Lansekap Trashigang, dengan Trashigang Dzong di sebelah kanan
“Kota mana di Bhutan yang paling kamu suka?” tanya Ugyen Norbu Lhendup, penyanyi Bhutan yang malam itu mengantar kami menikmati keindahan malam di Kota Thimphu, ibu kota negara Bhutan. Spontan saya jawab, “Trashigang!” Dia agak surprais. Ya, karena nggak banyak wisatawan asing yang berkesempatan datang ke ibu kota Distrik Trashigang, distrik terluas di Bhutan ini.
Letaknya yang berada di ujung timur dan berbatasan langsung dengan India membuat siapa pun yang hendak mencapainya harus ekstra effort. Memang ada Bandara Yonphula yang melayani penerbangan ke kota ini, salah satunya dari Kota Paro, di mana terdapat bandara internasional, gerbang masuk negeri damai nan permai di Asia Selatan ini. Tapi pesawatnya kecil –sekitar 40 seats, nggak terbang tiap hari, dan hanya terbang pagi saat cuaca cerah. Jadi cara lain tentu lewat darat.
Baca juga: "Beginilah Sensasi Melihat Pucuk Himalaya dari Balik Pesawat Menuju Bhutan"
Kami memilih datang ke Trashigang lewat darat dan pulang dengan pesawat. Perjalanannya panjang, nggak bisa ditempuh dalam 1-2 hari. Dari Kota Paro kami pelesir dan menginap dulu di Kota Punakha, perjalanan sekitar 4 jam termasuk tea time. Esoknya dari Punakha ke Kota Bumthang ditempuh 8 jam termasuk beberapa kali istirahat dan makan siang. Menginap di Bumthang, baru melanjutkan perjalanan ke Kota Mongar, yang sudah masuk Bhutan Timur, selama 7 jam termasuk istirahat dan beberapa kali berfoto di scenic area. Esoknya dari Mongar baru lanjut lagi ke Trashigang selama 3,5 jam. Rute yang kami ambil ini adalah rute utara. Ada lagi rute selatan melewati Phuentsholing dan Samdrup Jongkhar. Rute ini lebih cepat karena lebih banyak jalan lurus tapi harus melewati West Bengal yang masuk wilayah India.
Seluruh perjalanan darat selama 4 hari melewati jalan berkelok-kelok, turun naik pinggang gunung, jalanan aspal mulus maupun tanah keras dan tanah becek. Pemandangannya dooong.... luar biasa cantik! Dari hutan tropis, sub tropis, hingga alpine terrain, hutan pinus, pegunungan hijau yang sudah kecokelatan, sampai pegunungan berselimut es. Kami melakukan perjalanan ini di akhir Maret, jadi di beberapa tempat es masih tebal –membuat kami kegirangan dan minta berhenti untuk berfoto-foto. Ini benar-benar scenic drive yang memuaskan indera mata, juga jiwa. Arrrgh... nulis ini, saya jadi kangen ingin balik.
Trashigang hanya small town yang pusat ‘kotanya’ seperti lapangan parkir yang nggak lebih luas dari parkiran mal kecil di Jakarta, yang dikelilingi oleh deretan toko, dan ditandai dengan adanya praying wheel (roda doa) raksasa. Jadi bener-bener jauh lebih kecil daripada kota-kota kecil di Jawa. Jumlah penduduk Distrik Trashigang cuma sekitar 4.000 jiwa. Ngga ada data yang menyebutkan berapa jumlah penduduk kotanya. Yang jelas ya suasananya tenang banget.
Kotanya cuma selapangan parkir, dengan praying wheel besar di tengahnya
Apa yang bikin saya jatuh cinta pada tempat ini? Selain tenang, sejauh mata memandang tampak barisan pegunungan kekar berlapis-lapis di kiri kanan jalan, sementara di tengah-tengahnya mengalir sungai deras, Drangme Chhu. Yang bikin tambah eksotis dan khas Bhutan banget tentu adanya dzong alias bangunan benteng. Trashigang Dzong berdiri gagah di ujung salah satu punggung gunung yang menghadap ke ngarai. Seksi banget posisinya, sumpah!
Pemandangan gunung berlapis-lapis
Saat mobil yang membawa kami memasuki area utama Trashigang di mana dzong yang dominan berwarna putih itu mulai terlihat, saya langsung merapat ke jendela. Menatapi tanpa kedip lansekap akbar di depan mata. Sungguh tersihir saya dibuatnya. Amazing view!
Trashigang Dzong terlihat sangat kecil di kejauhan, tapi sudah mampu menyihir
Beruntung kami menginap di sebuah resor yang berada di ketinggian, di view point paling strategis di Trashigang. Druk Deothjung Resort namanya. Kamar kami maupun ruang makan berjendela besar-besar, menghadap langsung pegunungan kekar berlapis-lapis itu. Dan tentu saja kami dapat melihat Trashigang Dzong dari kamar. What a wonderful life lah pokoknya. Ingin rasanya saya menginap di sini bermalam-malam, cuma untuk termangu-mangu saban hari, haha.
Memotret dari halaman resor
Ruang makan dengan jendela besar-besar
Sudah jauh-jauh sampai tempat ini, tentunya saya dan teman-teman nggak mau cuma leyeh-leyeh di resor. Kami mengunjungi Trashigang Dzong dan Gom Kora. Gom Kora adalah kuil di mana Guru Rinpoche pernah bermeditasi untuk menaklukkan kekuatan jahat yang berdiam di batu raksasa di belakang kuil. Nah, ada tantangan yang menarik tapi sulit dilakukan di sini. Barang siapa bisa menaiki batu ini sampai atas, maka seluruh dosanya akan terhapus. Supir kami, Penjor, mencobanya, dan uwowww dia berhasil!
Trashigang Dzong
Pintu gerbang Gom Kora
Di perjalanan pulang kami juga berhenti di Trashigang Falls, yang hanya bisa dinikmati dari atas, di pinggir jalan. Airnya mengalir keluar dari sungai di balik jembatan, tercurah deras ke bawah ngarai. Keren!
Trashigang Falls
Air terjunnya hanya bisa dinikmati dari atas
Jadi, kapan kamu datang ke Trashigang?