Pemandangan spektakuler dari Puncak Rinjani
Membayangkan gunung setinggi Rinjani meletus lalu menyemburkan awan panas plus gas beracun dan mengalirkan lahar panas ke lereng-lerengnya tentulah mengerikan. Teringat bagaimana Gunung Merapi menyapu habis orang-orang yang berada di lereng gunung bahkan di desa-desa sekitar di bawahnya. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi di Gunung Rinjani, Lombok, Senin 1 Agustus 2016 lalu?
SEMUA DIMULAI JAM 2 DINI HARI
Dini hari sekitar jam dua kami mulai dibangunkan guide untuk bersiap muncak. Rombongan besar kami terdiri dari 40 orang dengan kekuatan dan pace yang berbeda-beda. Dari awal pendakian sehari sebelumnya di Desa Sembalun kami sudah dibagi menjadi 4 grup yang masing-masing terdiri dari 10 pendaki, dipimpin 1 guide dan ditemani porter sebanyak 12-15 untuk tiap grupnya. Saya berada di grup 3 yang kebetulan dapat lokasi kemping paling jauh dari yang lain, tapi paling dekat ke jalur muncak.
Singkat cerita grup saya mulai bergerak muncak pukul.03.10. Langsung mendaki melewati jalur tanah cadas berbatu-batu kerikil. Jam-jam awal aja tenaga udah terkuras. Apalagi dalam kondisi gelap cuma dibantu sinar headlamp, kadang ngeri ngebayangin jurang menganga di kiri-kanan. Berulang kali saya istirahat dan kami ber-9 pun (1 orang dar grup saya memutuskan nggak muncak) mulai berjarak sesuai pace masing-masing.
Matahari terbit sekitar pukul enam lewat dari arah kiri kami. Cuma bisa bilang: cantik! Nggak perlu mengejar melihat sunrise dari puncak, karena dari tempat mana pun kita berdiri di jalur menuju puncak, sunrise Rinjani memang selalu menyihir.
Saya yang walaupun udah pernah muncak Rinjani 6 tahun lalu, tapi tetap nggak hapal jalurnya, salah nebak, kirain maks pukul 7.30 saya dan beberapa teman udah bisa sampai puncak. Ternyata sekitar pukul 7.30 itu kami memang sudah sampai di most difficult part (jalur pasir naik 3 turun 2 langkah), tapi memandang ke atas, uuhh puncak masih jauh aja. Malah mata sepet, ngantuk berat. Rasanya pengen nyerah aja.
GOYANG-GOYANG APA ITU?
Pas lagi istirahat duduk sekitar pukul 7.30 tiba-tiba ada yang berseru, “Gempa!” Saya baru merasakan goyangannya saat duduk diam. Cukup lama dunia yang saya pijak bergoyang. Saya sempat mikir, “Gila nih, gempa dan gue ada di atas gunung?” Tapi karena porter pendamping nggak meminta kami balik, ya kami terus. Belakangan kami tahu, guide grup kami, Subur, jauh di bawah sana sudah memerintahkan semua yang di atas turun. Tapi kami nggak dengar.
Saya benar-benar nggak kepikir gempa yang ternyata bersumber dari Sumbawa itu bakal memicu erupsi. Keinginan kuat untuk menggapai puncak kedua kali mengalahkan segalanya. Bahkan saya juga sempat mendorong keponakan saya, Welly yang umurnya baru 19 tahun, untuk nggak menyerah. Tapi saat kedua kali dia minta izin menyerah karena sol sepatunya bener-bener licin (saya udah ajarin dia melangkah zigzag dan mantap dengan bantuan trekking pole, dia tetap melorot terus), saya biarkan dia menyerah. Dan aaaah, segalanya memang serba pas. Keputusan untuk tak memaksanya lanjut benar-benar saya syukuri pada akhirnya.
PUNCAK RINJANI, AKU DATANG LAGI....
