Pura Besakih
Setelah tiga kali didera perpanjangan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), hati ini rasanya sudah gundah karena rindu ke Bali lagi. Mengapa? Mungkin karena hati ini membayangkan, jika harus ‘terjebak’ di suatu tempat, mengapa tidak di tempat terindah di dunia sekalian? Di mana buka jendela saja bisa melihat sunset yang indah mandraguna, buka pintu mencium aroma kamboja dan dupa yang harum menentramkan jiwa? Belum lagi, banyak makanan enak dari kaki lima sampai pindang lima! Sayangnya, saat ini saya hanya bisa berandai-andai. Dan lamunan saya membawa pada satu tempat yang pernah saya kunjungi: “jantung” budaya Bali, Pura Besakih!
Pura Besakih
Pura Besakih
Baca juga: “Sudah Pada Kangen Liburan ke Bali Yaaa?”
Pura Besakih memang bukan tujuan wisata yang umum, karena lokasinya yang cukup jauh. Di ketinggian 1.000 meter, persis di punggung Gunung Agung, terdapat 23 kompleks pura dengan yang terbesar bernama Pura Penataran Agung. Di tahun 1963, ketika Gunung Agung Meletus dengan dahsyat, pura ini secara ajaib terselamatkan dari kerusakan parah. Sejarahnya bisa dicatat sejauh tahun 1284 ketika terjadi pengungsian Dinasti Majapahit ke Bali! Jadi, sudah 800 tahun lokasi ini menjadi tempat ibadah, dan aura kesuciannya memang terasa sejak kita menginjakkan kaki di pelatarannya. Apalagi, saat itu cuaca sedang berkabut, sehingga patung-patung dan menara pura yang menjulang tinggi hanya terlihat siluetnya, menambah aura magisnya.
Pelataran utama Pura Besakih, saat berkabut
“Setiap kabupaten di Bali memiliki satu pura di sini Pak, sehingga kompleks Besakih benar-benar merepresentasikan Pulau Bali. Masing-masing punya jadwal upacaranya sendiri,” kata pemandu menjelaskan. Pantas saja di Bali tidak ada isu “pemekaran wilayah” –kan repot kalau mau membuat kabupaten baru, perlu mengubah struktur pura! Pemandu dengan sabar menjelaskan fungsi dan nama dari setiap pura, sampai ada satu titik di mana kita diminta berhenti dan memanjatkan doa. Saya pun terpekur, dengan puncak Gunung Agung yang samar-samar nampak di balik awan, sambil memanjatkan doa untuk Republik Indonesia tercinta agar selalu tentram dan sejahtera.
Pelataran utama Pura Besakih
Soal kuliner Bali, tentu sudah sering dibahas. Namun, saya punya satu jurus yang jarang dikeluarkan: Singaraja! Kota ini adalah ibu kota Kabupaten Buleleng, dan kota terbesar di Bali Utara. Lagi-lagi ini bukan jalur turis, kecuali yang menginap di Lovina. Kota ini adalah representasi Bali yang tidak berwisata: relatif besar, bahkan ada KFC dan McDonalds, namun nyaris tanpa turis. Tujuan saya ada di jejeran ruko dalam wilayah komersial, dengan plang bercat biru dengan desain tahun ‘90-an: Siobak Khe Lok! Siobak adalah hidangan khas Singaraja yang sedikit sulit ditemukan di Denpasar. Sebenarnya siobak mirip dengan hidangan berbumbu gohiong (five spices) seperti sekba atau bakut teh. Namun, di sini kuahnya tidak ada (kering), diganti dengan kuah kental mirip bumbu lunpia Semarang. Rasanya manis, berempah, juga dengan aroma gohiong yang masih terasa. Bumbu Bali-nya terasa di gorengannya: irisan bakso goreng dan daging babi goreng kering, berbumbu Bali yang agak pedas. Hidangan khas ini saya santap dengan kaget, karena rasanya kok mirip dengan hidangan di kota kelahiran saya: ambokueh Bandung!
Siobak Khe Lok, khas Singaraja
Kuliner Singaraja bukan hanya siobak. Ada satu lagi yang lebih unik: namanya kupat blayag. Blayag adalah ketupat yang dibungkus janur kelapa tetapi bentuknya panjang-panjang seperti tanduk. Sayangnya, di jam 3 sore waktu itu, rata-rata kupat blayag sudah tutup (untuk sarapan) atau belum buka (mulai buka jam 5 sore untuk makan malam). Setelah saya menelepon rekan saya yang asli Singaraja, beliau memberi satu harapan: “Di depan SMP 1 Singaraja ada yang jual jam segini,” katanya. Meluncurlah saya ke sebuah jalan megah di mana SMP 1 berseberangan dengan kantor polisi. Di depannya, ada seorang ibu berjualan di bawah payung dengan meja kecil. Dia membungkus jualannya dengan kertas, banyak motor mengantre. Wah, ini pasti si kupat blayag!
Kupat blayag
Penampakan kupat blayag yang sudah dibuka
Kondimen kupat blayag
Sajian komplet kupat blayag
Yang saya dapatkan adalah sebuah hidangan sedap yang sangat khas. Di meja selain tersaji kupat blayag, juga ada gorengan kedelai dan jeroan ayam serta darah ayam alias marus. Pertama-tama, ketupat dipotong-potong, lalu dibubuhi kuah yang mirip kuah sate padang: berwarna kuning dan kental. Namun, kuah kental ini dibubuhi parutan kelapa biasa dan kelapa gosong, sehingga teksturnya renyah dengan aroma kelapa, mirip dengan sup hisit. Luar biasa! Apalagi disantap bersama jeroan ayam, marus ayam, dan taburan kacang kedelai goreng yang memberi tekstur renyah yang khas. Saya bisa mengenali beberapa elemen yang biasa ada di hidangan Tionghoa seperti kedelai goreng, namun dalam bentuk yang sangat berbeda: aroma kelapa, rasa base genep serta sayuran daun singkong membuat hidangan ini seolah familiar namun memiliki tekstur dan rasa yang benar benar unik.
Yuk, atur waktu kapan untuk segera ke Bali lagi.
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.