Berpose di Telaga Warna Dieng
Pagi-pagi Hotel Dafam Wonosobo tempat kami menginap sudah riuh-rendah. Parkir mobil penuh sampai valet, tempat sarapan juga sibuk dengan wisatawan “gaya baru”. Kok gaya baru? Rupanya, ada dua golongan besar pengunjung di sini: yang pertama adalah wisatawan dari kota-kota besar Jawa Tengah (Solo, Jogja, Semarang), dan yang kedua adalah wisatawan Jakarta dengan plat B. Kini, berkat jalan Tol Trans Jawa, nampak pariwisata Wonosobo semakin menggeliat. Beberapa keluarga bahkan sudah menyewa pemandu, hadir dengan mobil besar rombongan 10-20 orang. Rupanya, diam-diam wilayah ini sudah sangat siap menyambut berkah pariwisata!
Tempat sarapan di Hotel Dafam Wonosobo
Pemandangan dari tempat sarapan di Hotel Dafam Wonosobo
Kami bergegas sarapan karena tujuan utama kami sudah menanti: Dataran Tinggi Dieng! Saya pertama kali ke sini tahun 2007 sebagai bujangan, dan sekarang sudah berbuntut dua. Saya sempat merasakan sensasi menembus awan dengan mobil di Dieng, dan ingin mengulanginya bersama keluarga.
Mulailah kami berkendara di jalanan menanjak yang semakin membawa kami dekat ke awan. Ini mengingatkan saya pada perjalanan ke Jerman dari Italia melewati Brenner Pass. Tapi, ini versi mini! Kanan-kiri jalan nampak ramai dan beberapa menjual carica, buah blasteran mangga dan pepaya yang khas Dieng. Jalanan yang dulu sepi, kini terasa ramai, sampai kami tiba di pintu gerbang masuk kawasan Dieng dan membayar karcis masuk.
Buah carica khas Dieng dan kentang
Kami terus berkendara, dan kemudian kabut menyelimuti --inilah awan yang kami lihat dari hotel! Ketinggian sudah mencapai 2.000 m di atas permukaan laut, suhu 17 derajat C pada jam 10 pagi. Lalu, jalanan mulai menikung kiri dan kanan, menampakkan lembah-lembah curam yang ditanami kentang --salah satu komoditas unggulan di sini. Kami membuka jendela, dan anak-anak sibuk “menggapai awan”, bahkan si kecil menjulurkan lidah mau “mencicipi” rasa awannya. Indah! Selamat datang di Dieng!
Tujuan pertama kami: Kompleks Candi Arjuna. Terima kasih pada channel Asisi (@ASISIChannel) di YouTube, saya jadi paham lebih dalam mengenai kompleks candi ini dan sudah menyiapkan laser pointer untuk bercerita pada anak-anak. Ternyata, dulu ada lebih dari 400 candi di sini, yang kini tinggal tersisa sedikit. Lalu, di kompleks Candi Arjuna ada Candi Srikandi, di mana terdapat ukiran Dewa Brahma, Dewa Siwa, dan Dewa Wisnu, satu-satunya di Indonesia di mana tiga dewata ini diukir di bangunan yang sama (biasanya sendiri-sendiri). “Itu dewata berwajah banyak, namanya dewa apa? Yang satu lagi memegang roda cakra, namanya siapa?” Saya mencoba bermain Blue’s Clues ala budaya Indonesia yang disambut antusias anak-anak. Menarik! Saran saya, minimal nontonlah dulu Asisi Channel dan sejenisnya di YouTube sebelum ke sini. Menikmati candi dengan pemahaman akan sangat berbeda dengan menikmati candi hanya untuk selfie!
Kompleks Candi Arjuna
Candi Arjuna
Ukiran Dewa Brahma di Candi Srikandi
Di kompleks Candi Arjuna ini saya merasakan aura mirip dengan yang saya alami di Candi Muaro Jambi. Saya ajak anak-anak melipir sejenak ke wilayah dekat pintu masuk, tempat reruntuhan bangunan yang dulunya adalah asrama tempat tinggal para pelajar di kadewaguruan Dieng. Di sini suasana lebih sepi, sehingga kami bisa meresapi semilir angin dan gemerisik rumput yang sama, yang dirasakan para pembangun candi 1.300 tahun yang lalu. “Coba bayangkan, bagaimana para pekerja tidur di sini, memahat batu, dan berdoa. Dapatkah kamu dengarkan ketukan pahatnya?” tanya saya pada anak-anak (usia 5 dan 7 tahun), yang dijawab dengan bengong lalu matanya terbelalak lebar melihat ke arah belakang saya. “Daddy, ada horse!!!” teriaknya. Jiah!