Bahagia bisa menggapai puncaknya lagi
Pukul 9 sebenarnya batas akhir untuk turun di mana pun kami berada. Itu sudah diputuskan bersama saat briefing, dengan alasan di atas jam segitu kabut sudah mulai turun. Tapi saya “korupsi” waktu sedikit dan menjadi orang terakhir di grup besar kami yang tiba di puncak pukul 9.15. Makanya saya nggak banyak foto. Saya malah banyak motretin Hema, kakak saya, dan teman-teman lain. Enam tahun lalu udah puas kok pose dengan berbagai gaya dan waktu dulu itu kami ber-4 beserta guide dan porter berada di puncak 1 jam lebih karena hanya tinggal kami yang ada di sana.
Siapa yang tak ingin berlama-lama di tempat dengan pemandangan seperti ini
Saya mengusulkan untuk segera turun pada pukul 9.45, karena “korupsi” waktu kami sudah kebanyakan. Dan kalau saya ingat-ingat saat itu, Subur, guide kami, yang walaupun sudah meneriakkan kami untuk turun saat gempa, tetap menyusul kami. Di puncak juga dia nggak ngomong apa-apa yang akan bikin kami panik. Dia malah sibuk memotretkan beberapa teman. Nggak nyuruh-nyuruh kami segera turun. Tapi atas kesadaran pribadi untuk patuh pada batasan waktu, saya mengajak semua turun.
DATANGLAH KEJUTAN ITU
Awal-awal waktu tenaga masih lumayan, saya dengan mudah menuruni jalur berpasir dan berbatu kerikil itu dengan gaya seperti main ski. Di Semeru dengan gaya ini saya bisa mencapai Arcopodo cuma dengan 1,5 jam! Tapi di Rinjani kok rasanya nggak sampe-sampe ya?
Lolos dari jalur berpasir, masih menanti jalur licin tanah cadas berkerikil. Semua jalur berada di gigiran gunung, dengan Gunung Baru Jari, si anak Rinjani, tepat berada di kiri kami, di danau. Beberapa kali saya menjepretkan kamera ke arahnya. Cantik tiada tara. Saya sempat berucap pada Subur, sambil memandangi lubang Gunung Baru Jari, “Bentuk lubangnya berubah terus ya?” Ya, kata Subur, setiap kali batuk, lubangnya berubah.
Karena kami ber-6 sudah sangat capek, beberapa kali kami istirahat dan sempat foto bareng 3 porter pendamping, yang motret Subur. Kami ber-6 (saya, Hema, Santi, Suti, Tia, dan Pik Fong) adalah orang terakhir dari grup kami yang turun gunung. Di atas kami memang masih ada 4-5 orang yang bukan dari grup kami. Ya, gigiran gunung itu relatif sudah sepi saat itu, sekitar pukul 11-an.
Foto bersama 3 porter sebelum letusan
Pukul 11.40-an, saya ingat, Tia berjalan di depan saya, paling depan, sempat saya foto, dan Hema di belakang saya teriak, “Mei, minta tensoplas dong, jari kaki sakit banget!” Saya jawab, tunggu sampai di depan ada batu di mana kami bisa duduk. Dan sekonyng-konyong “Booommmm!!!” Sekian detik saya sempat nggak ngerti apa itu sampai Suti bilang, “Foto May, bagus!” Saya baru ngeh lubang Baru Jari yang tadi saya komentari sudah dipenuhi asap hitam pekat membumbung ke atas. Ada batu juga terlontar dari sana. Baru saya angkat kamera, Subur sudah meneriakkan kami untuk tiarap. Refleks kami tiarap di sisi kanan jalur, tanpa terlindung apa pun, dan di kanan kami jurang. Baru saya sadar, kami dalam bahaya.
Detik-detik sebelum letusan. Gunung Baru Jari yang meletus berada di sebelah kiri kami.
Saat tiarap beberapa detik itu pikiran saya sudah lari jauh. Wah, kali ini saya yang jadi berita nih (teringat berita pendaki remaja putri asal Palembang yang tewas di hotspring Rinjani beberapa minggu sebelum kami berangkat). Inikah akhir petualangan saya di gunung? Kebayang kalau asap pekat hitam beracun itu menyambar dengan cepat ke arah kami, habislah kami. Tapi dalam kondisi yang antara hidup dan mati itu saya ingat untuk ngangkat kamera lagi. Kamera dari tadi masih on, erupsi di depan mata sudah masuk dalam frame kamera saya, saya ragu antara motret atau ganti mode video. Belum sempat ngapa-ngapain, Subur udah teriak lagi, “Lariiiiii.....”
