Apa itu Bakar Batu? Batu dibakar? Iya bener, batu dibakar. Tapi bukan sembarang bakar tanpa tujuan karena ritual adat yang sudah mentradisi di Papua ini dilangsungkan sebagai ucapan syukur (atas kelahiran, pernikahan, perdamaian) maupun silaturahmi (kumpul-kumpul; bisa juga karena ada kematian) dengan cara memasak bersama-sama dengan batu panas yang telah dibakar. Lantas belakangan Bakar Batu juga dilangsungkan untuk menyambut tamu penting.
DI MANA BISA MENONTON BAKAR BATU?
Sebenarnya tradisi ini dilakukan oleh suku-suku pedalaman di Papua, tak cuma di Lembah Baliem dan Wamena. Tapi kita sebagai turis paling mudah meminta ritual ini dipertontonkan ya di Lembah Baliem dan di beberapa desa di sekitar Kota Wamena, yang paling terkenal Desa Anemoigi, Distrik Kurulu. Jadi, kalau berkesempatan ke Wamena, baik saat Festival Budaya Lembah Baliem atau bukan, jangan sampai nggak nonton Bakar Batu ya!
MAHAL BAYARNYA?
Kalau datang saat Festival Budaya Lembah Baliem, tentu kita nggak usah bayar lagi untuk menyaksikan ritual adat ini, karena pasti ditampilkan sebagai salah satu acara wajib. Tapi kalau datang bukan saat festival? Ya betul, kita harus bayar untuk bisa melihat ritual ini. Karena ritual ini butuh mempesembahkan seekor babi yang harganya bisa belasan juta bahkan 20-an juta, jadi emang jatuhnya mahal.
Supaya nggak bayar terlalu mahal, datanglah berombongan, minimal 8 orang deh, seperti MyTrip pada September 2016 lalu. Kami memesan paket tur kepada Putra Papua Tours yang digawangi Edison Meliala yang sudah malang-melintang menjalankan usaha wisatanya di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Papua. Dari awal kami sudah memasukkan Bakar Batu dan Tari Perang ke dalam itinerary. Jadi tinggal tahu beres. Cara ini paling praktis dan aman, karena kalau kita sok tahu mau menghubungi sendiri kepala sukunya dan mengatur semua sendiri juga repot ya... Yang ada malah nanti kena lebih mahal.
BAGAIMANA RITUALNYA?
Karena biasanya upacara Bakar Batu sepaket dengan Tari Perang atau perang-perangan, jadi begitu tiba di Desa Anemoigi, kita akan disuguhkan dulu Tari Perang. Dimulai dengan sang kepala suku yang juga sebagai panglima perang menaiki tiang kayu dan berdiri di atasnya untuk memantau posisi lawan. Kemudian sekelompok pemuda keluar dari balik semak dari dua arah berlawanan, dan terjadilah perang-perangan. Saling melempar tombak dan melepas panah. Mereka semua hanya memakai koteka, juga hiasan di kepala maupun aksesoris di leher dan lengan. Badannya dilumuri lumpur. Seru lah pokoknya. Apalagi saat kepala suku (Bapak Yali Mabel) dan beberapa pemuda lainnya pura-pura melepaskan panah ke arah kami.
Memantau posisi musuh
Perang-perangan
Pura-pura memanah ke arah penonton
Selesai Tari Perang, mereka mengajak kami masuk ke desanya. Di depan gerbang desa kami disuguhi tarian lagi, kali ini ada kaum wanitanya yang topless dan hanya memakai rok yang terbuat dari jerami.
Bapak Yali Mabel, kepala suku, menyambut tamu
Upacara Bakar Batu dimulai dengan penyalaan api secara tradisional dengan memakai rotan dan sejumput jerami. Ini nggak boleh dilewatkan nih. Bagusnya divideoin supaya prosesnya terekam jelas.
Membuat api secara tradisional
Di halaman desa sudah ada dua lubang. Lubang yang pertama untuk membakar batu dan jerami dengan api yang dibuat secara tradisional itu. Lubang yang kedua sudah dialasi daun pisang dan alang-alang. Nah begitu batu sudah panas, batu-batu itu dipindahkan secara gotong royong oleh warga ke lubang kedua dengan cara dicapit dengan capit kayu (seperti sumpit raksasa) dan disusun rapat.
Gotong royong saat Bakar Batu
Di atas batu-batu itu kemudian diletakkan lagi daun pisang, baru kemudian bahan yang hendak dimasak disusun-susun di atasnya. Sesaat sebelumnya para lelaki menangkap babi, lalu dua orang memegangi babi tersebut dan satu orang lagi memanahnya. Nggak tega sih melihatnya, tapi ya, itulah tradisi mereka. Babi itu kemudian dipotong-potong menjadi beberapa bagian, isi perutnya dipisahkan, dan kemudian dimasukkan ke dalam lubang batu panas, berbarengan juga (walaupun beda lapisan) dengan ubi, keladi, labu siam, juga sayur-mayur.
Ubi disusun di atas dedaunan
Sesudah semua bahan makanan yang hendak dimasak disusun-susun oleh para wanita, di atasnya ditutup lagi dengan dedaunan. Lalu sisa batu-batu panas yang masih ada diletakkan lagi di atasnya dan dikubur lagi dengan dedaunan dan terakhir jerami. Jerami ditumpuk hingga membentuk gundukan, barulah gundukan tersebut diikat erat-erat supaya panas dari batu nggak keluar dan makanan cepat masak.
Ditutup lagi dengan dedaunan
Menunggu kurang lebih 1 jam, barulah gundukan dibuka, makanan yang telah matang dibagikan ke warga, juga ke kami sebagai tamu.
Sudah matang
Pesta makan daging
DI MANA LETAK DESA ANEMOIGI?
Salah satu desa adat Suku Dani yang berada di Distrik Kurulu ini dapat ditempuh dengan berkendara dari Wamena ke arah utara selama +/-40 menit. Sebelum memasuki Desa Anemoigi, kita akan melewati Desa Jiwika yang menyimpan mummy Panglima Perang Wim Motok Mabel. Dari Jiwika ke Anemoigi jalan kaki hanya beberapa menit.