Menu Sa Cap Meh di tiap keluarga berbeda-beda
Menyebut tradisi Imlek, tak ada satu pun patokan baku yang berlaku seragam di semua keluarga etnis Tionghoa di Indonesia. Bahkan tradisi-tradisi populer seperti bagi-bagi angpao dan memakai baju merah pun belum tentu dilakukan semua keluarga. Tradisi-tradisi itu pun ada yang asli berasal dari Tiongkok, ada juga yang hanya dilakukan di Indonesia. Mana yang benar-benar tradisi Imlek asli dari sononya, mana yang tercipta belakangan, mungkin ahli sejarah atau budaya Tionghoa pun belum tentu bisa memastikannya.
Dalam artikel ini saya hanya akan memaparkan 14 tradisi Imlek yang saya kenal, dari kacamata saya, baik yang dijalankan keluarga saya selaku keturunan Tionghoa, maupun yang tidak. Tanpa perlu membahas lebih jauh asal-usulnya.
Bagian 1 baca di sini.
1. Makan Besar dan Kumpul Keluarga di Malam Tahun Baru (Sa Cap Meh)
Makan besar di malam Tahun Baru Imlek (Sa Cap Meh) di keluarga saya telah dilakukan sejak dulu. Dan kami tak pernah melakukannya di rumah makan, melainkan selalu di meja makan keluarga di rumah. Menu yang disajikan pun hasil masakan sendiri --paling hanya 1-2 menu yang beli. Acara ini bagi saya pribadi menjadi momen yang paling ditunggu. Tak tergantikan! Sehabis makan malam, kami berkumpul di ruang tengah, mengobrol ngalor-ngidul sambil mencicipi macam-macam kue maupun buah.
Menu Sa Cap Meh 2023 di keluarga saya
Kumpul keluarga inti di malam Tahun Baru
Baca juga: "Sa Cap Meh, Tradisi Makan Keluarga di Tahun Baru Imlek"
2. Makan Yee Sang (Prosperity Salad)
Tradisi makan yee sang beramai-ramai dan mengangkatnya tinggi-tinggi dengan sumpit lebih populer di Malaysia dan Singapura. Di Indonesia, setahu saya hanya dikenal di kalangan tertentu.
Keluarga besar saya sama sekali tidak mengenal tradisi ini. Untuk mengetahui tentang yee sang silakan baca di sini.
3. Memasang Petasan dan Kembang Api
Tradisi ini berkaitan dengan legenda tentang Nian si monster jahat. Untuk mengusir Nian, harus membuat kebisingan dengan cara memasang petasan dan kembang api. Zaman kecil, saya dan kakak-adik menanti-nanti untuk bisa main kembang api di malam Tahun Baru Imlek. Waktu itu kami tak tahu legenda yang mendasarinya, hanya buat kesenangan. Tapi seiring waktu, tradisi ini kami lupakan.
4. Begadang Hingga Jam 12 Malam
Sama halnya dengan Tahun Baru 1 Januari, ada kesepakatan umum untuk tetap terjaga hingga jam 12 malam, tepat saat pergantian tahun. Begitu jam menunjukkan pukul 12 malam, hal pertama yang dilakukan, kalau di keluarga saya, adalah sembahyang dengan memasang hio di halaman depan rumah menghadap ke langit (sembahyang ke Tuhan), lalu disusul sembahyang di altar Dewa Dapur, kemudian di altar Buddha dan Dewi Kwan Im, baru terakhir di meja abu leluhur (dulu kakek-nenek, sekarang papa). Tapi tahun-tahun belakangan, kadang kami tak sanggup menunggu. Jadi sembahyangnya besoknya, pagi-pagi.
5. Memakai Baju Merah
Lagi-lagi, ini berkaitan dengan legenda tentang Nian si monster jahat, juga kepercayaan dan tradisi orang Tionghoa yang memakai baju merah atau baju berwarna cerah saat perayaan apa pun. Jarang yang mengenakan baju berwarna putih maupun hitam saat Tahun Baru Imlek. Bahkan keluarga-keluarga yang masih dalam masa berkabung pun biasanya memilih baju warna hijau atau biru saat Imlek.
6. Pai Kui dan Bersoja
Di keluarga besar saya baik dari pihak papa maupun mama, haram hukumnya mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek dengan bersalaman. Wajib bersoja! Alias pai pai, mengepalkan tangan kanan dan membungkusnya dengan tangan kiri. Malah kami memiliki aturan tambahan, soja di depan dada untuk yang sebaya atau lebih muda, di depan hidung untuk yang lebih tua, dan di depan dahi untuk yang jauh lebih tua atau dihormati.
Adapun pai kui alias bersujud atau sungkem wajib dilakukan seorang anak kepada orangtua, kakek-nenek, maupun mertua. Keluarga inti saya sudah membiasakan pai kui kepada orangtua sejak saya masih kecil. Hingga kini tradisi ini tetap kami pertahankan.
Paikui kepada orangtua
7. Bagi-Bagi Angpao
Tentu inilah tradisi yang paling disukai banyak orang, termasuk yang tidak merayakan Tahun Baru Imlek. Kalau dari orangtua ke anak, menantu, keponakan, cucu maknanya kurang lebih adalah doa dan harapan agar banyak rezeki. Kalau angpao diberikan bukan kepada anggota keluarga, maksudnya adalah berbagi rezeki di hari yang baik.
Di keluarga besar saya tradisi bagi-bagi angpao justru belum dikenal waktu saya kecil. Saya nggak ingat persis kapan orangtua saya mulai membagikan angpao kepada anak-anaknya. Yang jelas bukan dari zaman saya kecil. Tapi setelah dimulai, hingga kini orangtua saya selalu membagikan angpao. Bukan hanya ke anak-anak, menantu dan cucu, tapi kepada semua sanak saudara yang datang bertamu saat Imlek, yang berstatus belum menikah.
O ya, orang-orang yang belum menikah, walaupun punya penghasilan, pantang untuk memberikan angpao, sekalipun ke keponakan langsung. Orang-orang yang belum menikah, walaupun di usia dewasa, bisa jadi malah mendapat angpao dari orang yang lebih muda yang sudah menikah.
8. Berkunjung ke Sanak Saudara
Sama seperti Lebaran, etnis Tionghoa juga melakukan kunjungan ke rumah sanak saudara pada Tahun Baru Imlek. Saya dan keluarga besar sudah melakukan ini dari dulu. Yang muda mendatangi rumah yang lebih tua. Atau mendatangi rumah yang memelihara meja abu leluhur. Jadi kalau kita datang ke rumah yang ada meja abunya, begitu datang kita harus sembahyang (pasang hio) dulu di meja abu, setelah itu barulah sah mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek kepada tuan rumah, tentunya dengan bersoja.
Sembahyang dulu, baru mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek
Selamat Tahun Baru Imlek 2023/2574!