Bisa naik kuda di Kompleks Candi Arjuna
Akhirnya anak-anak bergembira bisa keliling naik kuda di kompleks Candi Arjuna, dan visualisasi saya gagal total. Lumayan juga ada hiburan untuk anak, walaupun saya miris melihat batu-batu candi yang berserakan di areal keliling kuda, bukti betapa berlimpahnya material candi di wilayah ini.
Dari sini, kami menuju Museum Kailasa, di mana kami sekali lagi menikmati arca-arca yang tadinya ada di candi dan sekarang diletakkan di sini. Kami menonton film pendek mengenai Dieng di sebuah teater mini, lalu berkeliling melihat artefak dan informasi mengenai budaya Dieng. Lagi-lagi, laser pointer sangat membantu. Dari sini, kami menuju tujuan berikutnya: Danau Telaga Warna.
Danau Telaga Warna
Kalau tahun 2007 dulu Danau Telaga Warna polos dan nuansanya agak seram, kini sang danau tampil sangat berbeda. Papan petunjuk membantu pengunjung melihat rute dan titik-titik penting sekitar danau. Saya baru sadar, ketika melihat gelembung-gelembung di permukaan air danau yang hijau bak batu giok: bahwa ini sebenarnya adalah kawah! Kandungan gas yang keluar ke air, saya duga belerang, menyediakan suasana kimiawi yang ideal di danau untuk tumbuhnya ganggang berwarna hijau. Namun jika gasnya berkurang, airnya akan bening-biru seperti biasa. Indah! Di sana-sini nampak panggung untuk selfie, bahkan ada dermaga khusus selfie. Cantik!
Danau Telaga Warna
Berpose di spot selfie di Telaga Warna
Kalau dulu yang ditonjolkan adalah goa-goa mistis di tengah danau, kini goa-goa tersebut dikhususkan untuk sembahyang, jadi sebagai wisatawan hanya bisa melihatnya dari luar saja. Sambil berjalan melalui hutan kecil di situ, kami memperhatikan betapa kadar belerang mempengaruhi alam di sini: suburnya lumut, munculnya lumut berwarna kuning, dan suburnya pohon suplir dan pakis. Bagaikan berjalan di sebuah terarium raksasa. Indah!
Suasana hutan di Telaga Warna
Setelah puas menikmati suasana Dieng, kami mencari satu tujuan lagi dalam perjalanan pulang: Swiss van Java. Siapa tau di Swiss van Java ada factory outlet Mendrisio juga! Ternyata, tidak ada. Dari Dieng, jalanan menurun lalu menanjak tajam lagi menuju titik “Swiss van Java” ini. Kami melewati titik ini tanpa menemukan apa-apa, selain jalanan desa biasa yang menanjak ke atas. Apa gerangan yang membuat tempat ini disebut “Swiss van Java”?
Jalanan terus menanjak tinggi sampai sempit sekali, dan saya memutuskan banting kanan masuk ke sebuah tempat parkir. Apa ini? “Selamat Datang di Air Terjun Sikarim” kata spanduknya. Wow, boleh juga! Ternyata, kami menemukan Air Terjun Sikarim yang luar biasa indah! Terbagi jadi dua bagian, yang tinggi dan yang lebih kecil. Kalau rame-rame wefie di tengahnya, pasti seru! Tertegun saya menyaksikan keindahan ini, dan ternyata jika dicek via GPS, sisi sebaliknya dari air terjun ini adalah Kawah Sikidang dan Candi Arjuno.
Air Terjun Sikarim
Nah, ketika kami memandang ke lembah di bawah air terjun, barulah kami memahami arti “Swiss van Java” tadi! Rupanya, pemandangan tebing di kanan-kiri, di belah jalan raya di tengahnya, dengan pemandangan langsung ke Wonosobo nun jauh di bawah sana, mirip di Swiss! Apalagi, ada untaian kabel listrik yang kalau halu dikit bisa dianggap cable car untuk main ski. Kami pun berhenti lagi untuk foto-foto, sambil sekalian menikmati semilir angin pegunungan. Tuntas sudah sehari di Dieng, Negeri Dewata di Balik Awan!
Pemandangan ala Swiss
Lembah Swiss van Java
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.