Dari posisi tiarap kami lari terhuyung-huyung sampai tempat Tia menunggu kami di balik dinding batu (dia nggak ikut tiarap). Sampai di situ saya pikir sudah aman, dan kami bisa beristirahat sejenak, menghilangkan kekagetan dan meluruskan kaki. Ternyata Subur tak mau ambil risiko. Kita tidak pernah tahu angin akan berembus ke mana. Yang jelas, wedus gembel itu kalau sampai terhirup bisa menewaskan dalam hitungan detik.
Dengan kedua kaki yang bener-bener udah lemes, kami harus lari di jalur curam yang untungnya di kiri kanannya sudah terlindung dinding batu/tanah cadas. Jadi berkali-kali kami jatuh terguling, nggak ada bahaya masuk jurang. Hanya saja kalau sampai salah jatuh dan keseleo atau kepala membentur batu atau bonggol pohon, pasti runyam urusannya. Tiga porter dan 1 guide berusaha memapah dan menggandeng kami ber-6. Tapi ada kalanya kaki saya bener-bener nggak bisa diajak melangkah, lemes to the max, saya memilih berseluncur dengan bokong dan tangan yang mendorong-dorong supaya bisa meluncur lebih cepat. Debu pekat bertebaran, nggak tahu deh berapa ons yang masuk lewat hidung dan mulut.
Menuruni jalur itu dalam kondisi normal butuh waktu 1 jam, dan dalam kondisi kelelahan sangat seperti waktu itu, saya taksir saya butuh 1,5 jam. Tapi kekuatan penyelamatan diri dan berkat bantuan dari porter dan guide, kami bisa melewatinya sekitar 15 menit saja!
Sampai basecamp di Plawangan Sembalun rupa kami ber-6 udah nggak jelas. Kami langsung menggeletakkan diri di matras. Untung nggak ada yang keseleo, nggak ada yang pingsan. Semua masih baik-baik, hanya mengalami syok dan kelelahan yang amat sangat. Porter yang biasa menyediakan kami makan langsung memberi air untuk kami berkumur, cuci muka dan minum. Sarapan pancake dan potongan nanas juga sudah tersedia. Ditambah tawaran teh panas, Pulpy Orange, Pocari. Dan kami baru sadar 3 di antara kami celana panjangnya robek-robek. Paling parah saya, robek gede di bagian bokong. Padahal celana polar yang ada lapisan tebalnya tuh. Untung masih ada lapisan polar di dalamnya, hehe.
Kami semua selamat, dan saya masih bisa menuliskan pengalaman menegangkan ini kepada kalian, teman-teman dan keluarga yang mengkhawatirkan kami. Wajar kalian khawatir, apalagi yang nggak paham bahwa yang meletus bukan Gunung Rinjani yang kami daki (karena sudah tidak aktif), tapi anaknya, yang berada di kaldera yang membentuk danau. Letusannya pun nggak sedahsyat yang terjadi Oktober tahun 2015 lalu sehingga bahkan yang berada di tepi danau pun selamat, karena nggak ada aliran lahar yang membuat air danau meluap tiba-tiba.
Malam itu pun, mengingat kondisi yang telah kelelahan, kami tetap menginap di Plawangan Sembalun, yang berada pada radius aman. Bahkan esok paginya saat kami turun kembali lewat jalur Sembalun, masih banyak pendaki yang naik, karena pendakian memang nggak ditutup. Bersyukur semua aman dan selamat.
Baca juga "Mengapa Saya Gagal Memotret Erupsi Rinjani 2016? Better Safe Than Sorry!"
Baca juga "Rinjani Mengajarkan Apa Artinya Keindahan dan Kesempurnaan Sebuah Gunung"
Bacanya aja serem, apalagi ngalamin
2016-08-12Wah menegangkan sekali. Untung semuanya selamat.
2016-08-10