Di tengah hiruk-pikuknya kota industri terbesar di Jawa Timur, Gresik ternyata masih menyimpan satu peninggalan sejarah yang sampai saat ini masih terjaga kondisinya, tempat itu adalah Kampung Kemasan. Di perkampungan ini terdapat beberapa rumah kuno yang dibangun tahun 1890-1900-an yang besar nan megah, serta saling berdiri berjajar di sepanjang 200 m jalan perkampungan.
Awal mula dinamai Kampung Kemasan, konon bermula dari keberadaan pengrajin emas beretnis Tionghoa bernama Bak Liong pada tahun 1850. Karena hasil kerjanya memiliki kualitas yang sangat bagus, nama Bak Liong menjadi dikenal luas serta mendapat banyak pesanan dari warga. Dari sinilah muncul istilah Kampung Kemasan atau kampung yang ditinggali pengrajin emas.
Hingga suatu ketika ada seorang saudagar kaya bernama H. Oemar Bin Ahmad yang membangun rumah besar nan megah di Kampung Kemasan. Ia menyerahkan proses pembangunan kepada seorang arsitek keturunan Tionghoa sebab kala itu di Kampung Kemasan belum ada orang lokal yang mampu membuat rumah dengan ukuran yang besar dan mewah. Rumah besar itu arsitekturnya terlihat mirip bangunan ala Tiongkok berpadu gaya Belanda. Gaya Tiongkok jelas nampak dari atap rumah dan pemakaian cat yang dominan warna merah, sementara gaya Belanda terlihat dari pilar penyangga atap, jendela, pintu berukuran besar dan beberapa ornamen pada dinding.
Sebagai pemeluk agama Islam, H. Oemar Bin Ahmad meminta pada sang arsitek untuk menyisipi ornamen-ornamen khas Jawa bernuansa Islam seperti hiasan kaligrafi.
H. Oemar Bin Ahmad ini memiliki 7 anak yakni Asnar, H. Markabu, H. Abdoellah, H. Djaelan, H. Djaenoedin, H. Mokhsin dan H. Abdoel Gaffar. Dari ketujuh anak ini hanya 5 yang mendapatkan warisan rumah di Kampung Kemasan, sementara 2 anak lainnya yakni H. Markabu dan H. Abdoellah mendapat warisan rumah di Surabaya.
Baca juga: "Ini Bukan Babat Makanan, Tapi Kota Tua yang Terlupakan"
Dari semua rumah di Kampung Kemasan yang berada di Jl. Nyai Ageng Arem Arem Desa Pekelingan Kecamatan Gresik Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur ini setidaknya ada 2 rumah yang paling terkenal, yakni rumah merah terbesar berlantai 2 yang diwariskan ke H. Djaenoedin dan rumah kerajinan batik bernama rumah Gajah Mungkur yang diwariskan ke H. Djaelan. Namun bukan berarti rumah selain 2 rumah ini kehilangan gaungnya. Rumah-rumah lain masih tampak kokoh hanya saja ukurannya tak sebesar 2 bangunan tadi.
Rumah Gajah Mungkur
Ada yang istimewa dari rumah Gajah Mungkur. Rumah ini pernah dikunjungi Raja Kasunanan Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwana X pada tahun 1926 karena sang pemilik H. Djaelan dipandang ikut meramaikan perdagangan di Surakarta dengan membuka pabrik rokok dan batik. Sri Susuhunan Pakubuwana X merasa tertarik dengan bangunan rumah Gajah Mungkur, hingga akhirnya beliau minta dibuatkan bangunan serupa di Surakarta tepatnya di Jl. Slamet Riyadi.
Mengingat tempat ini memiliki keistimewaan tersendiri, Kampung Kemasan telah dijadikan situs cagar budaya. Pemilik rumah-rumah tua di kampung yang tenang dan jauh dari keramaian tersebut juga tak segan-segan menerima kedatangan tamu untuk sekadar mendengarkan cerita sejarah awal atau melihat struktur bagian dalam rumah. Bisa pula menghubungi H. Oemar Zainuddin atau biasa dipanggil Pakdhe Noot di nomor HP 085931149472. Pria kelahiran 18 Desember 1940 ini adalah salah satu ahli waris generasi ke-4, tepatnya cucu dari H. Djaenoedin.
H. Oemar Zainuddin bersantai di depan rumahnya
Bagian dalam rumah H. Oemar Zainuddin
Bila ingin berkunjung ke Kampung Kemasan, sangat mudah diakses dari Bandara Juanda Sidoarjo Surabaya dengan menempuh jarak sekitar 45 km atau kurang lebih 1 jam berkendara. Jalan menuju perkampungan cukup luas, sangat memungkinkan kendaraan roda empat untuk memasuki kampung tersebut.