Kampung Adat Ratenggaro, sangat Instagrammable difoto dari arah pantainya
Kampung Adat Ratenggaro bolehlah disebut sebagai kampung adat paling unik dan paling Instagrammable di Sumba. Selain karena bangunan rumahnya punya menara tinggi menjulang hingga 20-35 m, juga karena lokasinya yang di atas tebing laut dengan hamparan muara dan pantai serta laut lepas persis di hadapannya, plus adanya kubur-kubur batu berupa menhir besar-besar. Semuanya membuat Ratenggaro sangat eksotis! Nggak punya drone atau kamera dengan lensa lebar pun gampang banget untuk mendapatkan foto keren kampung yang berada di Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya Pulau Sumba NTT ini.
JANGAN CUMA KE KAMPUNG ADATNYA, TAPI KE PANTAINYA JUGA
Bangunan rumahnya berbentuk rumah panggung, lazimnya rumah adat di Sumba dan juga NTT pada umumnya. Dibangun dengan bahan-bahan alami yang diambil dari sekitar mereka. Dari sekitar 11 bangunan rumah yang saling berdekatan terdapat 4 rumah khusus yang disakralkan yaitu Uma Katode Kataku (dihuni oleh pendiri kampung), Uma Kalama (simbol dari ibu), Uma Katode Amahu (simbol dari saudara ayah dan ibu), dan Uma Katode Kuri. Kita bisa masuk dan melihat-lihat suasana dalam rumah.
Warga lokal banyak menjual aneka suvenir termasuk kain Sumba yang digelar di depan rumah-rumah mereka. Kalau tertarik, tanyakan harga dengan jelas dan tawar sepantasnya. Tapi kalau nggak tertarik membeli jangan asal pegang-pegang dan iseng nawar gila-gilaan ya. Mereka bisa gusar.
Banyak kain Sumba dan aneka suvenir lainnya dijual di depan rumah mereka
Warga juga menyewakan kain, selendang maupun pakaian adat lengkap untuk berfoto. Sepakati dulu dengan jelas berapa harga dan bisa untuk berapa lama dipakainya, dan apakah bisa dipakai hingga ke pantainya, supaya nggak terjadi argumen begitu hendak membayar. Kalau sudah sewa baju adat dan bisa dipakai hingga ke pantai, pas di pantai sekalianlah sewa kuda juga. Kudanya berwarna putih anggun. Harga sewa untuk naik dan berfoto dengan kuda Rp50.000. Keren memang berfoto dengan kuda putih di pantai dengan latar menara-menara kampung adat di kejauhan.
Berfoto menaiki kuda putih dengan latar kampung adatnya
Yang juga nggak kalah unik dan jangan sampai nggak difoto, pantai yang persis berada di bawah tebing. Itu ‘kan mulut muara ya, jadi aliran air muara yang masuk ke laut membuat pemandangan lebih unik. Kadang airnya biru gelap, kadang juga hijau toska. Kadang aliran airnya nyaris menutupi semua bagian cerukan ini, kadang saat surut aliran airnya seperti sungai kecil aja.
Aliran air muara ke arah pantai sedang berwarna biru gelap
Aliran air sedang pasang, berwarna biru kehijauan
Aliran airnya beda lagi formasinya. Selalu menarik untuk difoto
O ya, nggak semua grup tur yang ke Kampung Adat Ratenggaro juga mampir ke pantainya. Ada yang nggak mau bayar dua kali soalnya. Iya, walaupun per mobil sudah membayar Rp50.000 saat masuk kampung adatnya,tapi begitu mobil masuk ke area pantainya bayar lagi Rp50.000. Mungkin ada yang berpikir, kalau gitu jalan kaki aja dari kampungnya ke pantainya. Hoho, jaraknya nggak sedekat yang dikira. Nggak apa lah bayar 2X. Sayang banget soalnya kalau nggak ke pantainya, karena selain foto dengan drone, angle terbaik memotret keseluruhan Kampung Adat Ratenggaro adalah dari pantai di seberangnya.
Memotret kampung adat dari arah pantai di seberangnya, banyak angle bagus
Lokasi pantai juga tentunya menjadi lokasi favorit buat berfoto grup maupun sendirian karena memang Instagrammable banget! Bisa juga berfoto seolah menyentuh puncak menara.
Berpose seolah menyentuh puncak menara
Di pantainya juga ada kubur batu yang mencolok karena besar dan tinggi, melebihi tinggi orang dewasa. Katanya ini adalah makam dari putra pendiri Kampung Adat Ratenggaro. Kubur-kubur batu berupa menhir ini ada banyak juga bertebaran di halaman dalam maupun luar Kampung Adat Ratenggaro. Nggak ada tabu apa-apa sih di sini. Kita boleh berfoto-foto di sekitar semua kubur batu yang ada. Yang favorit tentu kubur batu besar di pantai.
Kubur batu yang jadi spot foto favorit
Sebenarnya ke Sumba menyenangkan kalau kita bawa alat tulis, buku cerita ataupun permen dan biskuit untuk dibagikan ke anak-anak lokal yang kebetulan kita temui. Di Kampung Adat Ratenggaro ini juga banyak anak-anak. Sayang, kadang mereka menjadi sedikit agresif begitu melihat ada yang membagi-bagikan sesuatu. Jadi lakukan dengan bijak ya kalau mau bagi-bagi barang.
Baca juga: "Kampung Adat Prai Ijing Pasti Masuk dalam Itinerary Sumba Trip"
KISAH KUNO TENTANG KAMPUNG INI
Ratenggaro dalam bahasa lokal artinya “kuburan orang-orang Garo”. Rate artinya kuburan, Nggaro artinya orang-orang Garo, atau penduduk pertama yang mendiami kampung tersebut. Konon saat dulu masih sering terjadi perang antarsuku, suku yang kalah akan dihabisi dan dikubur di tempat itu.
Berdasarkan cerita yang dituturkan turun-temurun, konon kampung ini dulu diperebutkan oleh beberapa suku. Yang menang dan menetap di sini akhirnya suku Garo. Ada juga sumber yang menyebutkan hal berlawanan, katanya justru orang suku Garo berhasil dikalahkan dan tersingkir dari kampungnya, jadi yang menetap sekarang bukan suku Garo.
Yang jelas kubur-kubur batu yang ada di halaman dalam kampung, halaman luar, maupun di pantai adalah kuburan para korban saat perebutan kampung terjadi. Dinding kuburan dipahat dengan tulisan-tulisan atau gambar kuno.
Kubur-kubur batu di halaman luar kampung
Kubur-kubur batu yang ada di pantai
PERNAH KEBAKARAN 3 KALI
Kampung adat ini pernah kebakaran tiga kali. Pertama sebelum tahun 1964 karena pertikaian antar kampung, kedua tahun 1964 saat pesta adat malam hari, ketiga tahun 2004.Tapi setelah itu direstorasi kembali dengan posisi dan bentuk yang tidak diubah.
CARA KE SINI
Dari Bandara Tambolaka yang merupakan gerbang masuk ke Sumba Barat Daya berjarak 46 km, ditempuh berkendara 1 jam atau 1 jam lewat 15 menit kira-kira. Kalau dari Danau Weekuri maupun Pantai Mandorak berjarak +/-20 km ke arah selatan, ditempuh 30-40 menit berkendara.
Kampung adat ini biasa sekalian dikunjungi kalau Trippers ke Danau Weekuri dan Pantai Mandorak, karena memang berada satu area di Sumba Barat Daya.