Sate jamur, menu unik di Restoran Asia Wonosobo
Untung kami punya sahabat foodie asal Wonosobo yang mengantar. “Untuk perkenalan, saya punya tiga kandidat tempat makan yang wajib dicoba,” katanya via WhatsApp. Masukan dari foodie lokal tentu saja selalu dinanti! Tujuan pertama: Restoran Asia (d/h Canton), Jl. Angkatan 45 No. 43. Ketika kami tiba, Jl. Angkatan 45 sudah mulai sepi. Waktu menjelang jam 6 sore, matahari mulai terbenam, temaram berganti cahaya lampu pertokoan. Hujan rintik-rintik, angin semilir, suhu sekitar 18 derajat C, pas deh untuk adegan drama Korea. Tinggal kurang saljunya saja! Hanyang haseo…
Baca juga: “Amazing Wonosobo (1) Perjalanan Menggapai Awan di Kledung Park”
Restoran Asia di Wonosobo, tampak luar
Kok restoran pertama chinese food? Well, ini bukan sembarang chinese food. Restoran Asia sudah buka sejak 1933! Bayangkan, di tahun 1933, Adolf Hitler pertama kali diangkat jadi Kanselir Jerman. Bayangkan, seperti apa jalan ke Wonosobo dari Pekalongan di zaman itu? Mobil pun pasti jarang ada! Dalam kondisi seperti inilah, sepasang perantau asal Guangzhou China bernama Tam Hong dan Kien Hing menumpang kapal “Tjitjalengka” dan membuka restoran pertama di Wonosobo. Dulu namanya Canton, kemudian berubah menjadi Asia. Hebatnya, restoran ini merekam sejarahnya dengan sangat baik! Ada foto dapur mereka yang masih sama, ada restoran pertamanya, bahkan foto kapal Tjitjalengka. Papan nama restoran kuno nampak anggun dipajang di tembok, beserta satu buah cipoa/sempoa, saksi sejarah perjalanan kasih Asia selama puluhan tahun. Cakep!
Papan nama kuno Restoran Asia, foto-foto jadul, dan cipoa/sempoa
Kapal Tjitjalengka yang membawa perantau dari Guangzhou
Foto lama Restoran Asia tahun 1990-an sebelum direnovasi seperti sekarang
Tentu saja, perjalanan panjang selama 89 tahun di Wonosobo telah menghadirkan kuliner fusion khas Wonosobo, yang jelas tidak ada di Guangzhou. Sate jamur misalnya, hadir dengan bumbu kacang dibubuhi irisan bawang merah dan rawit. Rasanya unik! Nyaris tidak tertebak kalau ini jamur, karena teksturnya mirip daging. Tapi ada tekstur unik khas jamur yang bisa dirasakan, plus tarikan manis dari bumbu kacangnya.
Sate jamur
Kemudian, ada sayur tumis pucuk labu. Hidangan yang sederhana, namun ngangenin! Pucuk labu yang dominan batang daunnya, dimasak sampai lembut, lalu ditumis sederhana saja. Rasanya menyegarkan!
Sayur tumis pucuk labu
Kemudian kami memesan gurame asam manis, lumpia hongkong, dan ayam goreng tanpa tulang. Gorengannya mantap --tidak berminyak, namun renyah. Kuah asam manis dari gurame berpadu cantik dengan renyahnya ikan goreng. Ayam gorengnya dicocol merica dan garam, juga renyah dan sedap. Lumpia hongkongnya pun mantap! Adonannya lembut dan kulitnya renyah. Ada satu “benang merah” yang saya tangkap di sini: selera Wonosobo, adalah rasa yang lembut, subtle, tidak terlalu tajam naik dan turun. Lembut, namun mantap! Rupanya, hawa dingin dan pegunungan Wonosobo telah mengukir DNA baru dalam hidangan Guangzhou ini. Ciamik!
Gurame asam manis
Lumpia hongkong
Ayam goreng tanpa tulang, dicocol merica dan garam
Hidangan Restoran Asia yang dipesan penulis
Yang kedua, apa? Tentu saja: mie ongklok! Mie ongklok khas Wonosobo, kalau yang di-review Pak Bondan adalah Pak Muhadi (Jl. T. Jogonegoro/A. Yani No. 1). Tapi, kali ini kami mencari yang tidak mainstream. “Kita ke Pak Yadi saja. Beliau adalah keturunan langsung dari Ko Peng An, pelopor penjual mie ongklok di Wonosobo,” kata teman saya. Siap!
Pak Yadi sedang menyiapkan mie ongklok
Kata “ongklok” berasal dari gerakan meniriskan mie dengan mengayunkannya (diongklok-ongklok bahasa Jawanya). Kalau peniris mie modern dari alumunium, di sini menggunakan bambu. Kami meluncur ke Jalan A. Yani dan meringkuk bersama di tenda Pak Yadi. Suhu di luar semakin dingin menjelang malam.
Lemari berisi bahan-bahan mie ongklok
Mie ongklok ini unik sekali. Pertama, pairing-nya unik: disantap bersama sate! Kalau di Pak Yadi, satenya sate sapi. Mie-nya sendiri dibubuhi suwiran ayam, cukup unik komponennya: kubis dan kucai, mie tebal, kuah kental seperti lomie, dan taburan bawang goreng. Ketika kuah panasnya diseruput, amboi! Kehangatan dan kekentalannya pas untuk cuaca dingin. Mienya lembut teksturnya, tapi tebal. Kucai dan kubis menghadirkan tekstur renyah yang unik, lalu daging ayam dan bawang goreng membawa aroma gurihnya. Kuahnya punya aroma bawang putih yang kuat, sekilas mirip bumbu lunpia semarang. Lalu, cicipi satenya! Gurih, tarikan asin manis dari bumbu kacangnya. Aih, menarik! Pantas saja hidangan ini menjadi salah satu andalan wisata kuliner Wonosobo.
Mie ongklok dan sate sapi
Nah, dua sudah lewat, tinggal satu lagi yang penting: ronde jahe! Konon wilayah Parakan - Temanggung - Wonosobo terkenal dengan wedang rondenya. Kami meluncur ke Badam Ronde, Jl. A. Yani No. 116. Di sini ada beberapa pilihan wedang ronde: ada yang biasa, dan ada yang “RRT”. Apa itu RRT? Rupanya, ditambah kacang mede dan tangkue alias manisan buah kundur. Wow, menarik! Nah, ada satu yang khas di wedang ronde sini: makannya pakai emping. Ya! Emping yang biasa untuk kondimen sop buntut, di sini dicelupkan ke wedangnya! “Kenapa nggak pakai jangek sekalian?” kata teman yang iseng. Tapi rasanya, wow! Menarik! Karena melinjo ‘kan kacang, jadi emping tanpa bumbu akan muncul karakter nutty-nya direndam di kuah gula merah, cocok dengan kacang tanah sangrai dan kacang mede. Rondenya isi kacang, dibarengi irisan agar-agar. Waduh, enak sekali, sebuah sajian penutup yang membuka mata kami mengenai khasnya kuliner Wonosobo. Semua serba subtle, tapi serius, penuh penjiwaan. Pantas saja, Wonosobo punya motto “The Soul of Java”. Cocok!
Ronde Badam
Ronde dengan emping melinjo
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.