau sebelum matahari tenggelam kita mau turun ke bawah, melihat Batu Layar dari arah sebaliknya, ada jalan turun walaupun saat kami datang Oktober 2019 belum ada jalur yang rapi. Masih menyibak-nyibak semak. Waspada juga dengan serangan agas di sini ya...

 

Bisa turun ke pantainya

 

Batu Layar ini menjadi landmark Desa Larike. Bagi warga Ambon sih tempat ini sudah populer. Tapi tampaknya pejalan dari Jakarta belum banyak yang tahu ya.

 

 

Belum diberlakukan tiket masuk ke sini. Saya juga belum menemukan cerita bagaimana batu ini terbentuk. Atau apakah ada legenda di baliknya.

Teks: Mayawati NH (Maya The Dreamer) Foto: Mayawati NH (Maya The Dreamer), Priyo Tri Handoyo
Comment
Irridly

mefloquine package insert has warned that if signs of unexplained anxiety, depression, restlessness, or confusion are noticed, these may be considered prodromal to a more serious event what is priligy

2024-09-29